Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Bab 1 – Suara dari Dinding Bambu

Malam di Dusun Koto Lamo selalu datang lebih cepat dari yang seharusnya. Matahari seolah segan menyinari lembah hijau ini terlalu lama, seakan tahu bahwa kegelapan menyukai tempat ini lebih daripada cahaya.

Rumah-rumah panggung berdiri di antara pohon-pohon rambutan, durian, dan bambu yang menjulang tinggi. Jalan tanah membelah dusun seperti urat nadi tua, penuh dengan batu kecil dan genangan lumpur sisa hujan siang tadi. Tak banyak suara manusia malam-malam begini. Yang terdengar hanya angin mendesir lewat celah dinding bambu, suara kodok dari pematang sawah, dan… lolongan anjing yang bersahut-sahutan dari kejauhan.

Di tengah desa, di rumah panggung yang sudah miring tiangnya, Mak Leni duduk sendirian di dekat tungku yang mengeluarkan asap tipis. Di wajah keriputnya, sorot mata tajam menyiratkan lebih dari sekadar kebijaksanaan—ada sesuatu yang kelam. Ia mengenakan kebaya hitam lusuh dan kain batik yang sudah memudar warnanya.

Di pangkuannya, sebuah mangkuk tanah liat berisi air rebusan akar dan daun-daunan, mengepul pelan-pelan.

Tiba-tiba—Tok. Tok. Tok.

Suara itu datang dari balik dinding, dari arah ruangan belakang rumah. Tiga ketukan pelan namun jelas. Tak ada ekspresi terkejut dari wajah Mak Leni. Ia hanya menoleh perlahan ke arah suara dan tersenyum kecut.

“Kau datang juga malam ini, ya?” bisiknya, nyaris tanpa suara.

Ia berdiri, kakinya gemetar sedikit karena usia. Tapi langkahnya tetap stabil. Ia mengambil mangkuk tadi, lalu berjalan menyusuri lorong kayu yang sempit menuju ruangan kecil tanpa lampu di bagian belakang rumah.

Dinding kayu di ruangan itu sudah mulai lapuk. Di satu sisi, ada lubang sebesar kepalan tangan yang ditutupi dengan kain hitam.

Mak Leni jongkok di depan lubang itu. Ia letakkan mangkuk di tanah, dan dengan satu gerakan lambat, ia menarik kain penutupnya.

Hening.

Gelap.

Tak ada yang muncul dari balik lubang itu. Tapi Mak Leni tetap berbicara.

“Ini airnya… dari daun sirih tujuh tangkai, akar meranti, dan darah ayam hitam. Seperti yang kau minta.”

Angin mendesis dari arah lubang. Dan bersamaan dengan itu, sesuatu… muncul dari balik bayangan.

Sebuah kepala.

Rambut panjang menjuntai, matanya putih seluruhnya, dan wajahnya pucat kehijauan. Tanpa tubuh. Hanya kepala. Dan dari bagian bawah dagunya, menjulur keluar usus dan organ dalam yang menggantung berlendir.

Mak Leni tak bergeming. Matanya hanya menatap lurus, tanpa rasa takut.

“Kau belum kenyang, ya?” tanyanya pelan.

Kepala itu menggerakkan bibirnya, meski tanpa suara. Kemudian, ia menyedot isi mangkuk itu dalam sekali isapan.

Suara itu… seperti cairan ditarik paksa lewat jerami panjang.

Setelah itu, kepala tersebut mundur perlahan ke balik lubang. Gelap kembali.

Mak Leni menutup lubangnya. Ia berdiri, menghela napas panjang.

“Kau jangan ganggu yang tak bersalah. Aku masih menepati bagian perjanjianku…”

Sementara itu, jauh di ujung dusun, sebuah mobil tua berdebu berhenti di depan rumah panggung lainnya. Lampunya mati perlahan, dan seorang pria muda keluar dengan ransel besar di pundak.

Reno Pratama, 26 tahun, mengenakan jaket abu-abu dan sepatu trekking. Wajahnya lelah tapi tetap tenang. Ini pertama kalinya ia pulang ke dusun sejak tujuh tahun lalu.

“Dusun ini... masih sama baunya,” gumamnya pelan.

Ia menatap rumah di depannya—warisan orang tuanya. Kayu-kayu dindingnya sudah banyak yang lapuk, catnya mengelupas, dan rumput tinggi menjalar di bawah kolong rumah. Tapi masih kokoh berdiri. Masih menyimpan terlalu banyak kenangan.

Reno naik ke tangga kayu dan membuka pintu dengan kunci lama yang ia simpan dari dulu. Saat pintu itu terbuka, bau lembab dan kayu tua langsung menyergapnya.

Semua barang masih di tempatnya. Foto keluarga di dinding masih tergantung, meski sudah miring. Kursi rotan tua di sudut ruang tamu masih ada, dengan bantal yang sudah kusam.

Ia menyalakan lampu minyak karena listrik desa hanya menyala separuh waktu. Ruangan itu menjadi redup kekuningan, bayangan menari-nari di dinding.

Reno duduk dan membuka botol air. Baru saja hendak meneguk, ia mendengar suara—“Tep… tep… tep…”

Seperti air menetes.

Ia menoleh ke dapur.

“Tetesan dari keran?” pikirnya.

Ia berdiri dan berjalan perlahan menuju sumber suara. Tapi saat ia sampai di dapur, semua kering. Tak ada genangan. Keran tertutup rapat.

Lalu suara itu terdengar lagi. Kali ini… dari atap rumah.

Tep… tep… tep…

Reno menengadah. Tak ada apa-apa. Tapi suara itu kini terasa lebih berat, seperti… darah menetes dari langit-langit.

Ia menelan ludah. Nalurinya sebagai orang kota mengatakan, “Periksa.” Tapi sesuatu dalam dirinya berbisik, “Jangan.”

Perlahan ia melangkah keluar dari rumah, menyorotkan senter ke kolong rumah, ke pohon rambutan di samping, dan ke langit.

Kosong.

Namun… saat ia menyorot ke arah pohon mangga besar di belakang rumah—ia melihatnya.

Sesuatu menggantung di dahan tertinggi.

Sebuah kepala. Dengan rambut panjang, wajah pucat, dan—benar—usus bergelantungan seperti tali menggantung.

Mata kepala itu terbuka… dan menatap langsung ke arah Reno.

Jantungnya seperti berhenti berdetak. Ia tak bisa bergerak. Tak bisa berteriak. Hanya berdiri, terpaku, menatap sosok itu yang perlahan… terbang turun dari pohon.

Reno mundur selangkah. Dua. Tiga. Lalu berbalik dan berlari masuk rumah.

Pintu ia tutup keras-keras. Ia bersembunyi di balik dinding, napas memburu, tangan gemetar hebat.

“Gila… apa itu tadi… Astaga…”

Di luar, angin menderu. Genting rumah bergetar. Dan suara lolongan anjing semakin keras.

Malam pertama Reno di Koto Lamo, baru saja dimulai.

Dan ia belum tahu… bahwa itu hanya permulaan dari segalanya.

Terpopuler

Comments

Siti H

Siti H

Semoga Sukses Thor. penulisanmu cukup baik dan tatabahasa yang indah.

2025-06-21

3

Siti Yatmi

Siti Yatmi

baru mulai baca eh, udah serem aja..wk2

2025-06-20

3

Yuli a

Yuli a

mampir kesini rekom KK @Siti H katanya penulisannya tertata rapi dan baik...
semangat Thor... semoga sukse...

2025-06-21

3

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 – Suara dari Dinding Bambu
2 Bab 2 – Si Gokil Datang, Tapi Jangan Malam-Malam
3 Bab 3 – Suara dari Sumur Buta
4 Bab 4 Kamar yang Selalu Terkunci
5 Bab 5 Jejak ke Ujung Desa
6 Bab 6 Tanda dari Langit
7 Bab 7Bayi di Bawah Akar Beringin
8 Bab 8 Bau Menyan dari Bukit Merundung
9 Bab 9 Tuan Guling, Penjaga Tanah Terlupakan
10 Bab 10 Lumbung yang Berdarah Dingin
11 Bab 11 Langkah Pertama ke Tanah Mati
12 Bab 12 Kedatangan Si Dukun Nyentrik
13 Bab 13 Kabut yang Menyembunyikan Mata
14 Bab 14 Tanda di Balik Bambu Kuning
15 Bab 15 Kuburan di Lereng Tandikek
16 Bab 16 Malam di Koto Baru
17 Bab 17 Kabut di Ladang Siriah
18 Bab 18 Cahaya di ujung awan
19 Bab 19 Bayangan dari Masa Lalu
20 Bab 20 Lembah Waktu yang Terlupakan
21 Bab 21 Dusun Tersesat di Masa Silam
22 Bab 22 Surau Tua di Balik Bukit
23 Bab 23 Kenangan yang Dikorbankan
24 Bab 24 – Riak di Sungai Mayat, Tali Pocong yang Terputus
25 Bab 25 – Kendi Berdarah di Balik Lumbung
26 Bab 26 – Cerita di Balik Tunggul Mati
27 Bab 27 – Basiak Hitam di Ujung Batang
28 Bab 28 – Jeritan di Sawah Tabing
29 Bab 29 – Tangisan dari Lubang Tua, Riak di Danau Lamo
30 Bab 30 – Jirat di Ladang Sunyi
31 Bab 31 – Bayang di Ladang Singkong
32 Bab 32 – Aral di Simpang Tiga
33 Bab 33 – Bayang-bayang di Rimba Sialang
34 Bab 34 – Jejak di Bawah Jembatan Tua
35 Bab 35 – Suara dari Sumur Tua
36 Bab 36 – Pasir Hitam Pasisia
37 Bab 37 – Langkah Pulang
38 Bab 38 – Malam Terpanjang
39 Bab 39 – Tanda dari Langit
40 Bab 40 – Nyala Api dari Timur
41 Bab 41 – Pasar yang Hilang
Episodes

Updated 41 Episodes

1
Bab 1 – Suara dari Dinding Bambu
2
Bab 2 – Si Gokil Datang, Tapi Jangan Malam-Malam
3
Bab 3 – Suara dari Sumur Buta
4
Bab 4 Kamar yang Selalu Terkunci
5
Bab 5 Jejak ke Ujung Desa
6
Bab 6 Tanda dari Langit
7
Bab 7Bayi di Bawah Akar Beringin
8
Bab 8 Bau Menyan dari Bukit Merundung
9
Bab 9 Tuan Guling, Penjaga Tanah Terlupakan
10
Bab 10 Lumbung yang Berdarah Dingin
11
Bab 11 Langkah Pertama ke Tanah Mati
12
Bab 12 Kedatangan Si Dukun Nyentrik
13
Bab 13 Kabut yang Menyembunyikan Mata
14
Bab 14 Tanda di Balik Bambu Kuning
15
Bab 15 Kuburan di Lereng Tandikek
16
Bab 16 Malam di Koto Baru
17
Bab 17 Kabut di Ladang Siriah
18
Bab 18 Cahaya di ujung awan
19
Bab 19 Bayangan dari Masa Lalu
20
Bab 20 Lembah Waktu yang Terlupakan
21
Bab 21 Dusun Tersesat di Masa Silam
22
Bab 22 Surau Tua di Balik Bukit
23
Bab 23 Kenangan yang Dikorbankan
24
Bab 24 – Riak di Sungai Mayat, Tali Pocong yang Terputus
25
Bab 25 – Kendi Berdarah di Balik Lumbung
26
Bab 26 – Cerita di Balik Tunggul Mati
27
Bab 27 – Basiak Hitam di Ujung Batang
28
Bab 28 – Jeritan di Sawah Tabing
29
Bab 29 – Tangisan dari Lubang Tua, Riak di Danau Lamo
30
Bab 30 – Jirat di Ladang Sunyi
31
Bab 31 – Bayang di Ladang Singkong
32
Bab 32 – Aral di Simpang Tiga
33
Bab 33 – Bayang-bayang di Rimba Sialang
34
Bab 34 – Jejak di Bawah Jembatan Tua
35
Bab 35 – Suara dari Sumur Tua
36
Bab 36 – Pasir Hitam Pasisia
37
Bab 37 – Langkah Pulang
38
Bab 38 – Malam Terpanjang
39
Bab 39 – Tanda dari Langit
40
Bab 40 – Nyala Api dari Timur
41
Bab 41 – Pasar yang Hilang

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!