Setiap kali Azam bermimpi, ia selalu kembali ke ruang hampa. Mimpi itu terus berulang selama enam tahun, seolah menjadi bagian dari hidupnya.
Namun, beberapa hari terakhir, ia tidak bermimpi sama sekali. Hal itu membuatnya gelisah—entah karena kesehatan jiwanya mulai membaik, atau justru karena kesibukannya akhir-akhir ini.
Pagi itu, Azam terbangun. Jarum jam menunjukkan pukul enam tepat.
"Aku harus pergi ke sekolah," gumamnya pelan.
Setelah bersiap, ia mengenakan sepatu dan berjalan menuju sekolah seperti biasa. Namun tiba-tiba—dalam sekejap mata—segala sesuatu di sekelilingnya berubah.
Ia kini berdiri di tengah hutan yang asing. Pepohonan menjulang tinggi, ranting dan dedaunannya saling bertaut hingga menutupi langit. Cahaya matahari hanya menembus tipis, seperti kabut yang tersaring di antara daun.
Azam tersentak. Ia menatap sekeliling dengan waspada, mencari tanda kehidupan. Angin berhembus lembut, membuat rumput di sekitarnya rebah ke satu arah, seolah menunjuk jalan.
Tanpa berpikir panjang, ia mulai berlari mengikuti arah yang ditunjuk, melintasi pepohonan yang menjulang tinggi. Tak lama kemudian, ia melihat cahaya di kejauhan, dan segera bergegas ke arahnya.
Ia terus berlari melewati pepohonan di sisi kiri dan kanan, sementara cahaya itu semakin dekat — hingga akhirnya menyingkap pemandangan yang tak biasa.
Di hadapannya terbentang dunia yang asing—hamparan lapangan luas dengan pemandangan yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Burung-burung aneh terbang tinggi di langit; beberapa di antaranya tampak seperti kadal bersayap. Di kejauhan, terlihat makhluk kenyal bergerak perlahan di bawah salah satu pohon yang berdiri sendirian di tengah lapangan. Lebih jauh lagi, tampak sebuah desa dengan rumah-rumah kayu berbentuk unik—ada yang bulat, ada yang oval.
Di lingkungan desa itu tampak aktivitas makhluk yang mirip manusia, meski tak begitu jelas karena jaraknya yang cukup jauh.
Saat Azam masih mencoba memahami pemandangan itu, seorang perempuan melintas di depannya. Ia memperhatikan telinga panjang milik perempuan itu—ciri khas yang pernah ia lihat dalam cerita-cerita fantasi.
Seorang elf, pikirnya.
Elf itu tersenyum ramah kepadanya.
"Halo," sapa elf itu lembut.
Masih terkejut, Azam buru-buru membalas, "Halo juga. Bolehkah aku tahu… ini di mana?"
Elf itu tampak bingung. "Loh? Kamu bukan dari sini?" Ia menatap Azam lekat-lekat sebelum melanjutkan, "Hmm... bagaimana kamu bisa sampai ke sini?"
"Saya tidak tahu," jawab Azam jujur. "Saya hanya berlari di tengah hutan sebelum sampai ke sini."
Elf itu berpikir sejenak, lalu menatap Azam lebih serius.
"Kalau begitu, ikut aku. Kita harus menemui Kepala Desa."
Azam bertanya, "Kepala desa?"
"Iya," jawab elf itu, "kami juga biasa menyebutnya sebagai Sang Peramal."
"Baiklah, mohon tuntun aku ke kepala desa," ucap Azam sopan.
Namun sebelum berjalan, elf itu menatap telinga Azam dengan rasa ingin tahu. "Tunggu... kamu manusia?"
Azam mengangguk. "Iya, saya manusia."
Elf itu terdiam sesaat, lalu berkata singkat, "Ikut aku."
Ada sesuatu yang aneh dalam sikapnya, tapi Azam tak punya pilihan selain mengikuti.
Sesampainya di desa, ia menyadari bahwa tempat itu dihuni sepenuhnya oleh para elf. Mereka hidup layaknya manusia—tetapi entah mengapa, semua mata tertuju padanya.
Elf perempuan itu berhenti di depan sebuah gubuk sederhana.
"Masuklah, dan ceritakan semua yang kamu ketahui kepada Kepala Desa," katanya datar sebelum pergi begitu saja.
Azam sedikit bingung dengan sikapnya, tapi ia mengabaikannya. Dengan ekspresi datar, ia menaiki tiga anak tangga dan mengetuk pintu.
TOK… TOK… TOK.
Sunyi sejenak.
Kemudian terdengar suara berat dari dalam.
"Masuk."
Azam membuka pintu dan melihat seorang lelaki tua duduk bersila, dengan sebuah meja di depannya. Namun sebelum Azam sempat mengatakan apa pun, sesuatu yang tak terlihat tiba-tiba menarik tubuhnya dengan kuat.
Lalu segalanya menjadi gelap.
...----------------...
Azam terbangun di kamarnya.
"…?"
Ia menoleh ke arah jam. Pukul delapan pagi.
Pikiran Azam dipenuhi kebingungan.
Saat keluar dari kamar, bukan orang tuanya yang menyambutnya, melainkan beberapa tamu yang sudah ada di rumahnya.
"Abah, baru bangun? Kenapa wajahmu pucat begitu?"
Sapaan "Abah" adalah sebutan yang disarankan oleh Azam sendiri kepada para anggota TCG. Ia ingin lebih dekat dengan mereka, layaknya seorang ayah bagi anak-anaknya.
Yang berbicara adalah seorang pria bertubuh besar untuk usianya, dengan rambut kribo dan wajah agak gemuk. Dia adalah Ami, salah satu orang kepercayaan Azam di TCG. Di sampingnya berdiri seorang perempuan dan tiga pria lainnya.
"Ugh… tidak ada apa-apa, hanya mimpi aneh. Sudah berapa lama kalian di sini?" tanya Azam.
"Kami baru saja datang," jawab Ami. "Tadi kami sedang mengobrol, Abah tak perlu memikirkannya. Oh iya, anak yang Abah adopsi cukup bisa diandalkan. Dia langsung menjamu kami, haha. Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat—dulu dia masih sangat kecil."
Azam berdeham pelan.. "Ekhem... jadi, kalian ke sini untuk?"
"Apa Abah lupa? Kita harus mendiskusikan soal TCG. Anggotanya sudah lebih dari dua ratus ribu orang." ucap Ami
"Oh, soal itu" balas Azam santai.
Ami menghela napas panjang. "Kenapa Abah bisa sesantai ini? Kalau Abah ingin menikmati masa pensiun, harus dipikirkan dari sekarang. Apalagi umur Abah sudah dua puluh empat tahun, dan rencananya Abah akan menikah empat tahun lagi, kan? Kita harus segera mencari seseorang yang bisa mengurus semua ini."
"...."
Ami melanjutkan dengan nada ragu. "Abah... Abah tidak berniat membubarkan TCG, kan?"
Keempat orang lainnya tampak terkejut mendengar pernyataan Ami.
Azam tetap dengan wajah datarnya. "Kamu mempertanyakan keputusanku?"
Ami menelan ludah. "Ti—tidak, bukan itu maksudku... ta—tapi..."
Sebelum Ami menyelesaikan kalimatnya, Azam menyela. "Aku tahu"
Sebenarnya, bukan karena Azam tidak bisa membubarkan TCG.
Bukan juga karena ia takut perjuangannya akan sia-sia.
Namun, TCG tidak boleh dibubarkan begitu saja.
Dengan jumlah anggota yang begitu besar, pembubaran justru bisa memunculkan kelompok-kelompok kecil yang sulit dikendalikan—bahkan berpotensi menjadi ancaman bagi masyarakat.
"Aku... ekhem... Abah akan mendirikan lima Pilar."
Ami terkejut. Ia mengira Azam akan menunjuk seorang pewaris atau pengganti, tetapi ternyata Azam memilih membentuk lima Pilar—lima sosok yang akan menjadi penopang utama TCG.
Dengan sistem ini, Azam tetap berada di posisi absolut hingga kepergiannya. Setelah itu, kelima Pilar akan bertanggung jawab memilih kandidat penerus. Meski Azam menyadari kemungkinan munculnya konflik setelah ia tiada, langkah-langkah pencegahan sudah disiapkan.
"Abah juga akan mendirikan sembilan Tetua untuk memastikan semuanya berjalan sesuai aturan. Jadi, tidak ada lagi yang perlu dipertanyakan," ujar Azam tegas
Pernyataan itu menegaskan bahwa keputusannya sudah final. Keempat anggota TCG yang hadir hanya bisa terdiam—tak ada satu pun yang berani membantah atau mempertanyakannya lebih lanjut.
Rapat pun berlangsung lancar, membahas berbagai hal penting sebelum akhirnya mereka berpamitan dan pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Paola Uchiha 🩸🔥✨
Ngakak guling-guling 😂
2025-03-08
0