5. Di luar batas

Setelah beberapa hari berusaha menenangkan pikiran. Spica yang masih terbawa shock tetap bersikap profesional dalam bekerja. Gadis itu hanya berubah sedikit lebih pendiam dari biasanya. Tidak ada lamunan ditengah waktu luangnya. Gadis itu memanfaatkan semua waktu hanya untuk bekerja, makan dan istirahat. Terutama tidur. Karena hanya tidurlah Spica bisa melupakan semua kenangan buruknya. Memori-memori menyebalkan yang ingin dihilangkan akan sirna dengan tidur.

Namun rupanya hal itu tidak sesuai dengan keinginannya. Berita tentang gadis yang digoda pak Hamdan malah menyebar seantero pabrik, untungnya mereka masih mencari siapa sosok gadis yang ditawar Hamdan. Spica berharap semua orang tidak akan pernah tahu siapa gadis itu atau dirinya bisa kehilangan muka.

"Sabar sebulan lagi kontrakku habis." Spica terus menyemangati diri. Gadis itu sudah bertekad akan langsung pulang ke tempat ibunya setelah mengurus finish kontrak. Semua rencana sudah dipikirkan matang-matang. Gadis itu tidak akan kembali lagi ke kota dan bekerja sebagai buruh pabrik.

Saat sedang melangkah ke toilet. Spica dikejutkan dengan munculnya Pak Hamdan dari balik toilet cowok. Karena memang letak toilet laki-laki dan perempuan sejalur, memungkinkan untuk Pak hamdan memblokade jalan Spica.

Sunyi koridor terpecah saat suara sepatu Spica bergesekan keras dengan lantai epoxy. Gadis itu menghindar dengan berusaha melepaskan cekalan tangan Hamdan pada lengannya.

"Sopan!" refleknya.

Tetapi Hamdan yang memang tidak punya urat malu itu tidak peduli, cengkramannya semakin keras dan malah menyeret Spica masuk ke dalam toilet laki-laki yang sebelumnya sudah pak Hamdan sterilkan. Dengan artian sudah memastikan di toilet kosong tidak ada siapapun di sana.

"Lepaskan saya Pak!" satu tangan Spica yang bergerak bebas menahan pada dinding, berusaha agar tidak diseret masuk.

"Kamu ini susah juga diajak kerjasama." Hamdan mengomel. Pria itu kesal karena Spica terus saja melawan padahal dirinya sudah berusaha mencari waktu kosong dan mengamati gerak-gerik Spica. Ini adalah kesempatan ke duanya setelah menunggu lama. Tidak mungkin Hamdan akan bersabar lagi.

"Cctv-nya!" Spica frustasi. Jantungnya berdegup kencang berharap Hamdan akan sadar dan melepaskannya. Mungkin pria itu akan takut dengan cctv karena wajahnya bisa terekspos sampai ke atasan.

Namun nyatanya Hamdan malah terkekeh. "Aman." Ucapnya seakan mengerti dengan kegelisahan Spica.

Dirinya yang sudah biasa melakukan hal licik tidak akan takut dengan kamera pengawas. Beri saja uang untuk bagian yang bersangkutan maka semuanya akan aman.

Sungguh! kata-kata ambigu yang saling terlontar itu membuat keduanya saling salah paham. Belum lagi jari Spica yang menahan pada dinding semakin pucat karena tekanan, rasa kebas semakin menjalar hingga akhirnya pertahanannya gagal. Namun bukan Spica namanya jika menyerah dengan mudahnya. Baru beberapa langkah terseret. Gadis itu langsung maju dan menubruk tubuh Hamdan di depannya. Membuang semua tenaganya ke depan, membuat dorongan keras hingga Hamdan ambruk bersamaan dengan dirinya. Kepala pria paruh baya itu sampai terkatup dinding berlapis keramik.

Untuk sesaat Hamdan kehilangan fokus dan pertahanannya sehingga Spica dengan cepat mengambil kesempatan. Tidak peduli dengan Pak Hamdan yang terus mengaduh kesakitan, Spica langsung melarikan diri. Dengan tubuh bergetar, Spica keluar dari toilet cowok dengan pandangan fokus ke bawah, matanya secara reflek terus menatap lantai epoxy. Tubuhnya terasa ringan dengan pandangan yang sedikit kabur.

Belum reda dengan kejutan barusan, Spica kembali dihadapkan dengan kejutan selanjutnya. Beberapa detik berlalu, tubuhnya berbenturan dengan seseorang berperawakan tegap. Wangi soft yang menguar langsung menusuk Indra penciuman Spica. Gadis itu langsung mendongak.

"Seperti Bara," batinnya cepat.

Tidak kalah terkejut, lawan Spica terdiam sesaat. Bahkan seseorang dibelakang cowok itu ikut membatu. Pikirannya macam-macam. Berseliweran memikirkan hal buruk tentang Spica.

"Untuk apa perempuan masuk ke dalam toilet laki-laki?"

"Saya minta maaf, permisi." Spica membungkuk sesaat sebelum pergi. Demi tongkat Poseidon! Spica malu dengan perasaan campur aduk. Habislah dirinya dicap sebagai perempuan murahan.

Hancur sudah martabatnya sebagai seorang perempuan mahal. Semua pekerja pasti akan ramai membicarakan dirinya jika sampai berita ini viral. Dan detik ini juga, Spica ingin menghilang dari pabrik, jika perlu hilang sekalian dari bumi. Menghapus sejarah jika manusia seperti dirinya, sebetulnya tidak pernah ada di dunia.

"Beberapa tahun hidup terasa lancar dan damai rupanya memiliki bom waktu tersendiri. Pantas saja hari-hariku berjalan begitu mudah dan tentram, ternyata Tuhan telah menyiapkan cobaan besar untukku. Yang aku sendiri bahkan terlalu kaget menerimanya."

Spica bergumam dalam hatinya, dirinya juga berharap cobaan ini akan cepat selesai dan terlupakan.

Di dalam toilet perempuan, Spica bersandar di balik pintu bilik. Netranya menatap pada kloset duduk berwarna putih bersih. Karena tidak tahan dengan bobot tubuhnya sendiri, Spica akhirnya duduk di sana. Sungguh ini kali pertama Spica merasakan lemas luar biasa. Mentalnya benar-benar terguncang. Gelisah luar biasa.

Spica jijik dengan lengannya yang di sentuh oleh Hamdan. Walau menggunakan kain lengan panjang, tetap saja rasa itu masih tertinggal. Bayang-bayang kejadian beberapa waktu lalu berputar kembali layaknya kaset rusak.

Jijik dengan ekspresi Hamdan saat menatapnya, penuh n*ps*. Spica merasa bodoh sebab harusnya tadi dia memberi bogem mentah pada wajah menyebalkan itu.

Di sisi lain, Hamdan yang sedang berusaha bangkit terus memberi sumpah serapah untuk Spica. Tubuhnya terasa remuk, mungkin dipengaruhi faktor usia. Selain itu dahinya juga berdarah karena bergesekan dengan lantai.

Benar-benar sial pikirnya. Apalagi belum sempat merapikan penampilan, dirinya malah dihadapkan dengan orang yang tiba-tiba datang dari lorong.

"Ada apa ini?!" suara Bara begitu tegas. sedangkan asisten Bara membantu Hamdan bangkit.

"Apa dia bos muda itu?" Batin Hamdan saat melihat Bara yang sedang menatapnya dengan tajam. Seketika Hamdan merasa was-was. Terkejut juga karena setahu Hamdan Bos muda dan assisten-nya sudah pergi dari pabrik. Selesai melakukan kunjungan. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, kedua orang penting itu masih berkeliaran di pabrik dan menciduk basah dirinya.

"Terpeleset Pak," jawab Hamdan pada akhirnya.

Berbohong pun nyatanya percuma. Bara sama sekali tidak percaya dengan kalimat Hamdan. Ingatannya tiba-tiba kembali pada saat dirinya mencuri dengar pembicaraan kedua pekerja di kama mandi. Tentang seorang atasan yang menawar pekerja perempuan untuk dijadikan permanen atau karyawan tetap.

"Pak..." Pandangan Bara beralih pada Suherman si asisten. Seakan mengerti, pria paruh baya itu langsung mengangguk paham.

Suherman langsung menjaga jarak begitu Bara meninggalkan keduanya. Pria itu menatap lanyard Hamdan yang berwarna kuning, yang menandakan jika Hamdan itu orang office.

"Orang office lantai berapa?" Tanya Suherman tanpa basa-basi. Pandangannya datar membuat lawan serasa diinterogasi.

"Lantai satu, Pak." Hamdan menunduk sesaat. tangannya saling menangkup didepan. Begitu merendah karena takut akan dimarahi.

"Pergilah ke klinik dan obati lukamu," tutur Suherman sebelum menyusul Bara, meninggalkan Hamdan yang tengah panas dingin.

"Tamat sudah riwayatku."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!