Poor Girl
Matahari tampak malu-malu menyembul dari sela-sela gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di tengah kota. Sinar keemasannya menyapu wajah-wajah yang bersemangat memulai hari. Di tengah hiruk pikuk ibu kota, orang-orang berlalu lalang dengan semangat, tak kalah cerah dari sinar mentari pagi itu.
Di sebuah sekolah menengah atas yang sedang ramai oleh murid-murid berseragam, seorang gadis duduk sendiri di bangku taman. Tatapannya kosong, namun matanya awas menelusuri sekeliling, mengamati lautan manusia yang berlalu-lalang. Seragam putih abu-abu melekat di tubuhnya seperti siswa-siswi lain. Tapi aura yang ia pancarkan berbeda. Tak sembarangan.
“Guys, guysss… lihat deh! Ternyata si pembuat onar bisa galau juga ya!” terdengar suara nyaring dari belakang, bernada mengejek.
Gadis itu menoleh sekilas. Raut wajahnya langsung berubah dingin saat melihat siapa yang datang. Seorang siswi dengan gaya sok dominan berjalan santai mendekatinya. Khayla, gadis di bangku itu, langsung berdiri. Ia hendak pergi, malas berurusan. Namun langkahnya terhenti ketika gadis tadi kembali berseru.
“Anak pelakor!” ejeknya keras, memancing perhatian beberapa siswa yang lewat.
Khayla menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan amarah. Ia membalikkan badan dan hendak melangkah menjauh.
“Aw!”
Belum sempat ia melangkah, rambutnya ditarik kasar dari belakang. Ikat rambutnya terlepas, dan helaian panjang rambutnya jatuh terurai.
“Mau ke mana sih? Buru-buru amat,” ucap si gadis tadi sambil tertawa mengejek.
“Diam!!” bentak Khayla dengan mata membara. Seketika, ia mendorong tubuh si gadis hingga terjatuh ke tanah.
“Aw! Sialan lo!” geram si gadis. “Gue aduin lo, ya!”
“Gue nggak takut,” sahut Khayla dingin. Ia segera memasang kembali earphone ke telinganya, membiarkan musik mengalun, menenggelamkan hiruk pikuk di sekitarnya. Hari ini mood-nya sudah benar-benar hancur. Ia ingin menghindari masalah, tapi masalah justru mendekatinya.
Anugerah Mikhayla. Itulah nama gadis itu. Ia berjalan menuju kelasnya tanpa peduli tatapan orang-orang. Sesampainya di sana, ruangan sudah ramai. Beberapa siswa menoleh saat Khayla masuk, tapi hanya sekilas. Selebihnya mereka kembali asyik dengan urusan masing-masing. Tak ada yang menyapanya.
Ia berjalan santai ke barisan paling belakang, ke kursi pojok yang menjadi tempat favoritnya. Namun langkahnya terhenti. Matanya menyipit, mengamati cairan bening mengkilap yang menempel di permukaan kursinya.
‘Apa itu?’ pikirnya curiga.
Dari ujung mata, ia bisa melihat seseorang mengawasinya dari kejauhan. Bukan hanya satu, beberapa siswi lain juga tampak pura-pura sibuk. Khayla tahu permainan macam ini. Ia terlalu terbiasa.
“Siapa?!” serunya lantang. Tapi tak seorang pun menjawab. Semua berpura-pura tidak mendengar.
“Diam bukan berarti kalian bisa seenaknya!” lanjutnya. Tatapannya mengarah tajam ke salah satu gadis yang terlihat gugup. Riva, sahabat dari gadis yang tadi ia dorong.
“Nggak usah sok galak. Kalau berani, sini lo!” tantang Khayla.
Riva berdiri dari kursinya, berjalan menghampiri. “Pintar juga lo. Iya, gue yang ngelakuin. Emang kenapa?”
Tanpa banyak bicara, Khayla langsung mencekik leher Riva. Gadis itu terkejut dan berusaha melepaskan diri.
“Akhhh… sa-kittt!” rintih Riva dengan wajah memerah.
Siswa lain buru-buru mendekat, mencoba melerai. Dengan susah payah, mereka akhirnya berhasil memisahkan keduanya.
“Lo gila ya!” bentak seorang siswa laki-laki, Reno. Tapi Khayla tak menggubris. Ia mengambil ranselnya dan melangkah keluar kelas, meninggalkan tatapan penuh kecemasan dari teman-temannya.
Tak lama, suara dari pengeras terdengar memenuhi sekolah:
“Diharapkan siswa bernama Anugerah Mikhayla segera menghadap ke ruang Kepala Sekolah sekarang juga.”
“Ciih… si botak itu lagi,” gumam Khayla kesal.
“Siapa yang kamu sebut botak?” suara berat menyahut dari belakang.
Khayla menoleh malas. Seorang guru berdiri menatapnya dengan alis terangkat.
“Bukan lo!” jawab Khayla sinis.
“Masuk ke kelasmu!” perintah pria itu, namun Khayla hanya berjalan pergi.
“Mau ke mana kamu?” suara pria itu kembali terdengar.
“Ruang Kepsek,” jawab Khayla tanpa menoleh, terus berjalan menjauh.
⸻
Sementara itu, di kelas, suasana yang semula tenang berubah riuh.
"siapa tuh, tampan banget" terdengar bisik-bisik para siswi di bangku mereka dengan tatapan antusias.
Sesosok pria muda dengan kemeja putih pas badan masuk bersama wali kelas mereka. Wajahnya tampan, tubuhnya tegap, dan senyum kecilnya sukses membuat para siswi histeris.
“Siapa itu?”
“Murid baru?”
“Nggak mungkin, dia keliatan dewasa banget. Pasti guru baru!”
“Segitu doang dibilang ganteng? Gue lebih ganteng!” celetuk salah satu siswa laki-laki.
“Wuuuuu! Bercermin dulu sono!” balas para siswi serempak.
“Anak-anak, tenang dulu,” suara Bu Eny menghentikan kegaduhan. Semua segera diam.
“Perkenalkan, ini Pak Bara. Mulai sekarang beliau yang akan menggantikan Ibu sebagai wali kelas kalian.”
“WAHHH!! SERIUS, BUU??!” Para siswi bersorak gembira, sementara para cowok tampak lesu.
“Iya, benar,” Bu Eny mengangguk sambil tersenyum.
“Lho, kenapa digantiin? Kita senang kok Ibu yang jadi wali kelas,” protes seorang siswa laki-laki.
“Tenang saja, Ibu hanya pindah tugas mengikuti suami. Tapi Ibu yakin kalian akan senang juga dengan wali kelas baru kalian.”
Senyum haru terpancar dari wajah Bu Eny. Beberapa siswi terlihat menahan tangis.
“Kalau tidak ada lagi yang ingin ditanyakan, Ibu pamit. Sampai jumpa lain waktu, anak-anak.”
Para siswa satu per satu menghampiri Bu Eny. Mereka memeluknya, mengucapkan terima kasih, dan selamat tinggal. Suasana menjadi syahdu, penuh haru.
Di tengah suasana itu, Pak Bara hanya diam, memperhatikan. Senyumnya tenang. Ia merasa kelas ini tak seburuk yang dikatakan orang-orang.
Setelah Bu Eny pergi, Pak Bara meminta para siswa memperkenalkan diri satu per satu. Barisan demi barisan memperkenalkan nama mereka. Hingga tinggal dua kursi di pojok belakang yang kosong.
“Masih ada dua siswa lagi yang belum memperkenalkan diri,” ujar Pak Bara sambil memeriksa absen. “Keno dan… Anugerah Mikhayla.”
“Keno belum masuk dari tadi, Pak. Nggak ada kabarnya,” sahut salah satu siswa.
“Kalau Khayla, tadi dia keluar kelas. Kayaknya pulang,” tambah yang lain.
Pak Bara mengernyit. “Pulang? Apakah dia sakit?”
“Nggak, Pak. Saya rasa dia punya kelainan,” celetuk Riva dengan nada sok prihatin.
"kelainan?"
“Iya, Pak. Tadi dia sempat mencekik saya,” tambah Riva sambil pura-pura sedih. “Dan yang dia dorong pagi tadi itu… anak dari pemilik sekolah.”
Pak Bara hanya mengangguk pelan. Belum sempat ia berbicara lagi, pintu kelas mendadak terbuka kasar.
Seorang gadis masuk dengan langkah santai dan tatapan dingin. Ia langsung berjalan ke kursinya yang satunya bebas dari cairan lem dan duduk seolah tak terjadi apa-apa.
Ia adalah Khayla.
Dengan santai ia memasang earphone, memutar musik keras-keras, dan mulai memainkan ponselnya. Ia bahkan tak menyadari siapa pria yang berdiri di depan kelas.
Pak Bara mengamati dalam diam.
Senyumnya pudar perlahan.
TO BE CONTINUED…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments