Hari-hari berlalu dengan cepat. Sudah sebulan Kiandra bekerja di sini. Perlahan-lahan, dia mulai terbiasa dengan semua tugas yang harus dilakukannya. Terutama dengan anak berusia enam tahun yang diasuhnya, bocah yang bicara seperti orang dewasa. Sungguh! Untung saja anak itu sedang mengikuti kelas online, jadi Kiandra punya waktu luang sekarang.
"Hei, biar aku saja yang mengurus ini. Ini kan waktu istirahatmu, jadi istirahatlah saja," tegur Helena sambil melihat Kiandra membantu mengangkat cucian yang sudah dijemur.
"Tidak apa-apa, di sana membosankan. Lagipula, ini bisa mempercepat pekerjaanmu juga. Sebentar lagi kelas si kecil selesai," kata Kiandra.
"Ya sudah, kalau kamu bilang begitu. Tapi, ganti topik deh. Kamu itu menakjubkan sekali! Bisa bertahan sebulan di sini. Kamu punya kekuatan super atau apa?" Helena tertawa mendengar pertanyaannya sendiri.
Kiandra ikut tertawa. "Tidak ada kekuatan super. Aku benar-benar butuh uang saja. Di zaman sekarang ini, kita memang harus bekerja keras."
Helena mengangguk-angguk. "Benar juga. Selama sebulan ini, kamu bahkan tidak pulang saat hari libur. Kenapa? Keluargamu tidak khawatir?"
"Koreksi. Hanya ayah yang peduli padaku. Katakanlah aku sedang melarikan diri dari kesedihan dan kemarahan. Aku tidak mau meledak," jawab Kiandra.
Helena tampak bingung melihat ekspresi wajahnya. "Membingungkan! Memangnya ada apa di rumahmu sampai kamu terdampar di sini? Jelas sekali kamu berpendidikan, kenapa memilih pekerjaan ini? Ceritakan dong."
Kiandra sudah dekat dengan Helena. Mungkin tidak ada salahnya bercerita.
"Bulan lalu aku kehilangan pekerjaan karena perusahaan tempatku bekerja tutup. Rasanya aku sangat sial. Tapi aku tetap berpikir positif karena ingin memberikan kejutan untuk keluarga. Hampir setahun soalnya aku tidak pulang ke rumah. Tapi ternyata akulah yang terkejut. Pacarku yang sudah lama bersama denganku berselingkuh dengan adikku. Dia sampai menghamili adikku."
Mata Helena membelalak. Tidak bisa disalahkan reaksinya.
"Benaran? Terus?"
Helena tampak sangat antusias mendengarnya.
"Aku merasa dikhianati. Tidak sanggup tinggal satu atap dengan mereka berdua. Meskipun aku harus menerima kenyataan karena sudah terjadi. Aku ingin marah-marah, tapi kutahan saja. Lebih baik aku yang menjauh. Tidak sanggup melihat mereka bahagia sementara aku sengsara. Makanya aku terdampar di sini. Aku juga bersyukur karena cepat mendapat pekerjaan ini," ujar Kiandra sambil tersenyum.
"Kamu masih bisa tersenyum dalam situasi seperti ini? Kalau aku, mungkin sudah kutinju lelaki itu! Seharusnya aku tidak meminta kamu bercerita. Jadi teringat lagi kenangan buruk itu. Maaf ya."
"Tidak apa-apa. Anehnya aku tidak merasakan sakit lagi. Malah stres di sini lebih membantu untuk mengalihkan perhatian!" jawab Kiandra.
"Nah, ini dia yang bikin stres," Helena menunjuk ke arah seseorang.
"Aku mau makan, Kiandra yang jelek," kata Aiden sambil berdiri dengan tangan terlipat di dada.
"Oh, sudah selesai ya! Tunggu sebentar." Kiandra mengeringkan tangannya.
"Tapi kamu tahu, Kiandra, kamu cocok dengan Tuan Axton. Aku mendukung kalian berdua," bisik Helena.
Kiandra melotot. "Omong kosong apa itu! Jangan mikir yang aneh-aneh, Helena. Kami tidak mungkin!"
"Aku bilang aku mau makan! Kamu belum selesai mengobrol dengan pembantu itu? Kasih aku makan, Kiandra yang jelek!" rengek Aiden. Anak ini memang manja!
"Sebentar lagi! Kamu duluan saja, aku menyusul," kata Kiandra.
"Tch! Aku benci kamu!" Aiden berjalan pergi dengan kesal.
"Aku juga sayang kamu!" teriak Kiandra dengan nada menggoda.
"Aku pergi dulu, si Tuan Muda agak aneh jadi harus cepat kususul," kata Kiandra sambil tertawa.
Helena mengangguk sambil tertawa. "Kalian memang sudah akrab sekali. Seperti ibu dan anak!"
Kiandra menggeleng sambil berjalan menuju dapur.
Aiden sudah duduk di salah satu kursi dekat counter dapur. Sepertinya baru selesai kelas online. Dia memang sekolah di rumah untuk keamanan. Anak orang kaya seperti ini rentan diculik.
"Mau apa? Sereal? Atau sarapan berat?" tanya Kiandra sambil melihat isi kulkas untuk mencari bahan yang bisa dimasak. Dia juga akan ikut makan.
"Aku mau sarapan berat. Cepat, aku lapar," jawab Aiden.
"Baik, Tuan Muda." Kiandra mulai menyiapkan bahan-bahan masakan.
Kiandra mengeluarkan dada ayam fillet dari kulkas, lalu memukulinya hingga tipis dengan rolling pin. Dia merendamnya sebentar dalam bumbu garam dan merica. Sementara itu, dia menyiapkan tepung terigu, kocokan telur, dan tepung panir di tiga mangkuk terpisah. Setelah ayam dilumuri tepung, dicelup telur, lalu dibalur panir, Kiandra menggorengnya dalam minyak panas hingga kecokelatan dan garing.
Untuk curry-nya, dia menumis bawang bombay cincang hingga harum, menambahkan bubuk kari, santan, sedikit gula, dan garam. Setelah mendidih dan mengental, kuah kari siap. Chicken katsu yang dipotong-potong, disiram kuah kari yang kental dan harum. Ditambah potongan wortel rebus sebagai pelengkap.
"Apa yang kamu lakukan, Kiandra yang jelek?" tanya Aiden.
"Aku makan bersamamu. Tidak enak kalau makan sendirian! Makan sebelum dingin," jawab Kiandra.
"Terserah." Mereka makan bersama. Anak ini memang selalu punya masalah, tapi kadang-kadang bisa normal juga.
Kiandra tahu Aiden kurang mendapat perhatian dari Daddy-nya. Dia marah pada dunia karena merasa tidak penting bagi orang-orang. Itulah yang terpikirkan oleh Kiandra sebagai penyebab temperamen buruk anak itu. Daddy-nya selalu sibuk bekerja. Yang menemani Aiden di rumah hanya para pelayan. Siapa yang akan senang kalau situasinya seperti itu setiap hari?
"Aku butuh wali untuk ke sekolah hari Jumat," kata Aiden tiba-tiba.
Kiandra menatapnya. "Nanti kutelepon Daddy-mu. Memangnya ada acara apa?"
"Family day. Aku tahu dia sibuk. Tidak perlu bilang ke dia. Aku juga tidak tertarik ikut," jawab Aiden.
Tidak tertarik katanya, padahal wajahnya tampak kecewa.
"Yakin? Mau aku saja yang menemanimu?" tawar Kiandra.
"Kamu bukan waliku. Kamu cuma pengasuhku," jawab Aiden dingin.
"Padahal aku sudah baik hati menawarkan. Coba sesekali jadi anak yang ramah, Tuan Muda. Kamu masih kecil. Belum tujuh tahun tapi pikiranmu sudah dipenuhi masalah. Nikmati masa kecilmu. Keluar dari zona nyamanmu sesekali," kata Kiandra sambil membereskan piring bekas makan dan langsung mencucinya.
"Kamu bukan ibuku. Kenapa aku harus mendengarkanmu? daddy membayarmu untuk mengatakan semua itu? Menyebalkan!" gerutu Aiden.
Kiandra hanya tersenyum. "Daddy-mu membayarku untuk merawatmu. Nasihat-nasihatku itu gratis untukmu. Jangan sia-siakan dan coba lah. Nasi sudah menjadi bubur, Tuan Muda."
Kiandra hanya ingin membuka pikiran anak itu agar lebih sadar. Dia tahu hidup memang tidak adil. Bahkan dirinya sendiri punya banyak masalah. Tapi dia memilih hal-hal yang bisa membuatnya bahagia. Dia ingin melihat senyuman Aiden, wajahnya selalu cemberut. Semakin lama tinggal di sini, semakin dia memahami karakter anak itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments