Setelah ucapan Sean yang tiba-tiba membuat suasana hening, Netha menegakkan tubuhnya dan menatap Sean. Ia tidak bicara. Hanya mengangkat alis dan memberi sedikit kode khas yang anehnya langsung dimengerti Sean.
Mata mereka saling bertaut sejenak. Sean, yang terbiasa membaca isyarat di medan perang, tahu betul arti anggukan itu.
Ia mengangguk pelan membalas, kemudian berdiri.
"Nonton TV aja, ya. Papa sama Mama ada keperluan penting," katanya pada si kembar.
"Baik, Pa!" jawab mereka serempak.
Netha tanpa kata, langsung ke arah tangga berjalan menuju ke kamarnya.
Setelah anak-anak duduk manis di ruang tengah menonton acara kartun favorit mereka, Sean melangkah pelan menaiki tangga, mengikuti Netha yang sudah lebih dulu berjalan ke lantai atas.
Di tangga, Netha berjalan pelan tapi pasti, setiap pijakan mengeluarkan suara kayu yang tertekan berat tubuh. Tapi langkahnya mantap, seolah ada misi penting yang harus dijalankan.
Sesampainya di depan kamar, ia membuka pintu, menoleh sebentar ke Sean dan berkata pelan, nyaris seperti bisikan, “Kita perlu bicara.”
Sean mengangguk. Wajahnya serius kini. “Tentang apa?”
Netha tidak langsung menjawab. Ia masuk duluan, membiarkan pintu sedikit terbuka di belakangnya.
Ia langsung duduk di sofa, sementara Sean mengikuti Netha ikut duduk di sampingnya.
Netha menoleh dan bertanya dengan mata menyipit penuh curiga.
“Uang yang kamu kasih tadi… itu bukan hasil penggelapan dana militer, kan?”
Sean mengerutkan kening, tapi tetap tenang. "Bukan." jawabnya singkat, nadanya datar seperti biasa.
Netha menghembuskan napas panjang dan mengelus dadanya yang penuh. “Syukurlah.” katanya lirih.
Ia lalu menatap Sean lagi, kali ini lebih serius.
“Dan uang yang selalu kamu transfer ke rekening aku setiap bulan, itu juga bukan uang kotor, kan? Bukan dari bisnis gelap atau suap menyuap, kan?”
Sean menatap istrinya itu, lalu mengangguk ringan. “Bukan.”
Netha menegakkan tubuhnya, lalu berjalan mengambil sebuah map berwarna merah muda dari meja. “Baiklah kalau begitu.”
Ia menyerahkan map itu pada Sean dengan kedua tangan, seperti memberikan dokumen penting dalam negosiasi besar.
Sean mengambilnya dengan satu alis terangkat. “Apa ini?”
“Baca saja dulu. Jangan tanya-tanya dulu.”ucap Netha cepat.
Sean membuka map itu. Di dalamnya ada beberapa lembar kertas diketik rapi. Di sana tertulis judul besar dengan huruf kapital,
‘KESEPAKATAN KERJA SAMA RUMAH TANGGA ANTARA SEAN JACK HARISON DAN ANETHA VERONICA’
“Kontrak?” gumam Sean. “Untuk apa?”
Netha menegakkan punggungnya, mencoba terlihat profesional meski perutnya ikut bergerak-gerak karena berat badannya.
“Bukankah kamu ingin aku berubah? Jadi lebih lembut sama si kembar?”
Sean mengangguk perlahan.
“Nah. Aku ingin kau membayarku setiap kali aku menemani si kembar. Entah itu main di taman, pergi kemana mereka mau, atau sekadar nemenin mereka main slime.”
Sean diam sejenak, menatap lembaran di tangannya. Lalu dalam hati, ia justru merasa lega. Jika ini bisa menjadi alasan agar Netha tidak kembali mengucapkan kata 'cerai', maka semua hal kecil seperti ini akan ia lakukan.
Apapun. Uang? tak masalah. Sean punya banyak uang. Asal Netha tetap di sini. Asal rumah ini tetap utuh. Asal anak-anak tidak kehilangan ibunya atau jauh dengan ibunya.
“Baik,” jawab Sean tenang. Ia langsung mengambil pulpen dari saku bajunya, kebiasaan sebagai mantan militer, dan tanpa basa-basi, ia menandatangani halaman paling akhir.
Coret! Coret!
Tanda tangan bergaya khasnya tergores rapi di sana.
Netha melongo. “Segampang itu?”
Sean menatapnya dalam. “Apapun akan aku lakukan. Jika itu bisa mencegah kamu dan aku berpisah lagi.”
“Ya... Tapi... coba baca dulu isinya,” ucap Netha gelagapan. Tangan gemuknya hendak menarik kembali map tersebut.
“Aku sudah membacanya.”
Netha hanya bisa menatap Sean penuh kagum, ya hanya sedikit. Lalu ia teringat sesuatu yang Sean katakan tadi di meja makan.
"Ayo, katakan padaku lagi. Apa yang tadi kamu bilang?" tanya Netha curiga, alisnya naik sebelah. "Mau pergi? Pergi ke mana? Kamu akan ninggalin si kembar?"
Sean menunduk sejenak sebelum menatap istrinya itu dengan tenang. “Aku dapat panggilan tugas dari militer. Mungkin seminggu, mungkin lebih. Aku belum tahu pasti."
Netha langsung menyandarkan tubuhnya ke sofa, ekspresinya datar. “Oh begitu.”
Sean melanjutkan, “Bisakah kamu menjaga anak-anak selama aku pergi? Tenang saja, aku pasti bayar.”
Seketika itu juga, mata Netha bersinar. Dalam hati, ia bersorak, “Setahun juga tak masalah, Sean! Yang penting uang tetap masuk tiap bulan. Bisa sekalian staycation di rumah sendiri, makan enak, tidur nyenyak, dan... cuan!”
Namun di permukaan, wajahnya tetap datar. Profesional. Ala wanita karier tangguh.
“Baiklah,” jawabnya kalem. “Tapi…”
Sean menoleh, menunggu lanjutan kalimat itu.
“Kamu pamit dulu pada si kembar. Aku nggak mau disalahpahami. Nanti kalau kamu tiba-tiba menghilang, mereka kira aku yang ngusir kamu dari rumah ini.”
Sean terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.“Baik. Aku akan pamit,” ucapnya.
...----------------...
Burung-burung berkicau riang, sinar matahari menyusup malu-malu dari celah jendela besar di ruang tamu. Di lantai atas, terdengar suara pintu terbuka.
Netha keluar dari kamarnya dengan napas agak berat. Ia mengenakan baju training warna pink ketat yang tampak berteriak minta ampun karena ditarik paksa oleh tubuhnya yang kini berisi lebih dari cukup.
Langkahnya terhenti ketika matanya bertemu dengan seseorang.
Sean.
Pria itu berdiri beberapa meter di depannya, mengenakan setelan training hitam lengkap. Jaket sudah tertutup rapat, rambutnya sedikit berantakan, tampaknya ia baru saja bersiap untuk olahraga juga.
Mereka bertatapan.
Sean berkedip, lalu membuka suara duluan. “Mau ke mana?”
Netha melipat tangan di dada, membuat jaketnya semakin menjerit. “Mau ke angkasa. Masa nggak kelihatan aku pakai baju apa?”
Sean mengangkat alis. “Training?”
“Nah, itu tahu. Aku pakai baju training, ya jelas mau olahraga pagi!” sahut Netha cepat, setengah kesal.
Sean menatap Netha dari atas ke bawah. “Kau yakin?”
“Hmm,” gumam Netha sambil mendengus pelan. “Jangan seolah-olah aku nggak bisa olahraga cuma karena tubuhku... sedikit... melebar.”
Sean menahan senyum. Sedikit?
Netha berbalik hendak pergi, tapi Sean memanggil, “Tunggu.”
“Apa lagi?” Netha menoleh dengan malas.
Sean membuka jaket besarnya, lalu menghampiri dan menyampirkannya ke bahu Netha. “Pakailah. Bajumu terlalu kecil.”
Netha menatap ke bawah, ke arah perutnya yang seperti ingin menantang resleting baju trainingnya.
“Huft... aku tahu. Tapi apa boleh buat. Nggak ada baju yang muat.”
“Belilah yang muat,” komentar Sean ringan. “Jangan pakai baju SMA.”
“Iya iya,” sahut Netha sambil meraih jaket Sean. “Aku pergi.”
Sean hanya menarik sudut bibirnya, sedikit geli, lalu kembali datar.
Ia mengikuti langkah Netha sampai di depan pintu. Netha yang menyadarinya langsung menghentikan langkah.
“Mau ke mana?” tanyanya.
“Aku juga mau olahraga.”
“Oh...” Netha mengangguk kecil.
Keduanya keluar dari rumah, menutup pintu perlahan.
Netha mulai pemanasan, joget kecil, gerakan tangan ke kanan kiri, dan sedikit stretching, semua dilakukan dengan suara nafas yang sedikit ngos-ngosan dan ekspresi serius yang berlebihan.
Sean hanya berdiri menatapnya, satu alis terangkat.
“Kamu ke arah mana?” tanya Netha sambil menggoyangkan bahunya seperti mengikuti gerakan senam ibu-ibu di televisi.
“Sana,” jawab Sean sambil menunjuk ke arah selatan.
“Oke,” ucap Netha.
Tanpa ragu, Netha mulai berlari kecil ke arah utara menyusuri jalanan komplek yang begitu rapi dan tenang.
Komplek ini adalah perumahan kelas atas yang dihuni oleh orang-orang kaya. Rumah-rumah besar dengan halaman luas berjajar rapi di sepanjang jalan.
Pohon-pohon rindang tumbuh di tepi trotoar, memberikan suasana yang asri. Beruntungnya, penghuni komplek ini adalah tipe orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka jarang sekali ikut campur dalam kehidupan tetangga.
“Ah, senangnya tinggal di sini. Bisa olahraga pagi tanpa harus diganggu atau dinilai macam-macam,” gumam Netha sambil tersenyum.
Meskipun begitu, seluruh komplek ini tahu siapa dirinya. Sulit untuk tidak mengenal Netha, satu-satunya wanita bertubuh gemuk di sini yang memiliki suami tampan, Sean Jack Harison, seorang komandan militer yang disegani, dan dua anak kembar yang sama tampannya. Kadang, pandangan orang tertuju padanya, tetapi Netha mengabaikannya.
Sesekali, tetangga yang lewat menyapa Netha, dan ia pun membalas sapaan itu dengan ramah. Beberapa kali juga ia yang memulai menyapa lebih dulu. Tidak ada yang menatapnya aneh atau menyindir tubuhnya, mungkin karena ia adalah istri Sean, seseorang yang tak banyak orang berani ganggu urusannya.
Setelah beberapa putaran mengelilingi komplek, Netha sampai di taman utama. Taman itu begitu indah dan luas. Ada taman bunga yang tertata rapi, area jogging track, lapangan basket, lapangan voli, dan juga arena bermain anak-anak. Fasilitas di taman ini teramat baik, layaknya taman di komplek mewah yang dirawat dengan profesional.
Di sudut taman, terlihat banyak orang yang sedang beraktivitas. Ada yang jogging, ada juga yang berjalan santai, dari anak muda hingga orang tua. Bahkan beberapa pedagang kaki lima berjejer rapi di sekitar taman, menjual berbagai makanan ringan dan minuman.
“Wah, nyaman sekali ya di sini,” ujar Netha sambil mengatur napasnya. Setelah berlari selama dua jam, tubuhnya mulai terasa sedikit lelah, tetapi hatinya terasa lebih ringan.
Ia duduk di salah satu kursi taman yang kosong dan mengeluarkan botol air mineral yang baru saja ia beli dari pedagang. Sambil meneguk air, Netha menatap taman dengan senyum kecil.
“Damai sekali…” bisiknya. Ia mendongakkan kepala, menatap langit yang mulai terang. Di kehidupan sebelumnya, Netha tidak pernah merasakan ketenangan seperti ini.
Hidupnya hanya berkisar antara kantor dan rumah, bekerja tanpa henti. Pemandangan indah seperti ini hanya ia lihat dari layar komputer atau ponsel.
“Sekarang aku punya kesempatan untuk menikmati hidup. Mungkin ini adalah hadiah kedua untukku,” lanjutnya dalam hati sambil tersenyum puas.
Pandangan Netha teralih ke sebuah kerumunan kecil. Beberapa orang sedang mengantre di depan gerobak bubur ayam yang terlihat ramai. Perutnya tiba-tiba berbunyi pelan, membuatnya tertawa kecil.
“Hmm… beli bubur enak juga nih,” gumamnya. Dengan langkah ringan, ia menghampiri penjual bubur dan ikut antre. Setelah beberapa menit, tibalah gilirannya.
“Bungkus tiga ya, Bang. Satu porsinya kecil saja, dua lagi sedang,” ujar Netha sambil tersenyum.
Penjual bubur itu mengangguk sambil melayani pesanannya. Setelah menerima bungkusan bubur ayam, Netha berjalan pulang dengan langkah santai, senyum masih mengembang di wajahnya.
Sementara itu, di rumah, El dan Al baru saja bangun. Keduanya keluar dari kamar dengan piyama yang masih kusut. Mereka menuju kamar mandi, mencuci muka, dan menggosok gigi seperti kebiasaan pagi mereka.
Saat keluar dari kamar mandi, keduanya terdiam di koridor rumah. Mereka saling berpandangan, keheranan dengan pemandangan di sekitar mereka.
Rumah yang biasanya berantakan kini terlihat begitu bersih. Lantai berkilau, meja rapi, dan tak ada satu pun sampah berserakan.
“El, lihat deh. Rumah ini jadi… bersih,” ujar Al dengan suara pelan namun penuh rasa tak percaya.
El hanya mengangguk kecil, menatap sekeliling dengan mata waspada. “Iya. Tapi… mana wanita itu?” tanyanya dengan nada datar.
Keduanya berjalan ke kamar Netha, mengetuk pintu perlahan.
Tok!! Tok!! Tok!!
Namun, tidak ada jawaban dari dalam.
“El. Kau buka pintunya. Jangan-jangan dia sakit atau kenapa-kenapa.”
El menganggukkan kepalanya dan membuka pintu itu. Ketika pintu kamar dibuka, ruangan itu kosong.
“Kemana dia ya.?” ucap mereka sambil sama-sama menggaruk kedua kepalanya.
Mereka berjalan ke dapur, tetapi Netha tidak ada di sana juga.
“Jangan-jangan… Apakah dia pergi?” gumam Al sambil menatap kakaknya.
El menatapnya dengan tajam. “Maksudmu dia meninggalkan kita?”
Al mengangguk kecil. “Iya. Papa sama dia kan sepakat berpisah. Kalau sekarang Mama pergi, terus kita ditinggal berdua disini bagaimana, El? Apa yang harus kita lakukan?”
Wajah mereka langsung murung. El dan Al berjalan pelan menuju teras rumah dan duduk di tangga depan dengan pikiran masing-masing. Mereka mencoba mencerna apa yang sedang terjadi.
“Kalau Mama pergi… kita pasti ikut Papa, kan?” tanya Al pelan.
El diam sejenak, lalu mengangguk. “Iya. Papa nggak mungkin ninggalin kita.”
Namun, tetap saja, perasaan mereka bercampur aduk. Mereka masih anak-anak yang berharap keluarganya bisa utuh.
“Ku harap Mama menyukai ku, dan tak meninggalkan kita berdua...” Harap Al dalam hati.
“Ku harap, Mama tidak jadi meninggalkan kita. Meskipun dia sering marah, namun aku menyayanginya.” ucap El dalam hati.
Mereka duduk di teras rumah, keduanya hanya menatap kosong ke halaman depan yang masih sepi.
Beberapa menit berlalu, seorang tetangga yang baru selesai berlari pagi dan berbelanja sayuran melihat mereka berdua duduk dengan wajah cemberut.
Tetangga itu adalah seorang wanita paruh baya yang tinggal beberapa rumah dari mereka.
“Hai, El, Al! Kenapa kalian di luar pagi-pagi begini? Dingin, lho, masuk sana.” sapanya ramah sambil mendekat.
El dan Al menoleh, sedikit terkejut dengan kedatangan tetangga yang menyapa nya.
“Tante… Mama nggak ada di rumah,” jawab Al pelan.
“Apakah kalian tak tahu kemana kalian berada? Apakah mama mu tak berpamitan pada kalian sebelum keluar?” tanya wanita itu lagi dengan penasaran.
“Kami nggak tahu, Tante. Kami pikir… Mama akan pergi ninggalin kami,” sahut El dengan suara datarnya.
Tetangga itu tertawa kecil, menggelengkan kepala. “Eh, kenapa kalian berkata begitu. Kalian ini bicara apa sih? Tadi Tante lihat Mamamu lagi olahraga di taman. Kelihatannya dia sudah selesai dan pulang, kok. Jangan khawatir, ya. Sebentar lagi, mama kalian pasti datang.”
Kedua anak itu langsung menatap satu sama lain, lega.
“Oh, gitu ya? Makasih, Tante,” ucap Al sambil tersenyum kecil.
“Sama-sama. Sekarang kalian masuk ke dalam, jangan duduk di luar lama-lama. Nanti masuk angin,” nasihat wanita itu sebelum berlalu pergi.
El dan Al mengangguk kecil, lalu bangkit berdiri. Mereka masuk kembali ke dalam rumah dan duduk di sofa sambil menunggu Netha pulang. Pikiran mereka sedikit lebih tenang setelah mendengar penjelasan dari tetangga.
“Ah, setidaknya aku tau Mama gak akan pergi dari ku,” ucap El dan Al dalam hati yang terlihat senang.
Tak lama kemudian, pintu depan terbuka. Netha masuk dengan nafas sedikit terengah setelah perjalanan pulang dari taman. Di tangannya ada kantong plastik berisi tiga bungkus bubur ayam.
“Eh, kalian sudah bangun?” sapa Netha sambil tersenyum kecil.
El dan Al menoleh ke arahnya. Mata mereka berbinar kecil, lega melihat wanita itu kembali. Namun, mereka tidak langsung menjawab.
“Ini, aku beli bubur ayam buat sarapan untuk kita bertiga. Ayo makan bersama,” lanjut Netha sambil berjalan ke dapur untuk menyiapkan mangkuk.
El dan Al hanya saling berpandangan, lalu mengikutinya ke meja makan. Dalam hati, mereka merasa sedikit lebih nyaman dengan kehadiran Netha yang, entah bagaimana, terlihat berbeda dari biasanya.
“Mama berubah, dan aku senang,” ucap El dan Al dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Siti solikah
kasihan Al dan El , tidak pernah di perhatikan oleh netha
2025-03-29
4
guntur 1609
apa berhasil tu mama kandung si kembar? kok ngomongnya sprti tu ya???
2025-04-17
0
mumu
masih penasaran kena0a netha yg dulu
2025-03-22
1