Senja baru saja turun ketika mobil hitam yang membawa Alya berhenti di depan sebuah gedung apartemen mewah di pusat kota. Lampu-lampu mulai menyala, memantulkan cahaya ke kaca tinggi yang berderet rapi. Hiruk pikuk kota masih ramai, tapi bagi Alya, tempat ini adalah ruang tenang yang ia pilih untuk pulang setelah hari panjang.
Begitu pintu dibuka, ia melangkah masuk dengan anggun. Seorang perempuan muda dengan rambut disanggul rapi segera menyambutnya Dinda, asisten pribadi yang selalu setia mendampingi.
“Selamat sore, Bu Alya. Saya sudah menyiapkan teh hangat di meja,” ucap Dinda dengan sopan.
Alya tersenyum tipis. “Terima kasih, Dinda. Hari ini cukup melelahkan.” Ujar Alya
Mereka masuk ke dalam apartemen. Ruangan itu luas, dinding kaca menampilkan panorama kota dengan lampu-lampu yang berkelip seperti bintang. Interiornya modern, perpaduan warna putih dan abu-abu memberi kesan elegan sekaligus hangat.
Alya meletakkan tas di atas meja, lalu membuka kancing jasnya. Ia berjalan menuju jendela besar, menatap keluar sejenak. Di bawah sana, jalanan dipadati mobil, orang-orang bergegas dengan hidup mereka masing-masing. Lima tahun lalu, Alya mungkin hanya bisa menatap dari kejauhan, bermimpi tentang kehidupan yang lebih baik. Kini, ia berdiri di tengahnya.
Dinda membuka tablet digital yang selalu ia bawa, lalu berdiri beberapa langkah dari Alya.
“Bu, besok malam Anda dijadwalkan menghadiri pesta dari salah satu rekan bisnis utama perusahaan. Acara akan digelar di ballroom Hotel Imperial.” Kata Dinda
Alya menoleh, alisnya terangkat. “Pesta?”
“Ya, Bu. Undangan resmi sudah saya terima tadi siang. Kehadiran Anda dianggap penting karena akan ada banyak investor dan tokoh besar yang hadir.”
Alya terdiam sesaat. Pesta bisnis berarti satu hal. pertemuan dengan orang-orang berpengaruh. Bisa jadi jalan baru untuk memperluas jaringan, tapi juga bisa berarti membuka pintu yang membawanya kembali pada masa lalu.
Ia berjalan perlahan ke meja makan, menuang teh hangat yang sudah disiapkan. Uapnya mengepul, menghangatkan telapak tangannya.
“Baiklah,” jawabnya akhirnya. “Siapkan semua yang diperlukan. Aku ingin tampil sempurna.”
“Siap, Bu. Saya juga sudah menghubungi desainer untuk fitting gaun malam. Besok sore mereka akan datang ke apartemen ini.” Ujar Dinda
Alya mengangguk, lalu meneguk tehnya perlahan. Rasanya menenangkan, tapi pikirannya tetap bergerak cepat.
Setelah Dinda mundur untuk membereskan dokumen, Alya berdiri di depan cermin besar yang menempel di dinding. Ia menatap bayangan dirinya dengan saksama.
Wajah itu masih wajah Alya yang dulu mata bulat, bibir lembut, namun kini ditempa dengan ketegasan dan keanggunan. Gadis yang pernah terbuang sudah tidak ada. Yang tersisa hanyalah wanita yang siap berdiri sejajar dengan siapa pun, bahkan mereka yang dulu meremehkannya.
Ia menyentuh permukaan kaca, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
“Besok adalah awal. Siapa pun yang akan kutemui, aku tidak akan goyah. Aku bukan lagi bayangan.” gumamnya pelan.
Di luar sana, kota terus berdenyut dengan cahaya dan suara. Alya tahu, jalannya baru saja dimulai, dan pesta esok malam mungkin akan menjadi pintu menuju pertemuan yang tak terelakkan dengan masa lalu entah dengan keluarganya, atau… dengan Arga.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di sebuah gedung perusahaan besar yang berdiri gagah di kawasan bisnis ibu kota, suasana kantor masih sibuk meski jarum jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Pegawai berlalu-lalang, membawa map dan laptop, sementara lift naik-turun tanpa henti.
Di lantai tertinggi, ruang kerja luas dengan dinding kaca menghadap ke jalan raya tampak sepi. Arga duduk di balik meja panjang dari kayu hitam. Jasnya rapi, dasinya sedikit longgar, dan tangannya sibuk menandatangani dokumen-dokumen penting.
Tok… tok…
Suara ketukan pintu terdengar. Tanpa menunggu jawaban, pintu terbuka, memperlihatkan sosok Aluna yang melangkah masuk dengan gaun pastel dan senyum manis yang ia poles sempurna.
“Arga…” suaranya lembut, hampir berbisik.
Arga mendongak sekilas, lalu kembali menunduk pada berkas di depannya. “Ada apa, Aluna?” tanyanya datar, tanpa ekspresi.
Aluna melangkah lebih dekat, menyandarkan tas mungilnya di meja. “Aku hanya ingin menemui kamu. Sudah lama kita tidak menghabiskan waktu berdua. Bagaimana kalau malam ini kita makan malam bersama?”
Arga menutup map di tangannya, lalu meletakkannya ke samping. Tatapannya dingin, suaranya tetap stabil. “Aku masih banyak pekerjaan. Kalau hanya untuk makan malam, sebaiknya kamu ajak temanmu yang lain.”
Senyum Aluna menegang sesaat, tapi ia segera menguasai diri. “Arga, sampai kapan kamu akan terus bersikap seperti ini? Kita sudah dijodohkan hampir lima tahun. Papa dan Mama kita menunggu kabar pernikahan, tapi kamu terus menunda. Apa kamu tidak ingin melangkah ke tahap berikutnya?”
Arga bangkit dari kursi, berjalan ke arah jendela besar. Tangannya bersedekap, menatap keluar ke gemerlap kota. Ia terdiam cukup lama sebelum menjawab.
“Aluna,” suaranya rendah, tapi jelas. “Aku tidak pernah menolak perjodohan ini karena aku menghormati keluarga. Tapi jangan berharap aku memberi sesuatu yang tidak aku punya.”
Aluna mengernyit, hatinya perih mendengar kalimat itu. “Maksudmu… perasaan?”
Arga menoleh, tatapannya tajam menusuk. “Ya. Aku tidak punya perasaan itu untukmu. Jadi jangan berharap lebih. Aku hanya menjalani ini karena alasan bisnis.”
Kata-kata itu jatuh seperti palu godam, menghantam dada Aluna. Meski sudah sering melihat sikap dingin Arga, mendengarnya diucapkan langsung tetap saja membuatnya goyah. Namun, Aluna bukan tipe yang mudah menyerah.
Ia menegakkan bahu, berusaha tersenyum lagi meski matanya menyimpan bara. “Kamu bisa saja belum punya perasaan sekarang. Tapi lambat laun, aku yakin kamu akan sadar kalau aku satu-satunya yang pantas ada di sisimu.” ucap Aluna " Besok kita akan menghadiri acara pesta salah satu rekan bisnis Papah. Kamu tidak bisa menolak karena acara itu sangat penting untuk perusahaan "
Arga tidak menanggapi. Ia kembali menatap keluar jendela, seolah kehadiran Aluna hanyalah bayangan lewat yang tidak perlu dipikirkan.
Aluna menggigit bibirnya. Hatinya membara oleh rasa tidak terima. Ia tahu, alasan terbesar Arga bersikap dingin seperti ini tidak lain karena Alya. Walaupun gadis itu sudah pergi lima tahun, bayangannya masih menghantui hubungan mereka.
Dalam hati, Aluna bersumpah. “Alya, kalau suatu hari kamu kembali, aku tidak akan membiarkanmu merebut Arga lagi. Dia harus jadi milikku. Bagaimanapun caranya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments