Bab 3

Milea meringkuk di tepi ranjang, tubuhnya lemas, selimut tipis terasa tak mampu menghangatkan jiwanya yang dingin. Pikirannya melayang, terombang-ambing di lautan kecemasan yang tak bertepi. Bayangan-bayangan menakutkan berputar-putar di kepalanya, menciptakan mimpi buruk yang nyata.

Matahari telah lama tenggelam, menyeret hari ke dalam kegelapan malam. Kegelapan yang terasa begitu mencekam, menambah rasa takut yang menggigit hatinya. Ia merasa sangat lelah, kelopak matanya terasa berat, menariknya ke dalam alam mimpi. Namun, tidur terasa seperti musuh yang harus dihindari.

Dalam tidurnya, bayangan Gio akan menghantuinya, mengancam merenggut kesuciannya. Ketakutan itu, lebih kuat daripada kelelahan yang menghantam tubuhnya. Milea memejamkan mata, berusaha melawan kantuk yang semakin menghimpit, menahan rasa takut yang menggerogoti hatinya. Ia berharap, malam ini, ancaman itu tak akan datang. Ia berharap, ia bisa melewati malam ini dengan selamat. Namun, harapan itu terasa begitu tipis, seperti sehelai benang yang mudah putus.

Degupan jantung Milea berpacu liar, menghentak-hentak di dadanya. Suara ketukan pintu, mulanya pelan dan ragu-ragu, kini berubah menjadi gedoran keras yang menggetarkan seluruh tubuhnya. Ia membeku di tempat, terpaku di tepi ranjang, tak mampu bergerak, tak mampu bernapas. Ketakutan yang amat sangat membelenggu jiwanya.

Namun, gedoran itu terus berlanjut, semakin keras, semakin mendesak, menciptakan tekanan yang memaksanya untuk bertindak. Dengan langkah gontai, kaki yang terasa seperti tertimbun beban berat, ia berjalan mendekati pintu. Tangannya gemetar saat meraih kenop pintu, membuka pintu itu dengan hati yang berdebar-debar.

Dan pemandangan yang dilihatnya membuatnya tersentak. Tubuh Gio, yang dipenuhi darah segar yang mengalir deras, limbung jatuh menimpa tubuhnya. Darah itu membasahi pakaiannya, menciptakan sensasi dingin yang menusuk kulit. Dengan sekuat tenaga, Milea menahan tubuh Gio agar tak jatuh bersamaan, menahan beban berat yang hampir merobohkannya.

Dengan langkah yang masih gemetar, ia menopang tubuh Gio yang lemas, membantunya menuju ranjang. Setiap langkah terasa berat, setiap gerakannya diiringi oleh desiran dingin darah yang membasahi tangannya. Wajah Gio pucat pasi, namun matanya masih menatapnya, mencoba menyampaikan sesuatu yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Malam ini, ancaman yang selama ini menghantuinya, berubah menjadi sebuah kenyataan yang jauh lebih mengerikan.

Marco berlari tergopoh-gopoh, napasnya tersengal-sengal, mengarahkan langkahnya menuju kamar tempat Milea berada. Wajahnya tegang, dipenuhi keringat dingin. Di belakangnya, seorang dokter muda berlari mengejarnya, tas dokternya terayun-ayun di tangannya. Keduanya tampak panik, menciptakan suasana mencekam.

"Tolong kalian berdua keluar dulu," dokter muda itu berkata, suaranya terdengar tegas di tengah kepanikan. "Saya akan menangani pendarahannya." Tanpa menunggu jawaban, Marco dengan sigap menarik Milea keluar dari kamar, menutup pintu dengan keras, membiarkan dokter muda itu bekerja.

Milea terdiam, rasa penasaran yang menggunung tak mampu lagi ia tahan. "Sebenarnya, ada apa?" tanyanya, suaranya bergetar, mencerminkan kegelisahan yang menggelayut di hatinya.

Marco menarik napas dalam-dalam, lalu menceritakan semuanya dengan suara rendah. "Saya dan Tuan Gio sedang memberantas musuh-musuhnya. Tapi, ada anak buah kita yang berkhianat, berniat menghabisi Tuan Gio. Untungnya, sebelum pisau itu sampai ke jantung Tuan Gio, saya sudah lebih dulu menembak mati pengkhianat itu."

Milea terpaku, kata-kata Marco bagai petir. Ia hanya bisa diam, mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Dunia yang selama ini ia kenal, ternyata jauh lebih gelap dan kejam daripada yang pernah ia bayangkan. Gio, pria yang selama ini tampak begitu kuat dan berkuasa, ternyata juga rentan terhadap bahaya. Ia, Milea, terjebak di tengah-tengah pertempuran yang brutal, pertempuran antara hidup dan mati.

Dokter muda itu keluar dari kamar, wajahnya tampak lelah, keringat membasahi dahinya. Ia menyeka keringat itu dengan punggung tangannya. "Nona," katanya, suaranya sedikit serak, "Jika perban kotor atau basah, tolong segera diganti untuk menghindari infeksi yang serius."

"Baik," jawab Milea singkat, suaranya datar, mencoba menyembunyikan perasaan campur aduk di dalam hatinya.

"Mari, Dokter, saya antar," Marco langsung menyela, menawarkan diri mengantar dokter muda itu keluar. Keduanya berjalan menuju pintu utama.

Milea melangkah masuk, mendekati ranjang tempat Gio terbaring. Pandangannya tertuju pada tubuh Gio yang terluka parah, dibalut perban yang tampak berlumuran darah. Seharusnya, ia merasa senang. Ancaman yang selalu menghantuinya kini terluka parah, tak berdaya. Namun, yang ia rasakan justru rasa kasihan. Kasihan yang tak terduga, yang muncul dari lubuk hatinya yang paling dalam. Ia menatap wajah Gio yang pucat, bayangan kekejamannya sirna, digantikan oleh kelemahan dan kepedihan.

Detik-detik berlalu begitu lambat, terasa seperti jarum jam yang menari-nari di atas jantung Milea. Ketegangan menggantung di udara, hanya diiringi oleh detak jantungnya sendiri yang berdebar kencang. Lalu, Marco muncul kembali, Di tangannya, beberapa botol obat tergenggam erat, seakan menyimpan harapan. Dengan suara tenang, namun tegas, ia menjelaskan dosis dan aturan minumnya pada milea, matanya memancarkan kepedulian pada tuan nya yang tak terbantahkan. Milea hanya mengangguk tanda mengerti.

"Tuan akan segera siuman, tolong jaga dia dengan baik" pinta nya.

Marco tak berlama-lama. Ia pamit dengan tergesa, langkahnya terburu-buru. Ada urusan lain yang menanti, urusan yang jauh lebih berat. Bayangan dendam membayangi matanya, bayangan pengkhianat yang telah melukai tuannya. Sebuah janji tersirat dalam setiap langkahnya, janji untuk membalas pengkhianatan itu dengan cara yang setimpal. Udara terasa lebih berat setelah kepergiannya, meninggalkan Milea dan Gio dalam sunyi yang sarat makna.

Langkah kaki Milea terasa begitu ringan, hampir tak bersuara, Ia menuju sofa empuk yang terletak tak jauh dari ranjang Gio. Tubuhnya lelah, pikirannya lelah, namun ia tak mampu memejamkan mata. Duduk di sofa itu, ia memutuskan untuk beristirahat sejenak, sebuah jeda singkat sebelum kembali berjuang. Cahaya bulan menerobos jendela, menciptakan pola cahaya yang lembut di lantai. Milea memejamkan mata, mencoba menenangkan pikiran nya. Ia menunggu, menunggu Gio siuman. Menunggu sebuah tanda bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!