"Aku tidak mau berbaring. Aku mau pulang ke vila sebelah ." Mia mendorong tangan lelaki yang sedang berusaha menyentuh bahunya.
"Tapi kamu terlihat sakit. Ayo, duduk sebentar, nanti aku antar ke kamar kamu." Lelaki itu menyeringai tipis.
Mendorong bahu sang gadis dan mendudukkannya ke ujung tempat tidur.
"Jangan sentuh aku, Kak! Jangan pegang!" ujar Mia dengan sisa kesadaran.
"Iya, iya, aku tidak memegangmu, kok."
Akhirnya ia berhasil membawa sang gadis untuk duduk di tepi tempat tidur.
Mia duduk dengan gelisah, keringat membasahi kening, wajah merah dan tangan menekan ke antara kedua pahanya. Tampak sedikit kalap.
"Tunggu sebentar di sini. Lalu aku antar ke kamar kamu," Leon segera beranjak menuju kamar mandi.
Membuka kemeja hingga menampakkan dadanya yang bidang. Berdiri menatap cermin dengan seringai tipis di sudut bibirnya.
"Ini adalah langkah awal dalam mencapai tujuanku. Bersiaplah keluarga Hadiwijaya!"
Tangannya terulur menjangkau sebuah benda yang tersembunyi di dalam sebuah laci kecil. Sebuah kamera seukuran kepalan tangannya.
Tanpa mengulur waktu lelaki itu bergegas keluar dari kamar mandi.
Namun, saat tiba di luar, Mia sudah tidak terlihat lagi. Pintu kamar yang terbuka setengah membuatnya mendengkus kasar.
"Sial! Ke mana dia!" Mata Leon berkilat memancarkan amarah.
Kamera di tangan ia hempas ke sembarang arah. Meraih kemeja miliknya yang sudah ia tanggalkan dan segera menyusul keluar.
"Aku tidak akan membiarkan kamu lolos begitu saja, Mia Aurora Hadiwijaya!"
**
**
Setelah mendapat telepon dari Rafa, Joane memutuskan untuk segera menyusul seorang diri.
Khawatir jika Rafa sedang dijebak seseorang dan berakibat fatal nantinya.
Mobil yang berada di bawah kemudinya itu melaju dengan kecepatan di atas rata-rata.
Tidak akan ia ampuni siapapun yang berani berniat jahat kepada anak lelaki yang selalu ia banggakan di hadapan semua orang.
Anak yang ia besarkan dengan penuh kasih, yang selalu ia tanamkan kejujuran dan tanggung jawab.
Siapapun yang menyakiti Rafa harus berhadapan dengannya sekalipun itu adalah ayah kandung Rafa sendiri.
"Ya Allah, lindungi anakku. Jauhkan dia dari hal-hal yang diharamkan." Mobil melesat jauh membelah jalan.
Deringan pada ponsel mengalihkan perhatian lelaki berparas Timur Tengah itu.
Nama sang istri menghiasi layar membuatnya memilih mengurangi laju kendaraan.
"Ya, Sayang?" ucapnya sesaat setelah menggeser simbol hijau pada layar.
"Kamu di mana? Kenapa belum sampai di rumah?" tanya Rina, yang sudah menunggu kepulangan suaminya.
Tidak biasanya Joane terlambat pulang tanpa memberitahunya.
"Maaf, aku ada pekerjaan mendadak di luar. Sepertinya akan terlambat pulang. Kamu tidak apa-apa, kan?" Berusaha untuk tenang, sebab tak ingin membuat istrinya khawatir. Tak pula memberitahu keadaan Rafa saat ini.
"Tidak apa-apa. Tapi, pulangnya jangan larut, ya."
"Insyaallah. Ngomong-ngomong, apa Rafa menghubungimu?"
"Tidak. Biasanya kan kamu yang akan dia hubungi lebih dulu. Dia mana ingat Ibunya selama ada Ayahnya."
"Oh ya sudah kalau begitu," balas Joane, menghela napas panjang. Jika Rafa tidak menghubungi ibunya, berarti ia tidak ingin ibunya tahu masalah ini. "Aku sedang di jalan, nanti aku telepon lagi, ya,"
"Iya, hati-hati, Sayang," balas Rina, lalu memutus panggilan.
Joane pun menekan pedal gas dalam, yang membuat mobilnya kembali melesat jauh. Ia harus bisa tiba secepat mungkin sebelum hal yang ia takutkan terjadi.
Sama seperti Joane, Airin dan Brayn pun sedang dalam perjalanan. Hampir separuh perjalanan mereka lalui.
Keadaan Airin yang sempat mual di jalan membuat Brayn memilih beristirahat sebentar.
Meskipun Airin meminta untuk melanjutkan perjalanan, ia tak tega. Setidaknya Airin harus beristirahat sebentar.
"Di depan ada minimarket. Bunda mau aku belikan minum?" tanya lelaki itu, memijat punggung leher bundanya.
"Boleh, Nak."
Brayn membuka pintu mobil dan meraih dompet. Namun, matanya tertuju pada layar ponsel yang menyala.
Gegas ia meraih benda tersebut dan membuka pemberitahuan yang masuk.
Dahinya berkerut melihat 5 panggilan tidak terjawab yang berasal dari Rafa.
"Rafa? Ada apa sampai 5 kali telepon?" Brayn merasa sedikit aneh. Sebab tidak biasanya Rafa menelepon berulang.
Biasanya jika ia melakukan panggilan satu kali dan jika tidak terjawab, ia akan menunggu sampai ditelepon balik atau mengirim pesan untuk minta ditelepon. Namun, tak ada pesan apapun disana.
Membuatnya memilih untuk segera menghubungi nomor sang sahabat. Tetapi, beberapa kali mencoba tak ada jawaban dari Rafa.
"Kenapa anak ini?"
Khawatir terjadi sesuatu, ia mempersingkat waktu dengan segera menuju minimarket dan membeli minyak kayu putih dan minuman pereda mual untuk sang bunda.
Cairan hangat itu ia sapukan pada pelipis, hidung dan telapak tangan sang bunda.
"Sudah lebih baik, Bun?" tanya Brayn, melirik Airin yang masih duduk bersandar di mobil.
"Alhamdulillah, jauh lebih baik. Maaf merepotkan kamu, Nak."
"Ah, Bunda pada anak sendiri mana mungkin merepotkan." Brayn terkekeh menatap sang bunda. "Jadi, lanjut perjalanan?"
"Iya. Perasaan Bunda tidak enak pada adik kamu, Brayn. Ayo berangkat!"
**
**
Rafa bersandar di dinding sambil memejamkan mata.
Naluri yang bergejolak dalam dirinya semakin terasa hebat.
Ingin segera kembali ke kamar sesuai permintaan sang ayah, namun lebih penting baginya sekarang adalah menemukan Mia dan memastikan sang gadis kesayangan dalam keadaan baik.
"Kamu di mana, Mia?" gumamnya, mendesah panjang.
Rafa merogoh saku celana, ingin menghubungi gadis itu.
Namun, ia baru tersadar bahwa ponsel miliknya tak berada di saku.
"Ah, pasti ketinggalan di toilet!" Rafa mengusap wajah kasar.
Keadaan ini benar-benar membuyarkan konsentrasinya.
Dengan langkah gontai ia menuju kamar mandi umum tempat kemungkinan ponselnya tertinggal.
Saat tiba di kamar mandi, tiba-tiba pendengarannya menangkap suara seorang gadis yang sedang terisak dari dalam.
"Ayah, Bunda, Papa, Mama,"
Kedua alis tebal lelaki itu berkerut. Tentu ia mengenal baik pemilik suara lembut nan manja itu.
"Mia? Kamu di dalam?" panggilnya sambil mengetuk pintu kamar mandi. "Buka, Mia! Ini aku!"
Tak sampai dua menit, pintu terbuka. Benar saja, Mia muncul dalam keadaan terisak-isak. Wajah merah dan mata sembab.
"Kenapa menangis?" tanya Rafa, menduga sesuatu yang tidak beres juga terjadi terhadap Mia.
Tak ada jawaban dari gadis itu. Ia hanya menangis, menatap Rafa dengan mata yang basah.
Tanpa kata, ia langsung menabrakkan tubuhnya ke pelukan lelaki itu.
"Takut, Kak! Mau pulang!" rengek Mia manja.
Melihat keadaan Mia, Rafa yakin bahwa Mia sedang merasakan hal yang sama dengannya.
Semakin membuatnya yakin bahwa apa yang mereka rasakan saat ini adalah efek dari jus jeruk yang mereka minum.
"Astaghfirullah." Sepasang mata Rafa terpejam, menarik napas dalam-dalam.
Entah mengapa dirinya langsung muncul syahwat melihat Mia menangis memeluknya.
Tangannya perlahan mengusap puncak kepala sang gadis.
"Aku akan mengantar kamu pulang. Nanti aku akan menghubungi Brayn atau Ayah kamu. Tapi, di sini tidak aman. Ayo, aku antar ke kamar kamu dulu."
"Mau pulang saja, Kak."
"Iya, aku tahu. Nanti kita pulang," bujuknya. "Oh ya, jus jeruk tadi kamu dapat dari mana?"
Mia menggeleng sebab ingatannya sedikti buyar. Tak ingat lagi siapa yang memberinya minuman itu.
"Dikasih teman."
"Ya sudah, sambil menunggu dijemput, kamu ke kamar dan istirahat."
Mia mengangguk, membuat Rafa segera menuntunnya menuju kamar. Keduanya berjalan semakin gontai.
Beberapa kali hampir terjatuh, bahkan saat Rafa menuang air putih ke dalam gelas untuk diberikan pada Mia, tangannya gemetar hingga air nyaris tumpah.
"Minum air putih yang banyak. Kalau bisa kamu mandi juga," ucap Rafa dengan suara sedikit gemetar.
************
************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Endang 💖
ayo cepat Rafa dan Mia butuh bantuan itu
2025-04-10
0