Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Ayah membantu Kiandra membawa barang-barangnya ke mobil yang akan menjemput. Darius memasukkan koper-koper itu ke dalam bagasi dengan hati-hati. Kiandra memeluk ayahnya erat sebelum masuk ke dalam mobil. Dia juga berpamitan kepada seluruh penghuni rumah. Meskipun hatinya masih berat, dia tahu ini adalah keputusan yang tepat. Melalui kaca spion, Kiandra menatap sosok ayahnya yang semakin mengecil. Semua ini demi keluarga.
"Pak sopir, di mana alamat rumah Tuan Axton?" tanya Kiandra sopan. Kemarin tidak ada yang memberitahu lokasi pastinya.
"Di Pondok Indah, Nona," jawab sopir tersebut. Kiandra mengangguk pelan. Cukup jauh dari rumahnya di Jakarta Timur.
Sepanjang perjalanan, Kiandra hanya terdiam. Butuh waktu sekitar dua setengah jam untuk mencapai tujuan karena kemacetan Jakarta yang padat. Ketika mobil berhenti di depan gerbang megah, Kiandra terpana. Mansion yang menjulang di hadapannya tampak sangat mewah dan elegan. Gerbang otomatis terbuka dan mobil melaju masuk ke area yang luas.
"Terima kasih, Pak," ucap Kiandra ketika sopir membukakan pintu untuknya.
"Mari, Nona, ke sini," ajak sopir sambil menunjukkan pintu utama mansion yang megah. Kiandra mengikuti dengan kagum. Dia pikir rumahnya sudah cukup besar, ternyata mansion ini seperempat kali lebih besar.
"Kamu Kiandra?" tanya seorang wanita paruh baya berusia sekitar 50-an yang menyambut di pintu utama.
"Benar, Bu," jawab Kiandra hormat.
"Saya Widya, kepala pelayan di mansion ini. Panggil saja Bibi Widya. Pak Herman, tolong bawakan barang-barang Nona Kiandra." Pak Herman mengangguk dan segera mengurus koper-koper Kiandra.
"Ikut saya," perintah Bibi Widya lembut.
Bibi Widya mengajak Kiandra berkeliling mansion yang luar biasa besar itu. Dia menunjukkan berbagai ruangan, termasuk kamar-kamar para pelayan. Kiandra merasa bisa tersesat jika tidak menghafalkan setiap petunjuk arah yang diberikan. Untunglah dia memiliki ingatan yang baik untuk hal-hal seperti ini. Tujuan terakhir mereka adalah kamar anak yang akan diasuhnya.
"Sepertinya kamu tidak gugup. Biasanya pengasuh yang merawat putra Tuan Axton tidak bertahan lebih dari seminggu. Yang paling lama hanya tiga hari. Kamu juga yang termuda yang melamar jadi pengasuh Tuan Muda," ujar Bibi Widya sambil berjalan. Aneh sekali. Berarti anak itu nakal sekali?
"Sudah saya katakan kemarin, saya akan bekerja dengan sebaik-baiknya. Ini demi keluarga saya, Bi," jawab Kiandra mantap. Bibi Widya mengangguk dan membuka pintu di hadapan mereka.
"Bukankah sudah saya bilang kalian harus mengetuk sebelum masuk?! Mau apa kamu, Nenek Jelek?!" Mata Kiandra membulat mendengar kata-kata kasar itu. Anak ini sangat tidak sopan.
"Maaf, Tuan Muda. Saya hanya ingin memberitahu bahwa ada pengasuh baru untukmu," kata Bibi Widya sabar. Anak itu menoleh ke arah Kiandra. Wajahnya mirip sekali dengan Tuan Axton. Kiandra tersenyum ramah padanya.
"Penyihir itu? Ha! Aku tidak butuh! Aku bisa merawat diriku sendiri! Pergi sana!" Benar kah yang Kiandra dengar? Anak itu memanggilnya penyihir?!
"Tunggu dulu, Dek! Mulutmu itu tidak ada saringannya ya! Kami lebih tua darimu! Hormati kami," tegas Kiandra. Masih kecil tapi sudah kasar sekali. Pantas saja Tuan Axton memberikan gaji besar karena tidak ada pengasuh yang tahan menghadapi tingkahnya.
"Kiandra, tidak apa-apa. Kami sudah terbiasa dengan sifat Tuan Muda seperti ini," kata Bibi Widya sambil menarik lengan Kiandra keluar.
"Lihat kan! Mereka sudah terbiasa. Aku tidak mau kamu di sini, keluar!" teriak anak itu sambil mendorong mereka keluar.
"Dasar tidak sopan!" gerutu Kiandra kesal.
"Bagaimana? Mau melanjutkan? Saya bisa menelepon Tuan Axton jika kamu ingin mundur," tawar Bibi Widya.
"Tidak, Bi! Saya belum mulai bekerja. Kalau yang lain mudah menyerah, saya tidak!" Bibi Widya tersenyum melihat tekad Kiandra.
"Semoga berhasil, Nak. Sekarang kamu harus menyiapkan makan siang untuk Tuan Muda. Ayo ke dapur." Kiandra mengikuti Bibi Widya ke dapur yang modern dan lengkap.
Setelah dibantu menyiapkan makanan, Kiandra langsung menuju kamar anak itu dengan membawa nampan berisi makan siang.
"Kenapa kamu masih di sini, Penyihir Jelek?" tanya anak itu sinis.
Kiandra meletakkan nampan di meja kecil dengan tenang. "Makan siangmu sudah siap. Makan sekarang sebelum dingin," katanya sambil duduk di sofa pojok.
"Aku tidak mau makan itu! Keluar. Penyihir Jelek!" bentaknya.
Kiandra tetap tersenyum sabar. "Pertama, aku punya nama. Panggil aku Kak Kiandra, dan aku bukan penyihir."
Anak itu menyeringai. "Aku tidak peduli. Kakak Kiandra si Penyihir Jelek."
Kiandra menggeleng pelan. "Baiklah. Aku terima panggilan itu. Sekarang makan. Aku tidak akan pergi dari sini sampai makanan itu habis. Makan," katanya dengan nada tegas.
"Sudah kubilang, AKU. TIDAK. MAU! Kamu tuli ya?!" teriaknya keras.
"Aku tidak tuli. Makanya makan sekarang! Jangan keras kepala!" Kiandra meninggikan suaranya juga.
Anak itu bangkit dari tempat tidur dan mengambil nampan makanan. Dia berjalan mendekat dan menumpahkan seluruh isinya ke arah Kiandra.
"Sudah kubilang, aku tidak mau! Kakak Kiandra si Penyihir Jelek. Keluar sekarang." Gaji besar ini tidak boleh sia-sia, jadi Kiandra tidak boleh menyerah. Kesabaran adalah kuncinya.
"Makanannya terbuang percuma. Dasar boros!" sebelum anak itu sempat menjauh, Kiandra menyiram balik dengan air minum dari meja. Rasakan!
"Apa-apaan! Kenapa kamu siram aku?!" teriaknya marah.
"Ups! Maaf ya. Tanganku licin. Mandi sana, Tuan Muda," kata Kiandra santai sambil mengambil nampan dan keluar dari kamar.
"Aduh! Nona baru, Tuan Muda ngamuk lagi ya?" tanya salah satu pelayan yang menghampiri Kiandra.
"Namaku Kiandra. Iya, dia memang suka berkelahi rupanya," jawab Kiandra sambil tersenyum.
"Oh maaf, Nona Kiandra. Saya Helena. Senang berkenalan," kata pelayan itu sambil menjabat tangan Kiandra.
"Senang juga berkenalan denganmu, Helena."
"Biar saya yang bersihkan ini, Nona. Kamu mandi dulu, bajunya sudah kotor. Saya yang akan bersihkan kamarnya juga," tawar Helena baik hati.
"Terima kasih, Helena," ucap Kiandra tulus.
Kiandra menuju kamar yang telah disediakan untuknya. Luar biasa! Kamarnya bahkan memiliki kamar mandi pribadi yang mewah. Dia masuk ke kamar mandi untuk mandi. Sepertinya dia membutuhkan kesabaran yang sangat panjang untuk menghadapi anak yang penuh amarah itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments