Takdir Kedua Nainara
“Nara, sayang...Bangun, jangan tinggalin Mami, sayang... Naraa..” seorang wanita paruh baya berurai air mata mengguncang tubuh putrinya yang terbaring lemah di brankar dorong. Tangannya bergetar mengusap darah yang memenuhi kepala putrinya, hingga terlepas saat brangkar itu masuk ke ruangan gawat darurat.
“Pi, anak aku pi.... Nara.. Tolongin Nara, pi, tolongin!!” Tubuhnya ambruk dalam pelukan sang suami yang sejak tadi terdiam.
“Dia anak yang kuat, Mi.. Dia pasti bangun, dia gadis kecil kita yang kuat..” Tetes air mata jatuh begitu saja setelah sejak tadi berusaha dia bendung. Kedua pasangan itu saling menguatkan satu sama lain di depan ruangan anaknya.
Tap
Tap
Tap
Terdengar langkah kaki di lorong, sontak keduanya beralih melihat seorang pria yang datang dengan stelan jas lengkap, langkahnya sangat cepat, air mata yang berurai jelas, juga wajah penyesalan dan rasa bersalah tergambar.
“Ba.. Bagaimana dengan istri saya, Pa?” tidak ada yang baik-baik saja. Aaron Wiranda, direktur perusahaan cabang Evander grup, yang merupakan suami dari Nainara Evander kini berdiri lemas di sana.
Plak!
Plak!
Dua tamparan keras melayang di pipi pria itu, tamparan yang berasal dari tangan besar Jordan Evander.
“Kenapa menjadi suami saja kamu tidak becus! Brengsek!!” raung Jordan, wajahnya merah padam.
Bugh!!
Satu hantaman keras melayang, membuat sudut bibir Aaron pecah.
Amarah seorang ayah yang begitu menyayangi putrinya, tentu saja akan menyalahkan orang yang berada di dekat putrinya sekarang.
“Di mana? Di mana janji kamu yang katanya akan prioritasin putri saya, hah? Kenapa untuk menjaganya saja kamu tidak bisa, dasar pria sialan, tidak tau di untung!”
Bugh!!
Lagi dan lagi, Jordan benar-benar melampiaskan rasa sakitnya pada sang menantu yang kini hanya tertunduk dengan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya akibat pukulan beruntun itu dari sang mertua.
“Maaf Pi... Maafkan Aaron yang tidak bisa menjaga Naina, maafkan Aaron, Mi..” pria itu berlutut di hadapan kedua orang tua tersebut, wajahnya penuh penyesalan.
“Brengs—“ saat kaki Jordan hendak kembali melayang untuk menendang sang menantu, Mami Audrey menahannya dengan pelukan. Wanita itu menggeleng pelan, menatap sang suami lama.
“Kita tidak bisa menyalahkan dia, ini kecelakaan sayang, tolong jangan buat ini semakin runyam, fokus saja ke Nara sekarang!” ujar wanita itu berhasil membuat Jordan tak berkutik.
.
.
.
Dua jam lebih mereka duduk di depan ruangan Naina, kini beberapa dokter keluar dari sana.
“Keluarga pasien atas nama Nainara?”
“Saya ayahnya dok,” jawab Jordan cepat mendekati dokter itu. Begitu pun dengan Aaron dan Mami Audrey. Mereka menatap cemas, apalagi wajah sang dokter tidak tertebak.
“Bagaimana kondisi putri saya, dok? Dia baik-baik saja kan? Tidak ada luka serius kan, dok?” pertanyaan dari Mami Audrey, air matanya kembali jatuh membasahi pipi.
Dokter itu tak segera menjawab, dia menghela nafas panjang, lalu “ kondisi pasien dalam keadaan kritis, Nyonya.” Ucap sang dokter akhirnya, sorot matanya sayu.
“Ap… apa maksud dokter? Maksud dokter Nara masih bisa diselamatkan, kan?” suara Audrey bergetar, tubuhnya mulai melemas, beruntung Jordan cepat menopangnya.
“Kecil kemungkinan, pasien terlalu banyak kehilangan darah, dan benturan di kepalanya begitu parah, saat ini kita hanya bisa berharap agar keajaiban itu bisa ada, dan—“
“Selamatkan putri saya dok, tolong! Berapa pun biayanya, yang terpenting putri saya selamat, tolong dokter!” kalimat penuh permohonan dari Jordan. Sang dokter hanya menepuk pundaknya sekilas, “do’akan yang terbaik, Tuan,” ujarnya lalu pergi dari sana. Sebelum menjauh, Aaron sempat menghentikan langkah sang dokter.
“Apa sudah boleh masuk ke ruang pasien, Dok?” Tanyanya pelan.
“Tidak untuk sekarang, mungkin nanti setelah pasiennya di periksa kembali,” Hanya anggukan kecil, Aaron menghampiri Mami Audrey, ikut memapah wanita paruh baya itu untuk duduk di kursi tunggu.
Dretttt...
Drett...
“Mami tunggu di sini sebentar, aku angkat telepon dulu!”
.
.
Malam hari, suasana dalam ruangan Naina sangat sepi. Bunyi peralatan medis serta bau antiseptik menguar jelas. Wanita dengan wajah yang tampak di penuhi alat-alat medis di tubuhnya terbaring lemah. Sementara di sisi lain, di sebelah ranjang, berdiri wanita yang sama, menatap tubuhnya yang berbaring di sana.
“I... Ini aku? Apa yang terjadi?” Dia mematung, heran sendiri. Tangannya bergerak untuk menyentuh, tapi pergerakannya urung saat mendengar suara pintu yang terbuka. Wajah wanita itu tersenyum sumringah, dia berlari pelan, “Sayang, kamu datang?” ujarnya semangat hendak memeluk tubuh tinggi tegap itu, tapi pria itu tidak peduli dan tidak menganggap kehadirannya.
“Sayang, ini aku, haloooo..” dia kembali mencoba untuk membuyarkan pria di depannya, namun lagi-lagi tidak di gubris, hingga wanita itu sadar bahwa sekarang itu mungkin adalah jiwanya yang tak terlihat.
“Nainara Evander,” suara itu pelan, membuat jiwa Naina tertegun. Untuk pertama kalinya sang suami memanggilnya dengan nama lengkap. Haruskah dia senang sekarang? Dan lagi, ini pertama kalinya juga dia melihat Aaron dengan wajah sembab yang bisa dia pastikan karena menangisi dirinya.
“Wanita bodoh, naif, dan tak tau diri!” Seketika wajah Naina terpaku, saat melihat Aaron tersenyum smirk, lalu mengusap wajahnya kasar.
“Kamu terlalu ikut campur akhir-akhir ini, juga terlalu curiga, sayang.. Hahahah” tawanya menggema, dia mendekat ke arah ranjang, memperbaiki rambut Naina sekilas.
“Kamu tahu, aku sudah cukup nyaman dengan Naina yang bodoh, yang bisa di atur semua ku..” pria itu mendesah pelan, menatap wajah Naina sangat lama.
“Tapi entah siapa yang meracunimu satu tahun terakhir, hingga kamu mulai curiga dan pintar sedikit, katakan siapa yang mengajarimu sampai berani sadap ponselku, hmm?” pria itu meremas kuat tangan Naina, berbicara seorang diri tanpa ada tanggapan.
“Kalau aku terus membiarkanmu hidup, posisiku akan berbahaya, jadi.....”
“pria sialan, to-tolong jangan.... Jangan lakukan itu, aku masih mau hidup, Aaron!” meski dia berteriak histeris dan berusaha menggagalkan rencana Aaron yang hendak mencabut beberapa peralatan yang terpasang di tubuhnya, tapi semua itu sia-sia karena Naina tak di dengar juga tak bisa melawan. Wanita itu menangis dan terus menyumpahi Aaron, hingga saat selang oksigen nyaris terlepas, dering ponsel Aaron menghentikan aksi pria itu.
“katakan!” suaranya begitu dingin, tapi ada senyum sinis dan puas bersamaan di sana.
“Lakukan sekarang, dia orang tua itu baru saja keluar dari rumah sakit menuju ke rumah. Dan rencananya mereka akan kembali beberapa jam lagi untuk berjaga di rumah sakit.”
“.......... “
“Lakukan pekerjaan kalian, buat itu seolah-olah kecelakaan, dan pastinya tidak boleh meninggalkan jejak sedikit pun, paham!” tegas Aaron memerintah. Jantung Naina nyaris copot mendengarnya. Dia paham dan sangat mengerti maksud dari pria itu. Astaga, dia benar-benar memelihara iblis selama ini.
Tangisan Naina pecah, dan tanpa pikir panjang, dia keluar dari ruangannya, berencana menghentikan niat yang Aaron rencanakan.
“Tidak, tolong jangan mereka...” Tangisnya, berlari sekencang mungkin di jalanan yang sangat ramai.
Hingga malam yang dingin, di sebuah jalan yang masih rame di jam segitu, sebuah mobil yang tidak asing di pandangannya menghantam keras pembatas jalan, menabrak beberapa mobil lain di depannya, dan terguling beberapa kilometer dari tempat kejadian.
Iya, jiwa Naina menjadi saksi mata bagaimana tragisnya kecelakaan yang di alami kedua orang tuanya malam itu. Wanita itu syok, dadanya seakan di remas, Nafasnya tercekat, dia berjalan pelan menghampiri mobil yang sudah hancur dengan asap yang mulai mengepul. Naina mundur beberapa langkah, memegang dadanya kuat sembari menangis pilu, kepalanya pening, dan perlahan tubuhnya mulai ambruk dan—
“Tidakkkkkkkkk..... Jangan tinggalin Nara, Mi.. Pi. Bangun..”
“Kak, bangun! Kakak!”
Suara itu terdengar jauh, menggema di antara tangisan Naina. Tubuhnya terasa berat, napasnya sesak, sampai kemudian percikan air dingin menghantam wajahnya.
“Jangan... jangan ambil kedua orang tua Nara…” isaknya masih lirih.
“Ih, apaan sih? Gak jelas banget! Kakak, bangun, kamu telat ke sekolah!”
Mata Naina terbelalak. Ia mendongak dengan napas memburu. Bukan di jalan, bukan di rumah sakit. Kini ia berada di sebuah kamar mewahnya saat masih SMA. Di depannya berdiri seorang cowok menatap aneh ke arahnya.
“Nathan... "
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
🦂 ≛⃝⃕|ℙ$ Nurliana §𝆺𝅥⃝© 🦂
Kirain masih baru nna 😄 udah 17 bab ya
2025-09-19
0
uni_riva
maaf thoorr bukannya anak kita thoorr 😁
2025-09-11
1
uni_riva
cih dia dalang dri kecelakaan naina yaaa
2025-09-11
0