Bab 5 Jejak ke Ujung Desa

Pagi menjelang dengan sinar surya yang enggan menembus kabut tipis. Burung-burung masih terdengar malu-malu berkicau. Reno melangkah perlahan melewati jalan setapak menuju ujung desa, ditemani Ajo yang dari tadi tak berhenti bergumam.

“Ren, yakin kita mau nemui Pak Cokro? Orang-orang bilang dia sudah ndak waras. Dulu dia guru silat, tapi sejak istri dan anaknya mati mendadak, dia lebih sering ngomong sendiri,” kata Ajo sambil menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tak gatal.

Reno tetap melangkah. “Kalau dia memang murid ayahku, pasti dia tahu sesuatu. Aku harus tahu kebenaran. Kenapa Palasik itu memanggilku.”

Mereka melintasi sawah yang mulai mengering. Di kejauhan, rumah-rumah penduduk mulai jarang. Udara makin dingin. Ajo mengeratkan jaketnya yang sudah belel.

“Ini pasti kutukan, Ren,” gumamnya. “Kenapa harus kamu yang jadi pewaris. Kenapa bukan aku. Aku juga cucu orang kampung sini.”

“Karna kau pewaris tukang ngelawak,” sindir Reno.

Ajo melotot. “Hei! Aku ini bisa serius kalau perlu. Tapi kalau situasi makin tegang, aku harus ngelucu biar ndak gila!”

Reno tersenyum. Ajo memang aneh. Tapi justru itu yang membuatnya berani.

Setelah melewati pohon beringin tua, mereka sampai di sebuah rumah panggung yang sudah lapuk. Atapnya miring, beberapa bilah papan dinding tampak berlubang. Di depannya tergantung tali jemuran yang penuh dengan kain-kain berwarna kusam.

“Ini rumahnya?” tanya Ajo pelan.

Reno mengangguk. Ia mengetuk pintu.

Beberapa detik tak ada jawaban. Lalu terdengar suara berat dari dalam.

“Siapa?”

“Nama saya Reno. Saya anak Pak Dirman,” sahut Reno.

Pintu kayu berderit terbuka. Seorang lelaki tua dengan sorot mata tajam berdiri di ambang pintu. Wajahnya penuh keriput, rambutnya putih acak-acakan. Ia mengenakan baju lengan panjang dengan kain sarung yang digulung.

“Masuklah,” ucapnya singkat.

Reno dan Ajo masuk pelan-pelan. Bau kayu lapuk dan dupa memenuhi ruangan. Dindingnya penuh coretan dan simbol. Di salah satu sudut, ada patung kayu kecil dengan kepala yang tampak bisa dilepas.

Pak Cokro duduk di tikar. Ia menatap Reno lama.

“Wajahmu mirip Dirman waktu muda,” ujarnya. “Tapi matamu lebih cemas. Kenapa kau datang?”

Reno duduk bersila. “Saya menemukan catatan-catatan ayah. Dan... Palasik itu muncul. Dia menyebut saya ‘anak dari penjaga janji’.”

Pak Cokro terdiam. Matanya memejam. Sejenak ia seperti melayang jauh ke masa lalu.

“Dirman pernah menyelamatkan kami semua dari kutukan Palasik. Tapi sebagai syaratnya, dia harus menjaga sumur tua dan menyegel satu kamar di rumahmu. Dia ndak pernah cerita ke ibumu, tapi ia bilang... kalau janji itu dilanggar, maka darahnya harus dibayar oleh keturunannya.”

Ajo berseru, “Jadi Reno sekarang jadi tumbal pengganti?”

Pak Cokro menoleh cepat, suaranya keras, “Tumbal bukan sembarang korban! Palasik itu menuntut jiwa yang kuat. Jiwa keturunan dari penjaga janji. Kalau Reno lemah, dia akan jadi santapan. Tapi kalau kuat... dia bisa mengikat Palasik kembali.”

Reno mengangguk pelan. “Apa yang harus saya lakukan?”

Pak Cokro berdiri dan membuka sebuah kotak besi dari bawah lantai papan. Di dalamnya ada sebilah pisau pendek berukir dan sebuah kalung dari tulang ayam.

“Ini warisan. Pisau ini pernah dipakai ayahmu saat menyegel Palasik. Kalung ini pelindung, tapi hanya bekerja jika kau ikhlas.”

Ajo mengambil kalung itu dan mengamatinya. “Wah, ini kalau dijual bisa buat beli nasi kotak tujuh hari!”

Pak Cokro tersenyum miris. “Bukan untuk dijual, nak. Tapi untuk bertahan hidup.”

Reno menerima kalung itu, lalu menggantungnya di leher. Pisau kecil ia simpan di dalam saku jaket.

“Besok malam adalah malam bulan mati,” ucap Pak Cokro. “Kalian harus kembali ke sumur. Kali ini, bukan untuk menghindar. Tapi untuk memanggil.”

Ajo terbatuk. “Memanggil? Maksudnya kita undang Palasik datang? Gila, Pak! Gila!”

“Tidak bisa lari terus,” kata Reno. “Kalau ini harus dihadapi, aku akan hadapi.”

Pak Cokro mengangguk. “Tapi kau tidak sendiri. Kalian akan butuh bantuan... dari satu orang lagi. Cari Samin. Dia penjaga nisan lama di bukit belakang. Dia tahu lebih banyak dari siapa pun di kampung ini.”

Reno berdiri, wajahnya tegas.

“Aku akan cari dia.”

Dan di luar rumah Pak Cokro, angin mulai berputar lebih cepat. Awan hitam bergulung di atas desa. Pertanda... Palasik belum selesai mencari darah.

Pagi berikutnya, Reno dan Ajo berangkat lebih pagi dari biasanya. Kabut belum sepenuhnya terangkat dari tanah ketika mereka mulai mendaki jalur menuju bukit belakang. Jalannya sempit, licin, dan diapit oleh ilalang tinggi yang menggesek kaki mereka seperti tangan-tangan hantu.

“Ren, aku tadi semalam mimpi buruk,” kata Ajo, dengan mata masih setengah terbuka. “Aku mimpi kepala terbang masuk ke kamar, gigit telinga nenekku yang sedang baca doa.”

Reno tertawa kecil. “Kalau itu Palasik sungguhan, dia pasti langsung pergi. Nenekmu itu suaranya keras betul kalau marah.”

Ajo nyengir. “Ya, kepala Palasik itu langsung minggat. Tapi anehnya, dia tinggalin gigi palsu di tikar.”

Mereka berdua tertawa, meski suara mereka tetap pelan. Bukit belakang dikenal sebagai tempat angker. Orang-orang kampung jarang sekali ke sana, kecuali ada pemakaman. Dan itupun biasanya ramai-ramai.

Setelah hampir satu jam mendaki, mereka tiba di sebuah area lapang. Beberapa nisan batu tua tampak berdiri tak beraturan. Ada yang sudah tertutup lumut, ada pula yang miring ke kiri. Di tengah lapangan itu, sebuah gubuk kayu sederhana berdiri, dikelilingi pohon kamboja.

“Cocok. Tempatnya sangat... menyeramkan,” gumam Ajo sambil melangkah hati-hati.

Mereka mendekat ke gubuk. Dari dalam terdengar suara pelan—lantunan doa atau mungkin nyanyian. Reno mengetuk dinding kayu.

“Pak Samin?”

Tak lama kemudian, pintu terbuka. Seorang lelaki tua dengan tubuh kurus dan kulit legam berdiri di ambang pintu. Rambutnya digelung, matanya kecil namun tajam. Ia mengenakan kain putih kusam yang melilit tubuhnya seperti jubah.

“Aku tahu kalian akan datang,” ujarnya pelan, tapi mantap.

Reno dan Ajo saling berpandangan. Mereka dipersilakan masuk. Gubuk itu sederhana. Hanya ada tikar pandan, rak buku-buku tua, dan sebuah kendi tanah liat di pojok ruangan.

“Kau anaknya Dirman?” tanya Pak Samin sambil duduk bersila.

“Iya, Pak. Saya Reno.”

Pak Samin mengangguk, lalu menatap Reno dalam-dalam. “Wajahmu menyimpan banyak tanya. Tapi juga banyak jawab.”

“Kami ingin tahu lebih banyak tentang Palasik,” kata Reno.

Pak Samin menghela napas panjang. “Palasik bukan hanya makhluk. Ia adalah warisan dendam, janji, dan darah. Ia tidak lahir begitu saja. Ia dibangkitkan.”

Ajo tak tahan untuk bertanya, “Dibangkitkan siapa, Pak? Maksudnya Reno?”

“Bukan. Tapi mungkin ayahnya, mungkin juga sebelum itu. Dulu ada pertarungan besar di desa ini. Bukan pertarungan fisik, tapi adu kekuatan batin. Dukun dari desa ini dan desa seberang beradu ilmu. Salah satu kalah dan dibunuh. Tapi arwahnya tak mau pergi. Ia menjadi Palasik, makhluk haus darah.”

Reno menyimak. “Lalu ayah saya?”

“Ia salah satu dari para penjaga. Mereka yang ditugaskan menjaga batas antara dunia ini dan dunia arwah. Tapi satu-satunya cara untuk benar-benar menyegel Palasik adalah dengan mengikatnya menggunakan perjanjian darah.”

Pak Samin lalu mengambil sebuah kotak kecil dari balik rak. Isinya sebuah kertas kuno beraksara tua, dan sebutir batu berwarna merah gelap.

“Ini batu Segel. Kalau malam bulan mati tiba, kamu harus berdiri di depan sumur itu, bacakan mantra ini, dan arahkan batu ini ke mulut sumur. Tapi hati-hati... Palasik akan mencobamu. Dia akan menyamar jadi yang paling kamu takutkan. Jangan percaya matamu. Percaya hatimu.”

Ajo menelan ludah. “Kalau yang aku paling takutkan itu mantanku yang suka ngambek, gimana Pak?”

Pak Samin tertawa kecil. “Kalau itu muncul, hadapi dengan senyuman dan minta maaf.”

Reno menerima batu segel dan kertas mantra dengan hati-hati. “Terima kasih, Pak. Kami akan lakukan apa yang perlu.”

Pak Samin menepuk bahu Reno. “Satu lagi. Setelah kamu segel Palasik, kamu tidak bisa kembali jadi manusia biasa. Kamu akan menjadi penjaga baru. Kamu harus pilih: hidup normal, atau hidup sebagai pelindung batas.”

Reno menunduk. Beban itu terasa berat. Tapi ia tahu, lari bukan pilihan.

“Saya pilih menjaga,” katanya.

Pak Samin tersenyum tipis. “Maka kau harus kuat, Nak. Karena mulai malam bulan mati nanti... semua akan berubah.”

Di luar gubuk, angin mulai bertiup kencang. Kabut perlahan turun kembali, menutupi jejak mereka. Bukit itu seperti menelan kisah lama yang baru saja diungkap.

Episodes
1 Bab 1 – Suara dari Dinding Bambu
2 Bab 2 – Si Gokil Datang, Tapi Jangan Malam-Malam
3 Bab 3 – Suara dari Sumur Buta
4 Bab 4 Kamar yang Selalu Terkunci
5 Bab 5 Jejak ke Ujung Desa
6 Bab 6 Tanda dari Langit
7 Bab 7Bayi di Bawah Akar Beringin
8 Bab 8 Bau Menyan dari Bukit Merundung
9 Bab 9 Tuan Guling, Penjaga Tanah Terlupakan
10 Bab 10 Lumbung yang Berdarah Dingin
11 Bab 11 Langkah Pertama ke Tanah Mati
12 Bab 12 Kedatangan Si Dukun Nyentrik
13 Bab 13 Kabut yang Menyembunyikan Mata
14 Bab 14 Tanda di Balik Bambu Kuning
15 Bab 15 Kuburan di Lereng Tandikek
16 Bab 16 Malam di Koto Baru
17 Bab 17 Kabut di Ladang Siriah
18 Bab 18 Cahaya di ujung awan
19 Bab 19 Bayangan dari Masa Lalu
20 Bab 20 Lembah Waktu yang Terlupakan
21 Bab 21 Dusun Tersesat di Masa Silam
22 Bab 22 Surau Tua di Balik Bukit
23 Bab 23 Kenangan yang Dikorbankan
24 Bab 24 – Riak di Sungai Mayat, Tali Pocong yang Terputus
25 Bab 25 – Kendi Berdarah di Balik Lumbung
26 Bab 26 – Cerita di Balik Tunggul Mati
27 Bab 27 – Basiak Hitam di Ujung Batang
28 Bab 28 – Jeritan di Sawah Tabing
29 Bab 29 – Tangisan dari Lubang Tua, Riak di Danau Lamo
30 Bab 30 – Jirat di Ladang Sunyi
31 Bab 31 – Bayang di Ladang Singkong
32 Bab 32 – Aral di Simpang Tiga
33 Bab 33 – Bayang-bayang di Rimba Sialang
34 Bab 34 – Jejak di Bawah Jembatan Tua
35 Bab 35 – Suara dari Sumur Tua
36 Bab 36 – Pasir Hitam Pasisia
37 Bab 37 – Langkah Pulang
38 Bab 38 – Malam Terpanjang
39 Bab 39 – Tanda dari Langit
40 Bab 40 – Nyala Api dari Timur
41 Bab 41 – Pasar yang Hilang
Episodes

Updated 41 Episodes

1
Bab 1 – Suara dari Dinding Bambu
2
Bab 2 – Si Gokil Datang, Tapi Jangan Malam-Malam
3
Bab 3 – Suara dari Sumur Buta
4
Bab 4 Kamar yang Selalu Terkunci
5
Bab 5 Jejak ke Ujung Desa
6
Bab 6 Tanda dari Langit
7
Bab 7Bayi di Bawah Akar Beringin
8
Bab 8 Bau Menyan dari Bukit Merundung
9
Bab 9 Tuan Guling, Penjaga Tanah Terlupakan
10
Bab 10 Lumbung yang Berdarah Dingin
11
Bab 11 Langkah Pertama ke Tanah Mati
12
Bab 12 Kedatangan Si Dukun Nyentrik
13
Bab 13 Kabut yang Menyembunyikan Mata
14
Bab 14 Tanda di Balik Bambu Kuning
15
Bab 15 Kuburan di Lereng Tandikek
16
Bab 16 Malam di Koto Baru
17
Bab 17 Kabut di Ladang Siriah
18
Bab 18 Cahaya di ujung awan
19
Bab 19 Bayangan dari Masa Lalu
20
Bab 20 Lembah Waktu yang Terlupakan
21
Bab 21 Dusun Tersesat di Masa Silam
22
Bab 22 Surau Tua di Balik Bukit
23
Bab 23 Kenangan yang Dikorbankan
24
Bab 24 – Riak di Sungai Mayat, Tali Pocong yang Terputus
25
Bab 25 – Kendi Berdarah di Balik Lumbung
26
Bab 26 – Cerita di Balik Tunggul Mati
27
Bab 27 – Basiak Hitam di Ujung Batang
28
Bab 28 – Jeritan di Sawah Tabing
29
Bab 29 – Tangisan dari Lubang Tua, Riak di Danau Lamo
30
Bab 30 – Jirat di Ladang Sunyi
31
Bab 31 – Bayang di Ladang Singkong
32
Bab 32 – Aral di Simpang Tiga
33
Bab 33 – Bayang-bayang di Rimba Sialang
34
Bab 34 – Jejak di Bawah Jembatan Tua
35
Bab 35 – Suara dari Sumur Tua
36
Bab 36 – Pasir Hitam Pasisia
37
Bab 37 – Langkah Pulang
38
Bab 38 – Malam Terpanjang
39
Bab 39 – Tanda dari Langit
40
Bab 40 – Nyala Api dari Timur
41
Bab 41 – Pasar yang Hilang

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!