Mobil Arvid melaju melewati jalanan utama kota yang tenang, membawa dua penumpang cilik di dalamnya: Matthew yang duduk tenang dengan buku di pangkuan, dan Aidan yang sibuk menempelkan wajahnya ke jendela, menghitung jumlah mobil yang lewat.
Arvid menyetir sambil sesekali melirik ke kaca spion. “Aidan, jangan deket-deket kaca seperti itu, duduk yang benar,"
“Okay, Daddy…” jawab Aidan duduk tegak lalu menoleh pada Matthew.
Matthew menggeleng pelan. "Bacalah buku Aidan, gunakan waktu sebaik-baiknya. Ingat, waktu adalah uang.
Aidan cemberut, ia bosan tapi tidak mau membaca seperti yang Kakaknya sarankan. "Tidak untuk sekarang," jawabnya menyandarkan badannya kembali menatap jalanan.
Arvid tertawa kecil, senang mendengar perdebatan polos anak-anaknya. Sesampainya di sekolah, Arvid memarkir mobil di area drop-off. Sekolah anak-anak mereka berada dalam kompleks pendidikan yang sama, tapi memiliki dua gedung terpisah—satu untuk tingkat dasar dan satu lagi untuk taman kanak-kanak.
“Ayo turun. Jangan ada yang ketinggalan,” ucap Arvid sambil membantu Aidan melepaskan sabuk pengamannya.
Matthew sudah turun duluan dan menunggu di sisi trotoar. Ia mengenakan ransel biru dengan gantungan kunci bola mini. Sementara Aidan melompat turun, masih menenteng boneka kecil berbentuk roket—favoritnya minggu ini.
“Peluk dulu dong, Daddy,” pinta Aidan sambil membuka tangan lebar. Sebenarnya Aidan itu sangat menyayangi Daddy itu, tapi untuk Mommy-nya maaf, tidak ada kompromi.
Arvid berjongkok dan memeluk putranya erat-erat. “Have fun, ya, boy. Jangan bikin Miss pusing hari ini.”
“Enggak kok, aku anak baik,” sahut Aidan sambil terkikik.
Matthew mendekat dan memberi tos dengan gaya khasnya. “Bye, Daddy. Nanti jemput kita jangan telat ya.”
Arvid mengacungkan jempol. “Pasti. Have a great day, guys.”
Setelah melambaikan tangan, Matthew dan Aidan berjalan menuju pintu gerbang, lalu berpisah di persimpangan kecil yang memisahkan bangunan sekolah mereka.
Di dalam kelas, Aidan duduk di meja kecilnya yang dihiasi nama: Aidan Issa. Ia duduk di sebelah Alex, teman sekelasnya yang senang bercerita soal dinosaurus. Pagi itu, Miss Clara membuka pelajaran dengan aktivitas mewarnai.
“Hari ini, kita akan menggambar keluarga. Pilih warna favorit kalian dan gambar semua orang yang kalian sayangi!” katanya sambil menunjukkan contoh di papan.
Anak-anak mulai sibuk. Suara krayon yang bergesekan dengan kertas memenuhi ruangan. Aidan mengambil warna-warna cerah—biru untuk Daddy, merah muda untuk Mommy, hijau untuk Matthew, dan kuning untuk dirinya sendiri. Ia menggambar mereka berdiri bersama di bawah pelangi. Namun, di pojok atas kertas, Aidan menambahkan satu bintang kecil dengan wajah tersenyum dan mahkota mungil.
Miss Clara berjalan dari meja ke meja, memperhatikan hasil karya murid-muridnya. Saat sampai di meja Aidan, ia berhenti dan menatap gambar itu dengan lembut.
“Siapa bintang kecil ini, Aidan?”
Aidan menoleh. Matanya bersinar penuh ketulusan. “Itu adik perempuanku. Dia tinggal di langit. Mommy bilang dia princess, jadi aku kasih dia mahkota.”
Miss Clara sempat terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Indah sekali. Dia pasti senang kamu menggambarnya,” ucap Miss Clara pelan sambil menyentuh pundak Aidan.
Aidan mengangguk. “Aku rindu dia kadang-kadang, tapi Mommy bilang dia selalu jaga aku dari langit. Kayak malaikat.”
Sementara itu, di gedung dasar, Matthew sedang mengikuti pelajaran Matematika. Ia duduk di barisan kedua, memperhatikan papan tulis dengan serius.
“Siapa yang bisa bantu Ibu menghitung soal ini?” tanya Bu Marlene, guru Matematika yang terkenal disiplin tapi adil.
Matthew langsung mengangkat tangan. Ia memang salah satu siswa yang cepat memahami pelajaran.
“Ya, Matthew?”
Matthew berdiri dan mulai menjelaskan langkah demi langkah dengan tenang dan jelas. Saat ia selesai, teman-temannya memberi tepuk tangan kecil.
“Good job, Matthew. Kamu bisa jadi tutor kecil buat teman-temanmu,” puji Bu Marlene.
Matthew tersenyum bangga. Tapi bukan hanya karena nilai atau pujian, melainkan karena ia selalu mengingat pesan Mommy—belajar bukan untuk jadi nomor satu, tapi untuk bisa membantu dan membuat hidup lebih baik.
Di waktu istirahat, Matthew bergabung dengan dua temannya, Dylan dan Rafael, di bangku taman.
“Eh Matt, kamu nanti ikut klub coding nggak semester depan?” tanya Dylan.
Matthew mengangguk. “Iya." Jawab Matthew singkat."
“Wih, keren!” Rafael memukul pelan pundaknya.
Matthew tersenyum tipis. Ia memang sering mengobrol dengan ayahnya tentang teknologi. Bahkan Arvid sudah membelikan satu kit robotika kecil agar ia bisa mulai belajar logika pemrograman sejak dini.
Tiba-tiba suara langkah mendekat. Sepasang sepatu putih bersih berhenti di depan mereka. Seseorang berdiri tegak, dengan gaya rambut ponytail tinggi dan pita ungu terang yang langsung menarik perhatian.
“Halo, Matthew,” sapa seorang gadis berambut pirang dengan suara yang lembut tapi penuh percaya diri.
Itu Fiona—salah satu siswi populer di kelas mereka. Penampilannya selalu rapi, wangi, dan serasi dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Gadis itu dikenal cerewet tapi pintar, dan ia tampaknya cukup menyukai perhatian... terutama dari Matthew.
Matthew baru saja menoleh sekilas ke arah Fiona, lalu kembali menghadap Rafael dan Dylan.
“Jadi, kalian udah pernah coba pakai Scratch?” tanyanya, suaranya datar, mencoba melanjutkan topik mereka. Ia memang sudah terbiasa dengan gangguan Fiona, dan biasanya cukup dengan sedikit mengabaikan, gadis itu akan pergi sendiri.
Namun kali ini berbeda.
Fiona, dengan rambut blonde-nya yang ditata rapi dan pita ungu yang berkilau terkena matahari, tidak menyerah begitu saja. Ia berdiri dengan santai tapi penuh percaya diri, lalu melangkah maju, mendekat ke arah Matthew.
“Matthew, ada daun di—”
Tangannya terulur pelan ke arah kepala Matthew, berniat menyentuh rambutnya untuk menyingkirkan satu helai daun kering yang nyangkut di sana. Tapi belum sempat menyentuh, Matthew langsung menepis tangan itu.
“Jangan menyentuh rambutku!” serunya dengan nada lebih tinggi dari biasanya.
Seketika semua suara di sekitar mereka menghilang. Rafael dan Dylan menahan napas. Fiona terpaku, matanya membesar kaget. Jelas dia tidak menyangka Matthew akan bereaksi seperti itu. Ia hanya ingin menolong, pikirnya.
Matthew menatap Fiona tajam beberapa detik. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengambil tasnya dan berjalan cepat meninggalkan taman. Langkahnya tegas, tapi jelas terlihat kemarahan yang ia tahan dalam diam.
“Matt!” panggil Dylan, tapi Matthew tidak menoleh.
Rafael mengusap tengkuknya, seolah berusaha memahami suasana aneh yang tiba-tiba tercipta di taman sekolah. Ia melirik ke arah Fiona, yang masih berdiri di tempatnya, membeku seperti patung. Wajah gadis itu tak lagi ceria, melainkan kosong, penuh kebingungan dan sedikit malu.
“Are you okay?” tanya Rafael pelan, nadanya tulus, tak menyindir.
Fiona tidak langsung menjawab. Matanya masih menatap ke arah Matthew yang sudah menghilang di balik lorong sekolah. Tangannya yang tadi ingin menyentuh kepala Matthew kini menggenggam pita ungu yang biasanya ia kenakan dengan bangga. Hari ini, warna itu terasa terlalu mencolok, terlalu salah tempat.
Melihat Fiona tidak memberi respons, Dylan memberi isyarat dengan anggukan ke Rafael. “Ayo, kita susul Matthew.”
“Ya,” sahut Rafael, lalu menoleh pada Fiona. "Kamu juga tidak ada kapok-kapoknya. Sudah tahu Matthew tidak suka di ganggu."
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments