"Kami tahu, Adelia belum sempurna menjadi seorang istri, tapi, bukan berarti dia bisa disakiti dan dikhianati seperti itu. Bukan cuma putra ibu dan bapak saja yang berharga, Adelia pun sama berharganya bagi kami. Kami membesarkan Adelia dengan penuh cinta dan kasih sayang. Jadi, lebih baik Adelia dikembalikan saja kepada kami." Arwan dengan penuh ketegaran seorang ayah, tapi juga luka, membela putrinya. Putri yang baginya akan selalu membutuhkan bahu seseorang untuk perlindungan.
Mendengar kalimat panjang yang keluar dari mulut ayahnya, Adelia tak bisa membendung airmatanya lagi. Ia tak lagi mampu menahan letupan rasa sakit yang membuncah di dada. Jemari Adelia gemetar meremas ujung blusnya, seolah mencoba menggenggam sisa-sisa keberanian yang hampir sirna.
"Saya tidak mau menceraikan Adelia, Pak, Bu," ujar Wisnu, wajahnya tampak sungguh-sungguh, tapi ketulusannya terasa rapuh, nyaris menipu.
Ucapan itu sontak menyulut kemarahan dalam diri Dinda yang sejak tadi hanya diam. Ia berdiri dengan telunjuk teracung pada wajah Wisnu sambil memuntahkan makian kasar, tanpa peduli lagi pada sopan santun yang orang tuanya ajarkan.
Adelia dan Doni buru-buru menenangkan Dinda, takut jika keributan itu terdengar keluar rumah dan menjadi bahan gunjingan. Sang ibu pun khirnya angkat suara, memerintahkan Doni untuk membawa sang istri pergi dari sana, demi meredakan emosinya.
Namun, ketegangan tak berhenti di situ.
Ratna, yang merasa harga dirinya diinjak oleh sikap Dinda, berdiri angkuh. Wajahnya tajam penuh amarah. "Dasar wanita tak tahu diri! Kampungan! Sudah untung kami memilih jalan baik-baik untuk menyelesaikan ini! Kalau kami tidak menghargai Adelia, tak mungkin kami repot-repot datang ke sini. Lagi pula, Adelia juga sudah rela dimadu, bukan?"
Keluarga Adelia refleks mengalihkan pandangannya dengan tatapan penuh tanya.
"Benarkah itu, Nak?" tanya Aini dengan suara bergetar.
Adelia tertunduk, tidak berani membalas tatapan kedua orang tuanya. "Adel masih mencintai Mas Wisnu, Pak, Bu."
Jawaban itu lantas membuat Arwan terhenyak di kursinya. Helaan napas terdengar dari mulut pria berusia enam puluh lima tahun itu.
"Ya sudah, kalau itu mau Adelia ... kami tidak bisa apa-apa." Arwan dengan segenap kekuatan dan luka, turut menyetujui keinginan Adelia, meski keihklasan itu belum terlihat di wajahnya.
Tak lama setelahnya, Wisnu dan keluarga berpamitan. Ratna juga mengajak Adelia pulang, karena tak ingin wanita itu larut dalam nasihat besannya yang mungkin bisa menyadarkan kebodohan sang menantu.
Dengan hati terkoyak, Adelia pamit. Tangisnya pecah saat menatap wajah kedua orang tuanya. "Maafkan Adel, Pak, Bu, maafkan Adel ...."
Arwan menggenggam pundak Adelia erat, lalu mengelus rambut putrinya penuh kasih. "Jangan minta maaf, Nak. Kamu harus tegar. Bapak minta kamu harus kuat, meski dunia ini tak adil padamu."
Adelia menganggukkan kepalanya. Ia pun memeluk tubuh kedua orang tuanya seerat mungkin.
Dengan berat hati mereka pun melepaskan kepergian Adelia. Mata tua mereka hanya bisa memandang punggung rapuh Adelia dan berharap Tuhan mampu menguatkannya.
...***...
Pernikahan pun telah disepakati minggu depan. Tanpa ada resepsi mewah, atau banyak undangan. Wisnu hanya ingin mengadakan akad nikah di halaman rumahnya saja, demi menghindari mata dunia dan pergunjingan mereka.
Ratna dan Hariadi bahkan telah menemui keluarga mendiang Intan, om dan tantenya. Fakta bahwa orang tua Intan telah tiada membuat Ratna semakin bersimpati. Ia pun mengajak wanita muda itu untuk langsung tinggal di rumah sebelum hari pernikahan.
Sebuah kamar disiapkan Ratna khusus untuk Intan. "Untuk sementara kamu tidur di kamar ini ya, Sayang. Nanti setelah menikah, kamu pindah ke kamar Wisnu," ucapnya dengan nada penuh kasih, yang terdengar seperti pedang bagi Adelia.
Kemudian, dengan suara dingin, Ratna berkata, "Dan kamu, Adelia, segera pindahkan barang-barangmu ke kamar tamu. Kamu harus mengalah, Intan sedang hamil!"
Adelia hanya mengangguk, bibirnya bungkam. Intan yang sedikit merasa tak enak, mencoba menolak.
"Tidak perlu, Ma. Intan sudah nyaman tidur di kamar ini. Biarkan Mbak Adel tetap di sana."
"Jangan begitu Sayang, kamu, kan, sedang hamil. Belum nanti setelah melahirkan, bayi kalian butuh tempat yang luas dan nyaman. Benar begitu, Del?" Ratna melirik sinis Adelia.
"Benar." Jawab wanita itu seraya memamerkan senyum tipisnya. "Tidur lah di kamar itu bersama Mas Wisnu, Intan," sambungnya.
Intan akhirnya mengangguk dan berterima kasih pada Adelia.
Sesuai dengan yang diperintahkan Ratna, Adelia pun mulai memindahkan barang-barangnya sedikit demi sedikit ke kamar tamu yang lain.
Kamar tamu yang akan menjadi tempat baru Adelia sebenarnya merupakan ruangan bekas gudang yang sudah tidak terpakai.
Berbekal sebuah single bed, meja rias, dan lemari pakaian, Adelia menjadikan tempat tersebut cukup nyaman ditempati. Dengan dibantu salah seorang asisten rumah tangga, Adelia juga membeli sebuah meja dan televisi agar tidak bosan berada di kamar.
Melihat nasib sang majikan yang tersingkir, membuat asisten rumah tangga bernama Aminah itu turut prihatin. "Sabar ya, Bu. Kalau ada apa-apa Ibu bisa memanggil saya atau pun Desi. Kami pasti akan siap membantu Ibu," ujarnya.
"Terima kasih, Aminah," ucap Adelia.
Aminah mengangguk dan pamit setelahnya.
Sebenarnya bagi semua pekerja di rumah ini, hanya Adelia sajalah majikan paling baik dan paling menghargai mereka. Namun, uang menutup kepekaan hati sebagian besar dari mereka. Sebab, biar bagaimana pun, Ratna lah yang menggaji dan memiliki kuasa penuh.
...***********...
Sementara itu, di kamar, Intan sedang asyik berbincang dengan seseorang melalui sambungan teleponnya. "Semua berjalan baik, Tante. Adelia bahkan sudah menyingkir sendiri. Ibunya Mas Wisnu yang mengusirnya, hahaha!"
Tak seperti di depan Ratna dan keluarga, di belakang, Intan adalah seorang wanita muda licik dan manipulatif. Ia jelas membenci kehadiran Adelia dan berniat untuk menyingkirkannya perlahan-lahan.
Tak hanya itu saja, Intan pun berniat akan menyingkirkan orang tua Wisnu, yaitu dengan membuang mereka ke tempat yang cukup jauh agar bisa hidup berdua dengan pria itu. Sebab, ia sendiri enggan tinggal satu atap dengan mereka.
"Bagus! Pokoknya kamu harus bisa menaklukan hati Wisnu dan menguasai seluruh hartanya, Intan! Buat semua itu jatuh ke bayimu itu!" titah Mona, sang tante.
"Beres, Tan. Mereka itu hanya orang-orang bodoh dan tolol. Aku pasti mudah melancarkan rencana kita." Keduanya pun terus mengobrol selama beberapa saat, sebelum kemudian Intan memutuskan sambungan telepon, karena Ratna mengetuk pintu dan menyuruhnya untuk makan malam.
Senyum licik sekali lagi terbit di wajah cantik Intan. "Kau harus berguna untukku!" gumam wanita itu, sembari mengelus perutnya yang sudah terlihat membuncit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Wo Lee Meyce
si Adel perempuan bodoh,,makan tu cinta
2023-10-03
0
S
Perempuqn bodoh mmg harus d tempa spy lebih bs merasakan sakitnya spt apa jika tidak maka akan ttp bodoh.D madu bagi yqng kuat.klo tidak hanya akan memperpanjang rasa sakit diri sendiri apa namanya klo ga bodoh..Jd setelah ini jangan merasa d aniaya atau d zolimi.Mmg nyq keluarga kamu gak akan bela kamu nyatanya kamu lebih memilih d neraka.
2023-07-11
0