Lu Yu masih berjalan di kejauhan, mengikuti Zhong Yao seperti bayangan tak diundang. Bukan karena cinta—oh tidak, hatinya bukan tipe yang mudah terseret drama romantis. Tapi ada rasa penasaran yang tajam, seperti orang yang menemukan kucing peliharaannya tiba-tiba bisa berbicara: aneh, tidak masuk akal, tapi membuatnya tak bisa berpaling.
Zhong Yao sendiri melenggang santai tanpa payung di bawah terik matahari. Wajahnya tenang, rambutnya tetap berkilau seperti disponsori iklan minyak rambut. Keberaniannya berjalan di tengah pasar ibukota membuat beberapa warga nyaris keseleo lidah.
“Eh, itu... bukan Zhong Yao si sombong yang dulu sering menghina baju tetangga?” bisik seorang ibu sambil menyikut temannya.
“Iya, iya... tapi sekarang dia jalan sama petani? Tanpa dayang? Tanpa kipas emas?” jawab temannya setengah berbisik, setengah teriak karena syok.
Zhong Yao jelas sadar jadi bahan tontonan. Ia menoleh pelan, memberi senyum tipis. Seketika para pengamat itu sibuk melihat... langit, jalan, bahkan batu. Apa saja, asal bukan mata Zhong Yao.
"Ah... dunia ini tidak punya teman bagiku. Tapi bukankah begitu indah? Aku bisa jadi siapapun, bahkan versi terbaik diriku," bisiknya sambil menikmati langkah seperti pemeran utama drama.
Tiga jam kemudian, mereka akhirnya sampai di desa Hua Jia—tempat yang bahkan Google Maps pun mungkin menyerah memetakan.
Para petani menyambut kedatangan Hua Jia dengan hangat.
“Kau sudah pulang?” tanya seorang kakek sambil membelai janggutnya yang lebih mirip sapu ijuk.
“Sudah, Kek...” jawab Hua Jia dengan nada datar, rautnya masih murung seperti sapi kehilangan rumput.
Mereka langsung menuju rumah kepala desa. Tempat itu... yah, bisa dibilang lebih mirip gudang kayu tua daripada kantor resmi. Dindingnya seperti minta pensiun, dan papan nama hampir jatuh hanya ditahan sarang laba-laba.
Kepala desa, lelaki paruh baya dengan ekspresi malas dan suara seperti habis makan petai, langsung membuka mulut:
“Hua Jia, apa lagi sekarang? Sudah kubilang, pemerintah tidak akan mendengar keluhan kita. Kalau kau terus datang, aku harus buat kartu member!”
Hua Jia mengepalkan tangan. “Jadi kau benar-benar tidak akan bantu kami?”
Zhong Yao, yang sedari tadi duduk santai di meja kepala desa seperti tuan rumah, ikut angkat bicara.
“Wah, kepala desa. Jangan-jangan... kau anggota geng pencuri sapi, ya?” katanya santai, sambil mengaduk teh tak diundang yang disediakan.
Kepala desa langsung tergagap. “Ti... tidak mungkin! Astaga, mana bisa... saya tuh jujur! Jujur... setengah mati!”
Zhong Yao menatapnya dengan ekspresi datar penuh arti. “Biasanya orang jujur tidak panik.”
Ia menoleh ke Hua Jia. “Tiga ekor sapi hilang malam ini, ya? Bawa aku ke kandangnya.”
Hua Jia mengangguk dan memimpin jalan.
Peternakan itu sederhana. Beberapa sapi kurus berdiri lesu, seperti habis mengikuti audisi drama tapi tak lolos karena terlalu nyata.
Zhong Yao memeriksa rumput, air, tali, bahkan aroma di sekitar. Ia tampak seperti detektif kuliner sapi.
“Kau kasih mereka makan murbei, ya?” tanyanya sambil mengendus.
“Iya... katanya bikin daging lebih empuk,” jawab Hua Jia.
“Yah, sekarang malah bikin mereka jadi sasaran. Bau murbei ini... mencolok. Kalau aku maling, aku tinggal ikuti aroma ini sambil nyanyi.”
Hua Jia menghela napas panjang. “Kau menemukan sesuatu?”
“Ya. Kita ke pasar daging. Sekarang.”
Hua Jia melotot. “Sekarang?! Pasar daging itu jauh. Kita bisa mati kelelahan!”
Zhong Yao berdiri. “Kalau kita tidak ke sana sekarang, mungkin kita malah kehilangan lebih dari sekadar sapi. Bisa jadi harga diri juga.”
Akhirnya mereka menyewa dua kuda, dan melaju menuju pasar daging.
Sesampainya di sana, suasana langsung kacau.
Seorang pria tampan, berkilau dari ujung rambut hingga sepatu sutranya, masuk ke pasar daging yang biasanya dikunjungi rakyat kelas menengah ke bawah—dan itu pun sambil menutup hidung.
Para pedagang daging berhenti menimbang. Pembeli menghentikan tawar-menawar. Semua menatap: Zhong Yao.
“Apa itu... Tuan Zhong Yao?” bisik seseorang.
“Yang dulunya punya reputasi lebih tajam dari pisau jagal?”
Zhong Yao melangkah masuk, perlahan. Matanya menyapu seluruh penjuru.
Dan tiba-tiba, sesuatu menggedor ingatannya.
"Tempat rahasia... pasar daging..." gumamnya.
Sebuah gambar dari trailer game 2 muncul dalam benaknya—ruang tersembunyi di balik lemari daging, kode rahasia, dan...
“Zhong Yao memiliki tempat rahasia di pasar daging!” serunya dalam hati. Wajahnya serius, tubuhnya menegang, seperti pemain catur baru saja menyadari langkah checkmate.
“Sekarang aku harus mencarinya,” gumamnya.
Hua Jia menoleh. “Kau bicara dengan siapa?”
“Diriku sendiri. Biasa, efek samping jadi jenius,” jawabnya, lalu melangkah masuk lebih dalam, meninggalkan kerumunan yang masih berbisik, tertarik, dan bingung.
Lu Yu yang baru tiba di luar pasar menatap dari kejauhan.
“…Dia makin aneh,” gumamnya, “dan aku makin tertarik.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments