"Mentari! Ayo mandi! Hari ini pergi ke sekolah." Tristan berseru sambil menuruni tangga. Kesibukannya akan kembali lagi seperti hari-hari sebelumnya setelah satu minggu Mentari libur sekolah karena bu guru kesayangannya cuti menikah. Hari ini dia sedikit terburu-buru karena bangun kesiangan.
"Sudah siap, Papa!" Mentari menyahut sambil keluar dari kamarnya dengan pakaian seragam.yang sudah lengkap.Rambutnya pun sudah rapi dan dikepang. Biasanya rambut Mentari dibiarkan terurai dan memakai bando jika berangkat sekolah. Seringkali Kirana yang mengikatnya atau mengepangnya jika Mentari mengeluh gerah.
"Ya, sudah," ucap Tristan begitu melihat Kirana muncul di belakang Mentari. Pria itu pun berbalik menaiki tangga untuk bersiap ke kantor.
Di atas ranjangnya, Kirana sudah menyiapkan pakaian kerja seperti biasanya. Tidak pernah lelah meski Tristan akan memakai baju lain yang diambilnya sendiri dari dalam lemari.
Sementara di meja makan, Kirana menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga. Lagi-lagi hanya nasi goreng. Karena permintaan Mentari semalam. Dengan irisan telur dadar sosis sesuai pesanan putri sambungnya.
Mentari terlihat tengah mengetuk-ngetukkan sendok ke atas meja karena bosan menunggu ayahnya yang terlalu lama. Melihat Tristan menuruni tangga dengan terburu-buru, anak kecil itu pun berhenti memukul meja. Sedangkan Kirana mengulum senyum melihat Tristan memakai pakaian yang disiapkannya. Ternyata usahanya selama ini tidak sia-sia.
"Kalian berangkat naik taksi, ya. Papa buru-buru," ujar Tristan yang membuat Mentari merasa kesal. Namun bagi Kirana, sikap Tristan bukan hal yang aneh. Karena Tristan memang selalu menghindar agar tidak makan satu meja dengannya. Melewatkan makan pagi dengan alasan sarapan di kantor, makan siang di kantor dan pulang setelah larut malam saat dirinya dan Mentari sudah selesai makan malam.
"Papa nggak asyik. Mentari kan mau makan sama papa sama Bunda."
"Papa ada meeting pagi, Sayang."
Mentari melipat tangannya di depan dada dengan bibir dimajukan. Merajuk adalah senjata satu-satunya untuk meluluhkan hati papanya. Bisa apa Tristan jika permata hatinya, peninggalan paling berharga dari istri tercintanya sudah marah. Dia pun menarik kursi dan duduk di samping Mentari. Wajah Mentari seketika berubah ceria. Hal sereceh itu saja begitu berat untuk Tristan lakukan. Dia memang selalu menghindari masakan Kirana yang terlihat menggoda selera makannya.
"Dimakan, Pa," ujar Mentari karena Tristan tak kunjung menyentuh makanannya.
Tristan melirik ke arah Kirana yang pura-pura sibuk dengan sarapannya. Tanpa dia harus turut campur pun Kirana tahu jika Tristan pasti akan menurut pada putrinya. Terbukti saat ini tangan lelaki itu mengambil sendok dan mulai menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya.
"Awas ketagihan, Mas!" Kirana sengaja menggoda suaminya. Wajah tampan itu pun berubah masam seketika.
"Masakan Bunda emang enak. Papa sih nggak pernah makan di rumah," Mentari menimpali.
"Akhir-akhir ini Papa sibuk," elak Tristan.
"Dulu Papa juga sibuk. Tapi kita setiap hari selalu makan bersama."
"Ya. Besok-besok Papa makan di rumah." Jawaban yang sukses mengakhiri ocehan Mentari.
Dua lawan satu, Tristan pun enggan mendebat lagi. Tidak ingin membuat pagi harinya kacau karena banyak pekerjaan penting hari ini. Terlebih melihat Mentari begitu bersemangat kembali ke sekolah. Tentu saja karena pagi ini dia akan berangkat diantar oleh ayahnya dan juga bundanya.
.
Bukan Mentari jika tidak bercicit sepanjang jalan. Ada saja hal yang dibicarakan oleh anak itu. Sangat kritis jika melihat sesuatu yang tidak sesuai menurutnya. Termasuk saat Kirana hendak duduk di kursi tengah bersamanya tadi. Mentari justru menyuruh Kirana duduk di depan.
"Nanti pulangnya saya ambil motor dulu di kost, Mas," ujar Kirana sebelum turun dari mobil.
"Mentari biar dijemput Pak Cip dan pulang ke rumah Mama seperti biasa," sahut Tristan.
"Nggak mau. Mau sama Bunda." Mentari menolak saran Tristan.
"Bunda naik motor, Mentari. Papa nggak ngijinin kamu naik motor. Kalau ngantuk di jalan bahaya."
Kirana terdiam. Mentari adalah prioritas Tristan. Dia tidak ingin ikut campur yang pada akhirnya justru akan memperpanjang perdebatan. Meskipun dia sudah mempunyai helm kecil dan seatbelt yang dia beli karena beberapa kali Mentari minta diantar pulang olehnya tanpa sepengetahuan Tristan.
Mereka bertiga masih bertahan di dalam mobil karena Mentari kembali marah setelah dilarang ikut naik motor oleh ayahnya. Sifat keras kepala Tristan sepertinya menempel pada putrinya. Bahkan akhir-akhir ini Tristan merasa kesulitan membujuk Mentari. Mentari akan lebih menurut pada bunda barunya. Apa pun harus kata Bunda. Terkadang Tristan merasa kesal. Meski tidak dipungkiri semenjak ada Kirana di rumah, dia sangat terbantu dalam merawat Mentari. Semua keperluan Mentari sudah diurus oleh Kirana. Tidak hanya urusan putrinya. Bahkan keperluannya pun disiapkan oleh Kirana. Hanya saja dia yang selalu menolak.
"Saya ada helm dan seatbelt untuk Mentari," ujar Kirana setelah Tristan tetap tidak berhasil membujuk Mentari.
"Bunda jago bawa motor kok, Pa. Papa nggak.usah khawatir," imbuh Mentari.
"Terserah kalian," pungkas Tristan setelah beberapa saat diam. Dan Mentari pun bersorak. Dia memeluk ayahnya dari belakang lalu mencium pipi yang ditumbuhi bulu tipis itu.
"Makasih, Papa." Mentari mencium punggung tangan Tristan sebelum turun dari mobil.
"Mas!" Kirana pun mengulurkan tangannya. Tristan melirik sekilas. Namun kedua tangannya justru dia cengkeramkan pada setir. Tatapannya mengarah pada Mentari yang sudah berbaur dengan teman-temannya. Sesekali dilihatnya putrinya itu menunjuk ke arah mobil. Mungkin sedang berbagi cerita dengan teman-temannya.
Kirana yang merasa sengaja diabaikan pun tersenyum getir.
"Hati-hati, Mas. Assalamu'alaikum." Kirana menarik handle pintu mobil. Samar terdengar Tristan menjawab salamnya.
Kedatangan Kirana mendapat sambutan dari beberapa murid yang sedang berkerumun dan Mentari ada di antara mereka. Seolah sebuah magnet, mereka mengabur ke arah Kirana. Senyum lebar mengembang di bibir perempuan itu. Bertemu dengan wajah-wajah imut muridnya dengan berbagai pertanyaan polos ala anak kecil sesekali membuatnya tertawa. Beban pikirannya seakan terlepas sejenak.
Kirana pun mengajak anak-anak itu masuk ke kelas. Berbaris memanjang sambil bernyanyi. Dan semua aktivitas itu tak luput dari perhatian Tristan yang masih bertahan di dalam mobil. Hingga Kirana dan murid-,muridnya masuk ke dalam kelas. Pria itu pun meninggalkan halaman sekolah.
Tristan memukul stang bundar di depannya. Mentari terlanjur dekat dengan Kirana. Dia tidak bisa membayangkan hubungan seperti apa yang akan dia jalani bersama Kirana ke depan. Benar kata istri barunya itu, mereka tidak mungkin terus-terusan bersandiwara demi membahagiakan Mentari. Sementara dia tidak bisa menempatkan wanita lain dalam hatinya. Elita pergi membawa seluruh hatinya. Meninggalkan luka yang begitu dalam. Perpisahan dengan istri tercintanya itu begitu menyakitkan. Jika bisa memutar waktu, Tristan tentu akan lebih keras lagi melarang Elita bekerja.
Menjadi seorang dokter memang impian Elita. Tristan terlalu mencintai wanita itu hingga dia mendukung sepenuhnya ambisi istrinya. Bahkan dia juga yang membantu membiayai kuliah Elita hingga menyandang gelar dokter.Berasal dari keluarga sederhana dari menjadi yatim sejak kecil bukan hal mudah bagi Elita untuk mendapatkan biaya kuliah. Tristan rela bekerja sambil kuliah untuk membantu Elita. Meski biaya hidupnya sendiri masih ditanggung orang tuanya. Konyol memang.
Bagi Tristan tidak ada wanita yang sepadan dengan Elita. Tuturnya lembut selaras dengan sikapnya. Paras cantik berhati seputih salju. Elita tidak pernah keberatan menangani pasien dengan biaya cuma-cuma. Sesekali dia mengadakan pengobatan gratis untuk orang-orang yang kurang beruntung bersama rekan sejawatnya. Dan semua dukungan dana berasal dari Tristan.
Kenyataan itu masih terlalu sulit diterima oleh Tristan. Orang sebaik Elita harus pergi begitu cepat. Tidak adil rasanya.
"Argh!" Tristan memukul setirnya kembali. Mengenang Elita membuat lukanya semakin menganga. Mata pria itu pun berkaca-kaca. Dia memutar arah mobilnya menuju ke tempat peristirahatan terakhir belahan jiwanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Eliani Elly
lanjut
2023-08-24
1