"Semuanya stop dulu!" Seru leader yang memegang area belakang line.
Spica langsung menatap monitor dan mendapati program tidak bisa dijalankan karena server menghentikan segala aktivitas produksi.
"Stop line guys."
"Kenapa sjh?"
"Ada apa Mba Han?"
"Ada part yang abis, kata delivery-nya di gudang kosong."
"Asik, duduk-duduk kita."
Mendengar percakapan dari teman kerjanya, diam-diam Spica ikut merasa senang.
"Jangan berisik, 6S dulu yaa." Leader kembali memberi instruksi.
Dengan semangat teman-teman Spica mengambil alat kebersihan dan mulai membersihkan area tempat kerja masing-masing. Tidak terkecuali Spica.
Beberapa lemparan kalimat berisi ujaran cemburu datang dari Line tetangga. Dan di tanggapi dengan gurauan. Stop Line adalah momen yang menyenangkan bagi setiap pekerja. Duduk sembari menyaksikan line-line lain jalan itu rasanya seperti bos yang sedang mengamati anak buahnya bekerja. Kita bersantai sedangkan mereka bertarung dengan waktu dan planning.
"Dua orang ke office ya, bantuin menginput data." Leader perempuan memperhatikan anak buahnya, mencari wajah-wajah yang sekiranya bisa bermain laptop. Tangan kanannya sibuk memegang ponsel, terlihat menampilkan roomchat grup. "Siapa yang bisa ms. Excel?" tanyanya.
"Ini ni bu, Spica sama Hani aja!" Seru Dina, rekan kerja Spica yang sedang memegang lobby duster. Sejenak gadis itu berhenti, tangannya menunjuk Spica. Menatap Spica dan Hani bergantian.
"Ya udah, Spica sama Hani ke office ya? sudah ditunggu pak Hamdan." Leader tersebut langsung memberi arahan.
Keduanya pergi tanpa banyak bicara. Sampai di office, seorang pria yang ternyata Pak Hamdan sudah menunggu di depan pintu masuk. Wajahnya terlihat ramah dan baik. Senyum tipis beliau menyambut kedatangan keduanya.
"Line 5 ya?"
Spica dan Hani mengangguk kompak, keduanya dj giring menuju meja kerja yang tidak berpenghuni. Di masing-masing meja terdapat laptop yang sedang menampilkan ms.excel, di sampingannya terdapat lembaran kertas cukup tebal.
"Kalian bantu saya menginput data anak-anak yang tidak naik bis jemputan ya, jika ada alasan bertele-tele tulis saja secara singkat. Saya tinggal dulu." Pak Hamdan memperhatikan dengan sekilas Spica dan Hani. Untuk yang kedua kalinya, pandangan itu terarah pada Spica yang saat ini tengah duduk dan berfokus pada lembaran kertas dan keyboard. Menatap dalam pada Spica sebelum akhirnya pergi entah kemana.
Di jam-jam berikutnya, mereka masih sibuk berkutat. Beberapa kali Hani merenggangkan ototnya, posisi duduk yang semula tegap kini terlihat loyo dan tak bertenaga. Suhu AC Sentral terasa lebih dingin daripada di area produksi, membuat kulit kering, pun beberapa kali Hani mengusap-usap tangannya karena kedinginan.
Di sampingnya, Spica terlihat lebih kalem. Gadis itu dengan tenang terus mengetik sampai ketika suara Hani membuyarkan fokusnya.
"Ka, aku kira bekerja di kantor lebih enak, AC dingin, kalem, bersih. Ternyata sangat membosankan, mana badan pegel-pegel." Hani mengeluh, suaranya lirih minta disemangati.
"Ya begitulah, kadang apa yang kita lihat menyenangkan belum tentu sama seperti kenyataan." Sahut Spica tanpa melihat Hani. Suaranya rendah seperti sedang berbisik.
Hani diam sesaat, memperhatikan bagaimana Spica mengerjakan bagiannya. Dirinya bahkan baru sampai 4 lembar sedangkan Spica sudah hampir selesai. Hani benar-benar takjub dengan Spica yang selalu tenang dan cekatan, berbeda dengan dirinya yang masih terlalu childish dalam berpikir dan tindakan.
"Di Line kerja bisa sambil becanda, di sini mana bisa woi!" Suara Hani terdengar lebih jelas. Saat tersadar, gadis itu dengan cepat memperbaiki cara duduk. Netranya menyapu ke sekeliling, memastikan ada yang terganggu dengan suaranya atau tidak.
Waktu terus berlalu. Sampai pada waktunya istirahat, Spica dan Hani berjalan beriringan ke kantin. Kondisi kantin yang lenggang membuat mereka lebih santai. Biasanya saat akan mengambil makan siang pasti selalu antri kemudian bingung memilih tempat duduk karena hampir semua tempat penuh.
Kali ini keduanya istirahat bersama pekerja kantor dengan kondisi yang lenggang. Makanan pun mendapat menu yang enak. Sungguh kebetulan yang membahagiakan. Hani yang tadinya terlihat lesu, pun sampai berubah. Hanya ada raut wajah bahagia apalagi saat di piringnya terdapat lauk yang begitu disuka.
Spica dan Hani duduk berdampingan, mereka sibuk menikmati makanan. Keheningan itu terus berlanjut sampai Pak Hamdan menyapa keduanya, beliau menggeser kursi. Ikut bergabung dengan duduk disebelah Spica.
"Habiskan, biar semangat terus." Pak Hamdan tersenyum melihat keduanya.
Hani mengangguk sungkan. "Siap Pak, bapak udan makan?" tanyanya basa-basi.
"Ohh saya sudah makan tadi, nambah malah."
Hani ber-oh ria, gadis itu bingung ingin merespon bagaimana. Apalagi sejak tadi Spica hanya diam dan sesekali melihat dirinya dan Hamdan dengan ekspresi datar. Seakan tidak minat dengan obrolan garing itu.
Akhirnya Hani memilih untuk melanjutkan makannya, mengabaikan Pak Hamdan yang sepertinya juga tengah sibuk dengan ponselnya. Keadaan itu terus berlangsung bahkan sampai Spica dan Hani hampir menyelesaikan makan siangnya.
Sedari tadi, yang tidak Hani dan Spica ketahui. Diam-diam Pak Hamdan terus memperhatikan Spica lewat ekor matanya. Pria parubaya itu terlihat menaruh minat pada Spica. Karakter Spica yang misterius, wajah polos dan cantiknya itu sukses membuat Pak Hamdan penasaran.
"Kalian sudah berapa tahun di sini?" Pak Hamdan memecah keheningan.
Beberapa detik berlalu, Hani masih berpikir. Membuat Spica akhirnya menjawab dengan singkat. "Hampir dua tahun."
"Wah sudah mau finish kontrak rupanya, gimana kerja di sini?" Pak Hamdan terlihat begitu antusias dengan Spica dan Hani.
"Seneng-seneng capek, Pak." Hani menjawab apa adanya.
"lah..." Pak Hamdan tertawa ringan, tawa khas bapak-bapak kantoran. "Yang pasti lemburan lancar kan?"
Hani menerawang. Di awal tahun mereka memulai kontrak, hanya bulan pertama keduanya mendapat banyak lemburan. Itu pun sebab produk yang perusahaan buat tidak sesuai standar, mengakibatkan produk dari customer tertentu harus dikerjakan ulang atau rework.
Di bulan seterusnya, karena ekonomi dunia yang sedang tidak stabil, juga faktor-faktor tertentu membuat order menurun. Sampai selesai kontrak pertama bahkan di kontrak kedua Spica dan Hani hanya beberapa kali mendapat jatah lembur. Dan kini, "Alhamdulillah akhir-akhir ini lancar, mungkin karena kita mau finish kontrak. Biar enggak miskin." Hani tertawa kikuk.
"Memangnya tidak menabung?" Pak Hamdan kembali bertanya.
"Biasa Pak, anak perantauan harus ngirim ke orang tua," jawab Hani jujur.
Pak Hamdan mengangguk paham, pria paribaya itu sekali lagi menatap Hani dan Spica bergantian. "Ya yang semangat, kalau buat orang tua harus ikhlas. Biar berkah," ucapnya memberi wejangan.
"Aamiin." Kali ini Spica membuka suaranya.
"Kalian memangnya dari mana?"
"Kota X."
"Kalau kamu?... Dari tadi diam saja." Pak Hamdan beralih pada Spica, mengharap jawaban gadis itu.
"Introvert dia Pak," sela Hani. Greget dengan Spica yang sukanya menjadi pendengar. Sedangkan tangan Hani menyenggol temannya itu agar segera menjawab pertanyaan Pak Hamdan. Tidak lupa tatapan mata yang terus saja tertuju pada Spica, seakan memberitahu bahwa Spica akan sangat keterlaluan dan tidak tahu sopan santun jika tidak menjawab.
Mengerti dengan kode yang diberikan Hani, Spica akhirnya dengan singkat menjawab, "Kota Y."
"Jauh juga yaa."
"Ya begitulah Pak.... Kami permisi dulu Pak, mau ke mushola."
"Iya silahkan."
Hani membungkuk sopan sebelum beranjak dari tempatnya, di ikuti oleh Spica. Mereka kembali beriringan menuju tempat piring kotor. Sepeninggal keduanya, Pandangan Pak Hamdan tidak pernah beralih dari Spica. Pria itu terus memperhatikan bagaimana gadis itu berjalan, lekuk tubuhnya. Bahkan sampai membayangkan apa yang ada dibaliknya.
Di lain Sisi, di sepanjang jalan Hani mendumel habis-hanisan karena sikap pasif Spica. Gadis itu merasa tidak enak dengan Pak Hamdan karena bagaimanapun jabatan beliau lebih tinggi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments