Suara burung merpati terdengar samar dari halaman luar. Saat pelayan masuk membawa sarapan, Lydia sudah rapi dengan gaun rumah sederhana berwarna pastel.
“Selamat pagi, Nyonya,” ucap salah satu pelayan tua dengan sopan. “Ini sarapan Anda.”
Lydia tersenyum tipis. “Terima kasih. Taruh saja di meja.”
Pelayan itu menunduk, lalu pergi.
Belum lama ia duduk, seorang wanita lain masuk dengan langkah anggun. Rambut cokelatnya bergelombang indah, kulitnya cerah, bibirnya dipoles merah menyala. Dialah Sofia, pelayan khusus yang semalam sudah memperkenalkan diri.
“Selamat pagi, Nyonya.” Nada suaranya terdengar ramah, tapi mata cokelatnya menyimpan sinar dingin. “Apakah Anda tidur nyenyak tadi malam?”
“Lumayan,” jawab Lydia datar.
Sofia melangkah lebih dekat, merapikan piring-piring di meja, lalu berbisik lirih.
“Rumah ini terlalu besar, terlalu sunyi, bukan? Bisa jadi… menakutkan bagi seorang wanita yang sendirian.”
Lydia menatapnya, tidak menjawab.
Sofia tersenyum manis, tapi senyum itu palsu.
“Kalau saya boleh jujur, Nyonya. Tuan Figo jarang sekali pulang. Kadang berbulan-bulan tidak muncul. Jadi jangan terlalu berharap banyak. Di rumah ini, yang benar-benar berkuasa adalah dia.” Sofia menunjuk dirinya sendiri dengan jemari lentik.
Lydia menahan tawa kecil. “Begitukah, lalu kenapa?”
Sofia mendekat, mencondongkan tubuhnya. “Kalau kau pintar, kau akan tahu posisimu. Kau hanya istri di atas kertas. Hati Tuan Figo sudah lama jadi milik orang lain.”
Ucapan itu diakhiri dengan senyum penuh kemenangan.
Lydia menunduk seolah pasrah, lalu mengambil sendok. “Terima kasih atas sarannya, Sofia. Akan kuingat. Tapi maaf itu bukan urusan mu dan kau boleh pergi”
Sofia yang mendengar jawaban Lydia pun tercengang, karena ketenangan dan keberanian Lydia.
Setelah Sofia pergi, Lydia menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan.
Satu hal yang sudah lama ia pelajari. Dunia ini tidak memberi ruang pada orang lemah. Karena itu ia harus selalu memainkan peran.
Di depan orang lain, ia akan menjadi Lydia yang lembut, penurut, dan polos.
Tapi di balik itu, ia tetaplah Lydia yang sesungguhnya kuat, tajam, dan berbahaya.
Ia menatap sekeliling ruangan. Lukisan-lukisan abstrak, kristal di langit-langit, marmer di lantai. Semua tampak sempurna, tapi dingin tanpa jiwa.
“Ini penjara emas,” gumamnya. “Namun aku tidak akan membiarkannya menelan diriku.”
---
Hari berganti malam. Luis Figo tidak muncul sekalipun di rumah itu bahkan kabar jelas pun tidak Lydia dapatkan, hanya kabar samar dari anak buahnya yang mengatakan ia sedang “bekerja.” Bekerja kata halus untuk perang antar geng atau transaksi berdarah.
Lydia duduk di meja kerja, membuka buku catatan kecil. Tangannya menggambar pola-pola angka dan kode. Sesekali ia tersenyum tipis, seakan menemukan puzzle menarik.
Tiba-tiba, pintu kamar diketuk.
“Masuk,” ucap Lydia.
Sofia melangkah masuk dengan nampan berisi teh hangat. “Minumlah, Nyonya. Teh ini bisa membantu tidur.”
Lydia menerima dengan sopan. “Terima kasih.”
Sofia berdiri agak lama, menatapnya. “Boleh saya jujur, Nyonya?”
Lydia menoleh. “Tentu.”
Sofia menurunkan suaranya. “Anda tidak akan bertahan lama di sini. Semua istri yang pernah mendekati Tuan Figo… akhirnya pergi. Ada yang kabur, ada yang menghilang. Anda tidak berbeda.”
Lydia menatap teh di tangannya, lalu mengangkat kepala dengan senyum manis. “Kalau begitu, kita lihat saja, Sofia.”
Lagi lagi ucap Lydia seperti menantang nya dan membuat Sofia kesal lalu pergi begitu saja.
---
Malam semakin larut. Setelah yakin semua pelayan tertidur, Lydia membuka laci meja. Ia mengeluarkan laptop hitamnya, lalu menyalakannya dengan cepat.
Jari-jarinya menari di atas keyboard. Jaringan keamanan rumah Figo langsung terpampang. Kamera pengawas, pintu elektronik, bahkan jadwal patroli anak buah Luis. Semua dalam genggamannya.
Ia tidak berniat menghancurkannya, hanya mengamati.
“Menarik…” gumamnya.
Tiba-tiba layar menampilkan notifikasi. Ada serangan siber dari pihak luar seseorang sedang mencoba meretas jaringan Figo. Lydia mengernyit, lalu dengan mudah membalikkan serangan itu, membuat penyerang kabur.
Ia tersenyum tipis.
“Sepertinya, hidupku di rumah ini tidak akan membosankan.”
Di luar kamar, Sofia berdiri mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Senyum sinisnya perlahan menghilang, berganti dengan tatapan curiga.
“Ada sesuatu dengan perempuan itu,” bisiknya. “Dia bukan sekadar pengantin pengganti. Aku harus mencari tahu.”
Sementara di kamar, Lydia menutup laptopnya, lalu menatap cermin. Bayangan dirinya dengan gaun tidur sederhana menatap balik.
“Aku mungkin hanya istri di atas kertas. Tapi suatu hari, semua akan tahu siapa sebenarnya aku.” ujar Lydia lirih
...----------------...
Matahari pagi menembus kaca jendela besar kamar utama, menyapukan cahaya hangat ke lantai marmer yang berkilau. Lydia membuka matanya perlahan, lalu duduk di tepi ranjang. Rambut hitamnya terurai lembut di bahu, wajahnya tenang, nyaris seperti patung porselen.
Tidak ada ucapan selamat pagi. Tidak ada sosok suami yang duduk di samping ranjang.
Hanya sepi.
Ia menarik napas panjang, lalu berdiri. Tubuh rampingnya bergerak anggun ke arah balkon. Dari sana ia bisa melihat halaman belakang yang luas, dengan taman penuh bunga yang dirawat rapi. Burung-burung kecil beterbangan, seakan tidak peduli bahwa rumah itu adalah sarang mafia paling ditakuti.
“Indah, tapi dingin,” gumamnya lirih.
Seorang pelayan tua mengetuk pintu, lalu masuk membawa baki berisi sarapan.
“Selamat pagi, Nyonya.”
“Selamat pagi.” Lydia tersenyum sopan.
Pelayan itu menunduk dalam-dalam sebelum keluar. Tak lama, pintu terbuka lagi, dan kali ini Sofia yang masuk. Wajahnya segar, bibir merahnya berkilau. Dengan gaya percaya diri, ia menaruh vas bunga di meja dekat ranjang.
“Pagi, Nyonya. Tidur nyenyak?” suaranya ramah, tapi matanya memandang Lydia seakan menilai kelemahan.
“Nyenyak,” jawab Lydia datar. Ia menutup balkon, lalu duduk di kursi.
Sofia mendekat. “Senang mendengarnya. Saya hanya ingin mengingatkan, hari ini ada beberapa aturan rumah yang harus Nyonya pelajari. Tuan Figo mungkin tidak ada, tapi sebagai pelayan senior, saya bertanggung jawab menjaga keteraturan.”
Nada suaranya terdengar seperti seorang penguasa, bukan pelayan.
Lydia menatapnya sekilas, lalu mengangguk kecil. “Baik. Aku akan mendengarkan.”
Sofia tersenyum puas, lalu mulai menjelaskan hal-hal sepele: kapan waktu makan, bagian rumah mana yang tidak boleh dimasuki, hingga tata krama di hadapan tamu. Semua disampaikan dengan nada seolah Lydia hanyalah tamu sementara.
Di akhir, Sofia mendekat lebih jauh, hampir membisikkan.
“Kalau ingin bertahan lama di rumah ini, Nyonya harus pintar menempatkan diri. Jangan berharap banyak dari pernikahan ini. Tuan Figo tidak pernah benar-benar peduli pada seorang wanita.”
Lydia terdiam, menunduk seakan pasrah. Ia memainkan sendok di tangannya, senyum kecil terbit di bibirnya.
“Terima kasih sudah mengingatkanku. Aku ingat kata-katamu, dan itu sudah beberapa kali. Aku tidak pikun”
Sofia sangat kesal lalu pergi dengan langkah penuh kesal.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
ariek susi
menarik
2025-09-10
0
🪷Mrs.Mom05🪷
💝💝💝💝💝
2025-09-09
0