Aluna melangkah anggun di antara kerumunan tamu, gaun merahnya menjuntai elegan. Malam itu ia bukan hanya sekadar istri dari Barra Pramudya, melainkan seorang pewaris keluarga Wijaya yang penuh wibawa. Beberapa klien perusahaan Wijaya mendekatinya dengan hangat, menyapa satu per satu. Aluna tersenyum ramah, suaranya tenang dan penuh percaya diri.
“Proyek tahun depan sudah dalam tahap finalisasi, Pak,” katanya sambil menjabat tangan seorang pengusaha.
“Saya pastikan semua berjalan sesuai target. Kepercayaan Anda tidak akan kami sia-siakan.”
Investor-investor lain tampak kagum dengan keluwesannya. Satu di antaranya, seorang pria paruh baya berkebangsaan asing, bahkan menepuk pundaknya pelan.
“Nona Aluna, saya terkesan dengan cara Anda menjelaskan. Profesional, tapi juga hangat. Tidak heran perusahaan Wijaya tetap stabil.”
Aluna tersenyum lebih lebar, menyembunyikan getir di hatinya. Malam ini, ia harus terlihat sempurna, bahkan ketika suaminya berdiri jauh di seberang ruangan bersama wanita lain. Dari kejauhan, Barra berdiri bersama Miska, berbincang dengan klien-klien penting keluarga Pramudya. Namun, sesekali tatapannya teralih, tanpa sadar menatap ke arah Aluna.
Dia melihat bagaimana istrinya itu tertawa kecil, bagaimana senyumnya mempesona para investor, bagaimana setiap gerak tubuhnya begitu memikat. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Barra, sesuatu yang tak bisa ia akui bahkan pada dirinya sendiri. Andra, yang berdiri di sisi Aluna, tidak melewatkan pandangan itu. Ia merendahkan suara, mendekat ke telinga Aluna.
“Dia sedang memperhatikanmu.”
Aluna menoleh cepat, sedikit terkejut.
“Apa?”
Andra hanya tersenyum tipis, lalu tanpa ragu melingkarkan lengannya di pinggang Aluna. Aluna spontan kaget, ingin melepaskan, tapi Andra berbisik pelan,
“Tenang saja ... kau ingin membuatnya cemburu, bukan? Biarkan aku membantumu.”
Degup jantung Aluna meningkat. Sesaat ia ragu, namun kemudian bibirnya melengkung tipis. Ia membiarkan tangan Andra tetap di sana, lalu tersenyum lebih cerah pada lawan bicaranya. Dari kejauhan, Barra yang melihat adegan itu mengepalkan tangannya erat-erat. Rahangnya mengeras, tapi ia tetap mencoba mengalihkan pandangan, menekan gejolak yang tiba-tiba menghantam dadanya.
Lampu kristal berkilauan di langit-langit ballroom hotel bintang lima itu, memantulkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Musik jazz lembut mengalun, bercampur dengan deru suara tamu undangan yang saling berbincang sambil menikmati minuman dan hidangan yang disediakan. Malam itu bukan sekadar pesta ulang tahun perusahaan, melainkan juga ajang unjuk citra keluarga Wijaya di hadapan kolega, klien, serta para investor.
Aluna melangkah anggun memasuki ruangan dengan gaun yang elegan. Tak seorang pun menyangka, perempuan yang sering dipandang remeh itu mampu tampil begitu percaya diri. Di sisinya, Andra setia mendampingi, sesekali mencondongkan tubuh memberi komentar ringan yang membuat Aluna tersenyum. Senyum itu pula yang menarik perhatian banyak orang.
“Nona Wijaya,” sapa salah satu investor asing, menyalaminya hangat.
Aluna menundukkan kepala sedikit.
“Selamat malam, Tuan Robert. Terima kasih sudah berkenan hadir. Saya harap perjalanan Anda dari Singapura menyenangkan.”
Percakapan mereka berlanjut dengan lancar. Aluna lihai mengatur topik, menyinggung tentang proyek ekspansi yang tengah direncanakan perusahaan Wijaya. Investor lain ikut mendengarkan, bahkan ada yang memuji kecerdasannya.
Miska yang menyadari arah pandangan Barra sejak dari tadi mendengus pelan.
“Kak Barra, sepertinya dia sedang menikmati peran barunya, ya?” ucapnya dengan nada tajam. Barra tak menanggapi, hanya meneguk minumannya sambil terus mengamati Aluna.
Andra, yang sadar akan tatapan itu, perlahan merangkul pinggang Aluna. Gerakan itu membuat Aluna sempat terkejut. Ia ingin menepis tangan Andra, namun lelaki itu membungkuk sedikit, berbisik di telinganya.
“Dia sedang memperhatikanmu, jangan sia-siakan kesempatan ini.”
Aluna terdiam sejenak, lalu dengan penuh perhitungan ia membiarkan lengan Andra tetap melingkari pinggangnya. Senyum yang tadi hanya sekadar ramah, kini berubah lebih hangat, seakan ia tengah menikmati kebersamaan dengan Andra.
Tatapan Barra semakin tajam. Rahangnya mengeras, sementara Miska merasakan amarah dalam dirinya ikut berkobar. Ia menggenggam tas kecilnya dengan kuat, kemudian berpura-pura tersenyum kepada klien di sampingnya. Namun matanya menyimpan niat lain.
Beberapa menit kemudian, Miska mendekat ke telinganya Barra.
“Aku ke toilet sebentar,” katanya singkat, lalu bergegas pergi. Sesampainya di lorong menuju toilet, ia berhenti sejenak, menunduk menatap ponselnya, jemarinya lincah mengetik pesan untuk Aluna.
[Temui aku di koridor dekat toilet, aku punya sesuatu untukmu. Mama bilang seminggu yang lalu kamu pulang ke rumah datang mencari kalung berlian ibumu kan? Kini ada padaku,]
Pesan itu terkirim untuk Aluna. Saat Aluna awalnya tak ingin menanggapi. Ia bisa menebak adik tirinya itu hanya ingin memancing keributan. Namun rasa penasaran mengusik pikirannya, apalagi setelah Miska mengatakan kalung ibunya ada padanya. Aluna pun meminta izin sejenak pada Andra dan berjalan menuju lorong.
Koridor itu sepi, hanya diterangi cahaya lampu dinding yang temaram. Aroma parfum bunga samar tercium, bercampur dengan wangi karpet baru. Di ujung koridor, Miska sudah menunggu dengan wajah penuh kemenangan.
“Aku tahu cepat atau lambat kamu akan datang,” ucap Miska sinis.
“Apa yang kamu mau, Miska?” sahut Aluna dingin. Mereka berdua berdiri berhadapan, ketegangan menyelimuti udara.
“Kamu pikir semua orang tidak tahu? Kamu merebut Barra dariku!” tuduh Miska, suaranya bergetar antara amarah dan air mata yang ditahan.
Aluna mendengus. “Kamu terlalu berlebihan ... Barra suamiku secara sah, Miska. Jangan membalikkan fakta.”
“Suami? Jangan bercanda! Dia seharusnya milikku. Aku sudah bersamanya jauh sebelum kamu muncul. Kamu cuma numpang nama dan status!”
Aluna terdiam, bukan karena ucapan itu menyakitkan, melainkan karena ia tidak mau terjebak dalam permainan emosi adik tirinya. Namun saat Miska merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah kalung berlian, tubuh Aluna seketika menegang.
Itu kalung peninggalan ibunya, satu-satunya warisan berharga yang hilang sejak lama, mata Aluna membelalak.
“Dari mana kamu dapat itu?” tanyanya dengan suara bergetar.
Miska tersenyum miring. “Tidak perlu kamu tahu ... yang jelas, ini buktinya. Kamu tidak pantas memilikinya.”
Aluna spontan melangkah maju hendak merebut kalung itu, namun Miska gesit menghindar. Pertengkaran mereka kian memanas, suara mereka meninggi meski masih tertahan oleh lorong sepi.
Di saat bersamaan, Miska diam-diam mengirim pesan cepat pada Barra.
[Kak Barra ... lambungku kambuh. Jemput aku di koridor dekat toilet, cepat.]
Ketika langkah seseorang terdengar mendekat dari arah ballroom, Miska panik sejenak. Ia lalu menarik tangan Aluna dengan kasar, menyeretnya ke dekat tangga darurat. Aluna berusaha menahan, khawatir jika keributan ini akan terlihat orang lain.
“Lepaskan, Miska! Jangan bikin drama!” bentak Aluna.
Miska justru menyeringai. “Kalau kamu tidak mau mengalah, biar orang lain yang menilaimu.” Dengan sengaja, Miska mencondongkan tubuhnya ke belakang, seolah-olah Aluna yang mendorongnya. Aluna berusaha menahan tubuhnya agar tidak jatuh, tapi Miska terus menarik tangannya, memaksa dirinya jatuh.
"Miska! Jangan gila! Apa kau bosan hidup? Jangan libatkan aku dalam kegilaanmu," Aluna berusaha menarik tangan Miska agar tak terjatuh. Namun, tepat pada detik itu, suara langkah cepat terdengar Barra muncul di lorong, matanya langsung menangkap adegan di depan tangga. Pada saat itu juga genggaman tangan Miska pada Aluna terlepas.
“Miska!” teriaknya, lalu matanya beralih ke Aluna.
“Aluna! Apa yang kau lakukan?!" bentak Barra, namun tubuh Miska sudah melayang terguling di atas anak tangga yang tak seberapa jauh itu.
Tanpa berpikir panjang, Barra mendorong Aluna dengan keras. Tubuh Aluna terbanting ke dinding tangga, kepalanya membentur sisi besi hingga darah segar mengalir di pelipisnya. Ia terhuyung, pandangannya berkunang-kunang.
Namun Barra tak peduli. Ia segera berlari menuruni anak tangga, menghampiri Miska yang kini meringis kesakitan di bawah. Tangannya penuh kepanikan saat memeluk tubuh Miska, sementara Aluna hanya bisa terduduk lemah di atas, memandang suaminya yang sama sekali tak menoleh padanya.
"Apa yang terjadi?" beberapa orang muncul, Tuti melihat anaknya dalam gendongan Barra, dan menaiki anak tangga itu. Sedangkan, Andra mendekat melihat kondisi Aluna membantunya berdiri.
"Aluna, kau membunuh adikmu? Kau sengaja melakukan itu kan? Mama tau kamu benci Miska, sejak dia kecil ... tapi bukan begini caranya, kita keluarga. Kenapa tak bicara baik-baik jika ada yang ingin kamu mau dari Miska," Tuti tahu itu adalah permainan anaknya. Aluna tak menjawab selain pandangannya terus menatap Barra yang berusaha mengendong Miska.
"Barra, apa yang terjadi?" tanya Ratih pada putranya.
"Tanya saja pada menantu mama ... Dia baru saja mendorong Miska jatuh ke bawah," ujarnya lalu pergi meninggalkan semua orang, Tuti pergi mengikuti langkah Barra yang meninggalkan tempat tersebut.
"Aluna, apa yang terjadi?" tanya Haryanto. Aluna tak menjawab selain terus menatap punggung kekar suaminya yang pergi membawa wanita lain dalam pelukannya menuju rumah sakit.
"Aluna, kepalamu berdarah. Kita perlu ke rumah sakit," ucap Andra memegang lengan Aluna.
"Tolong, Nak. Bawa dia ke rumah sakit," seru Kakek Haryanto, Andra mengangguk dan pergi membawa Aluna ke rumah sakit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Lyvia
othor pinter bikin pembaca emosi 😀
2025-09-07
1
partini
si Kunti pandai ber akting,,ternyata bagus ini cerita 👍👍👍
ada rasa aga suka istri di dekat sama cowok lain tapi ga peduli aduhhh munafikun ini mah,,kalau nanti berpisah semoga ga Bali kan lagi berharap ini cerita sedikit berbeda
2025-09-07
1
Eva Karmita
tungguin aja pembalasan Aluna barra kamu akan menyesal dan nagis di pojokan nanti
dasar laki BOTOL "Bodoh bin Tolol" 😠👊
2025-09-07
1