Di Cerai Saat Hamil
Hilda, gadis yatim piatu yang tumbuh di panti asuhan menerima begitu saja perjodohan yang di adakan oleh ibu panti dengan salah satu donatur tetap di panti tersebut.
Hilda di jodohkan dengan Dimas, anak sang donatur tetap itu.
Pernikahan pun terjadi. Hilda sangat bahagia atas perjodohan ini karena ternyata Dimas adalah suami yang baik. Selama tiga tahun pernikahan berlangsung, Dimas tidak pernah sedikit pun menyakiti hati Hilda. Dimas selalu memperlakukan Hilda layaknya seorang putri. Ya, semua itu Dimas lakukan karena memang ia telah jatuh cinta pada pandangan pertama pada Hilda.
Kehidupan rumah tangga yang awalnya harmonis dan bahagia, lambat laun mulai berubah menjadi tidak baik baik saja. Bagaimana tidak? Setelah Ayah Dimas meninggal, Mayang, ibu Dimas mulai menunjukkan sikap tak sukanya pada Hilda.
Mulai dari tak suka dengan cara berpakaian Hilda, cara Hilda mengerjakan pekerjaan rumah, Masakan Hilda yang tak pernah cocok dilidahnya. Juga yang terus ia permasalahkan adalah belum adanya keturunan antara Hilda dan Dimas sampai sekarang.
"Sayang, kamu kenapa?" Tanya Dimas mendekati Hilda sembari melingkarkan tangan di perut sang istri dan menyandarkan kepalanya di pundak wanita tersebut dan mengecupnya sekilas.
"Ibu mas."
"Ibu? Kenapa dengan ibu?."
"Sepertinya ibu sudah tidak menyukaiku."
"Bagaimana bisa? Bukankah selama pernikahan kita, ibu selalu bersikap baik padamu?."
"Iya mas. Tapi setelah kepergian ayah, Aku merasa sikap ibu semakin berbeda."
"Maksutnya?."
"Aku merasa setiap apa yang aku lakukan tidak pernah benar dimata ibu. Bahkan apa yang aku kerjakan selalu salah."
"Mungkin hanya perasaanmu saja."
"Tidak mas. Ibu benar benar tidak menyukaiku lagi."
"Sejak kapan kamu merasakan hal itu?."
"Sudah beberapa bulan ini."
"Beberapa bulan? kenapa kamu tidak pernah cerita?."
"Maaf mas. Aku memilih diam karena aku tidak mau berburuk sangka dulu pada ibu. Aku memilih diam karena mungkin saat itu suasana hati ibu sedang tidak baik. Makanya aku tidak memberitahu mas dulu. Tapi semakin lama, aku justru merasakan sikap ibu semakin tak dapat ku mengerti. Bahkan tadi sore ibu bilang, jika aku belum juga hamil, kamu akan disuruh menikah lagi mas."
"Apa? Kamu serius ibu berbicara seperti itu?."
"Iya mas."
"Tapi rasanya itu sangat mustahil."
"Benar mas, Aku tidak bohong. Aku takut apa yang Ibu katakan akan menjadi kenyataan."
"Tenanglah. Aku mencintaimu. Aku tidak akan berkhianat."
"Tapi bagaimana jika aku belum juga hamil?."
"Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan bicara sama ibu nanti."
"Tapi mas.."
"Ssstttt..." Dimas menutup bibir Hilda dengan telunjuk kanannya. Perlahan tapi pasti, Dimas mulai mendekatkan wajahnya, membungkam, mengecup, dan mengabsen bibir sang istri penuh gairah.
Mendapat perlakuan manis sang suami, Hilda pun membalas mesra setiap tindakan yang dilakukan oleh suaminya tersebut.
Hingga akhirnya sepasang pasutri itu melakukan apa yang memang seharusnya mereka lakukan. Dan karena saking asyiknya melakukan kegiatan tersebut, mereka berdua pun kelelahan hingga tertidur sampai pagi hari dan melewatkan jam makan malam.
Sebenarnya tidak masalah sejak keduanya melewatkan jam makan malam mereka. Tapi yang jadi permasalahan adalah, dimana ada seseorang yang sedang menahan emosi pagi ini karena ulah mereka semalam.
"Enak sekali jam segini baru bangun! Istri macam apa kamu?." seru Ibu Sofia mengagetkan Hilda yang sedang menyeduh kopi di dapur.
"Ibu.."
"Ngapain aja semalaman gak keluar keluar? Melewatkan jam makan malam pula"
"Maaf bu, semalam itu, mas Dimas.."
"Kenapa sih bu? Semalam Hilda nemenin Dimas tidur. apa salahnya? Bukankah ibu ingin secepatnya memiliki cucu?." Sahut Dimas yang kini bergabung dengan kedua wanita itu.
"Iya. Tapi kalian itu keterlaluan. Membiarkan ibu makan malam sendirian"
"Maaf ya bu, Besok tidak akan lagi." Dimas mencoba menenangkan dan mencairkan suasana hati ibunya yang sedang marah. Juga ia memberi isyarat kepada Hilda untuk meninggalkan mereka berdua.
Setelah Hilda pergi, Dimas mulai membuka pembicaraan mengenai keluh kesah istrinya semalam.
"Bu, Dimas mau tanya sesuatu sama ibu."
"Apa?."
"Apa benar Ibu berbicara sama Hilda jika kami belum memiliki keturunan dalam waktu dekat ini, ibu akan menyuruh Dimas menikah lagi?."
"Benar. Kenapa memang?."
"Bu Kenapa Ibu tega berbicara seperti itu sama Hilda? Kasihan Hilda Bu."
"Lebih kasihan mana lagi sama ibu yang sudah setua ini tapi belum memiliki cucu?."
Dimas terdiam.
"Dimas asal kamu tahu ya, semua anak teman-teman ibu itu sudah pada memiliki anak. Teman-teman Ibu sudah pada menimang cucu. Bahkan di antara mereka cucunya ada yang sudah besar loh! Kamu nggak kasihan sama ibu?."
"Iya Dimas paham maksud ibu, tapi nyatanya kan Dimas sama Hilda belum dikasih keturunan. Ibu lyang sabar ya."
"Tapi sampai kapan ibu harus bersabar Dimas?."
"Mungkin tidak lama lagi bu. Kita juga sudah berusaha. Ibu doakan saja kami berdua biar cepat dikaruniai momongan."
"Berdoa sih setiap hari. Tapi Ibu rasa istrimu itu yang bermasalah deh?."
"Maksud ibu apa?."
"Dipikir secara logika saja ya Dimas, istri kamu sejak kecil kan tinggal di Panti Asuhan. Bertahun-tahun lamanya dia makan makanan yang seadanya. Bahkan bisa dibilang kurang bergizi. Dan otomatis organ-organ di dalam tubuh istrimu pasti memiliki kualitas yang kurang bagus, termasuk rahimnya. iya kan?."
Lagi lagi Dimas hanya bisa diam mendengar celotehan sang ibu.
"Kamu diam berarti mengiyakan ucapan ibu kan?"
"Bukan seperti itu Bu."
"Sudah sudah, lagi pula kenapa sih kamu gak nikah lagi aja?."
"Astagfirullah. Apa yang ibu katakan barusan?."
"Kenapa? tidak ada yang salah dari ucapan ibu kan? Istrimu tidak bisa hamil, makanya kamu harus nikah lagi supaya bisa punya keturunan."
"Ibu dengar baik-baik ya, sampai detik ini aku masih mencintai Hilda, dan aku tidak akan menghianatinya."
"Terserah kamu! Tapi Ibu yakin, suatu saat kamu akan bosan dengan istri tak bergunamu itu."
Dimas tak menghiraukan ucapan ibunya. Ia lebih memilih pergi menyusul Hilda ke meja makan, mengisi perutnya yang sudah sangat keroncongan.
Baik Hilda, Dimas dan juga ibunya, mereka menikmati sarapan dalam suasana hening. Namun yang pasti, ketiganya pasti sedang berperang melawan pikiran masing-masing.
Satu bulan kemudian.
Setiap hari satu keluarga ini melalui pergantian waktu dengan sama. Tak ada yang berubah. Ibu yang selalu meminta cucu. Suami yang selalu bersikap menenangkan. Juga istri yang selalu merasa terbebani atas permintaan sang ibu.
Malam pun tiba. Bukannya Tidur, Hilda malah melingkarkan tangannya di perut sang suami.
"Sayang, tidurlah, ini sudah larut malam."
"Mas."
"Ada apa?."
"Soal permintaan ibu. Bagaimana aku bisa mewujudkannya kalau akhir akhir ini mas jarang menyentuhku?."
"Jangan terlalu dipikirkan. Kita pasti punya anak kok. Mungkin tidak sekarang. Tapi nanti setelah kita benar-benar dipercaya sama Tuhan."
"Tapi mas.."
"Tidurlah. Mas capek sekali hari ini" Ucap Dimas sembari mengecup kening Hilda sekilas lalu berbaring dan memejamkan matanya cepat.
Sementara Hilda, ia hanya bisa diam dan mulai merasakan adanya perbedaan sikap sang suami kepadanya. Ingin sekali Ia tak menghiraukan hal tersebut. Tapi nyatanya, semakin ia mencoba tak memikirkan, justru semua itu malah semakin jelas terngiang di otak dan pikirannya.
Tling (suara notifikasi ponsel)"
Kenapa setiap malam ada pesan masuk di ponsel suamiku. Pikir Hilda.
Karena rasa penasaran yang tak dapat di bendung, Hilda pun memutuskan untuk melihat ponsel suaminya. Dan alangkah terkejutnya ia setelah melihat chat yang ada di depannya.
Deg
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Riya Rayya
Mampir, salam kenal kak..
2025-05-22
5
Uthie
Wahhh... sepertinya sukkka Bangett niiii sama cerita macam ini 👍👍👍🤩
2025-06-25
1