Malam harinya, Mas Radit pamit keluar, ia akan pergi ke rumah Pak Rt, karena katanya ada beberapa berkas yang harus ia urus dengan segera di sana, karena besok pagi ia akan mulai masuk ke sekolah dasar, dan katanya lagi, ada salah satu guru yang sedang menunggu diri nya di rumah Pak RT, guru yang akan memberikan Mas Radit beberapa masukkan dan penjelasan mengenai sekolah baru yang akan Mas Radit pimpin.
Aku di rumah dengan di temani putra semata wayang ku, putra ku yang baru menginjak usia lima tahun. Namanya Aqeel, anakku tumbuh sehat dengan tubuh nya yang bongsor dan pipi nya yang chubby. Aqeel sungguh menggemaskan, membuat aku ingin terus menciumi nya. Tadi sebelum Mas Radit berangkat, aku sudah berpesan kepadanya agar ia tidak lama di rumah Pak Rt. Mas Radit pun mengatakan kalau semua urusannya sudah selesai, maka dirinya akan segera pulang.
"Sayang, mainannya Mama bereskan sekarang, ya. Aqeel udahan dulu mainnya, setelah ini Aqeel bobok, karena sekarang udah jam sembilan malam, sudah waktu anak Mama bobok." Kataku lembut seraya mengelus pucuk kepala putraku dengan penuh kasih sayang.
"Iya, Ma." Aqeel menyahut ucapan ku seraya mengangguk kecil.
Aku dan Aqeel duduk di atas tikar di ruang keluarga yang tak terlalu besar. Aqeel begitu asyik dengan mainan robot-robotan dan mobil-mobilannya, sedangkan aku begitu asyik menonton televisi. Di rumah yang baru kami tempati ini, kami membawa sebuah televisi berukuran sedang sebagai hiburan untuk kami selama kami berada di rumah. Untungnya di desa ini listrik sudah masuk, jadi, kami tidak merasa begitu kesepian di rumah, karena ada televisi dan ponsel sebagai hiburan.
Aku memasukkan satu persatu mainan Aqeel ke dalam keranjang khusus tempat menaruh mainan. Aqeel membantu aku memasukkan mainan ke dalam keranjang, ah ... putranya memang anak yang pintar.
Mas Radit masih belum pulang, jujur, hanya tinggal berdua bersama putra ku di rumah yang masih terasa asing ini membuat aku sedikit takut, apalagi di samping kiri kanannya tidak ada tetangga sama sekali.
Saat mainan Aqeel sudah selesai kami masukkan ke dalam keranjang, kami ingin beranjak menuju tempat tidur, tapi tiba-tiba saja listrik padam, dan semua lampu yang ada di rumah kami tak ada yang menyala, hal itu membuat aku dan Aqeel kaget, bahkan Aqeel berteriak kecil untuk mengekspresikan ketakutan nya. Aku merasa begitu panik, apakah di desa ini memang sering terjadi pemadaman listrik? pikirku bertanya-tanya di dalam hati.
Aku berjalan dengan langkah kaki pelan, dengan Aqeel berada di gendongan aku, pelukan Aqeel terasa kuat mencengkram tubuh ku. Aku berjalan meraba-raba menuju rak televisi, karena tadi aku meletakkan ponsel ku di atas rak televisi. Aku ingin mengambil ponsel untuk membantu sebagai alat penerang, selain itu karena aku ingin menghubungi Mas Radit. Aku sungguh merasa takut sekarang, apalagi tiba-tiba suara pintu belakang terdengar terbuka. Aku merasa gemetaran. Tapi karena mengingat putra ku yang tengah aku gendong, aku tetap berusaha untuk menghalau rasa takut itu, sebagai seorang ibu, aku harus bisa melindungi putra ku dalam kondisi dan situasi apapun.
Setelah meraba-raba ponsel ku di atas rak televisi, akhirnya aku menemukan benda pipih milikku itu. Aku menyalakan nya dengan cepat, dan suara pintu belakang masih terdengar di buka tutup dengan keras. Siapa pelakunya? Terkena hembusan angin kah? Tapi itu sungguh tak mungkin, karena sore tadi aku sudah mengunci pintu itu dengan baik.
Tiba-tiba aku jadi kepikiran sama rumah besar yang berada tepat di sebelah rumah yang kami tempati sekarang, entahlah, aku merasa ada sesuatu di rumah itu. Sesuatu yang tidak tahu apa.
Aku membawa Aqeel memasuki kamar, aku sungguh tak peduli dengan suara pintu belakang. Yang aku inginkan sekarang adalah aku segera tiba di kamar, lalu aku akan mengunci diri ku dan Aqeel di dalam kamar, sungguh suasana terasa begitu mencekam menurut ku. Apalagi suara desauan dedaunan yang terkena hembusan angin di luar begitu jelas terdengar, membuat aku merasa semakin ketakutan.
Untungnya tidak ada gangguan yang berarti saat aku berjalan menuju kamar, setelah sampai di dalam kamar, aku menguncinya cepat dari dalam, lalu aku dan Aqeel berbaring di atas tempat tidur, tidak lupa aku menyelimuti tubuhku dan Aqeel dengan selimut tebal. Aqeel masih setia memeluk tubuh ku.
Jari-jari ku bergerak lincah di atas layar ponsel, aku mencari kontak suami ku, entahlah rasanya begitu sulit bagi ku untuk menemukan kontak suamiku, biasanya tidak begini, mungkin karena kini aku melakukan nya dalam keadaan takut dan tangan gemetar.
"Aqeel bisa baca ayat pendek, 'kan?'' tanyaku berusaha mengusir rasa takutku.
''Bisa, Ma. Aqeel bisa baca surah Al Fatihah, Al ikhlas, An-Nas dan Al Falaq.'' Jawab Aqeel dengan suara yang begitu lirih. Ia menenggelamkan wajah nya di dadaku.
''Ya udah, Aqeel baca surah-surah itu, ya, Nak. Jangan sampai putus.'' Pinta ku lembut. Derajat manusia lebih tinggi dari mahluk apapun di muka bumi ini, jadi aku tidak boleh lemah dan takut. Aku harus berusaha untuk melawan gangguan yang datang kepada kami.
''Iya, Ma.'' Jawab Aqeel.
Setelah beberapa saat akhirnya aku berhasil menghubungi suamiku, satu kali panggilan tidak terangkat, dua kali panggilan pun tetap tidak di angkat, hingga panggilan ketiga, aku bernafas lega, karena suamiku mengangkat panggilan dari ku.
"Hallo Mas,'' ucapku cepat dengan tarikan nafas terasa berat. Sungguh aku sudah tidak sabar lagi ingin menceritakan kepada suamiku kalau rumah yang kami tempati sekarang ada yang tidak beres.
''Kamu, kamu adalah wanita yang telah aku pilih untuk menemani aku selanjutnya. Kikikikikik ....," aku menjatuhkan ponsel yang ada di pegangan ku dengan begitu saja saat aku mendengar suara serak dan berat yang menjawab ucapan ku. Kemana Mas Radit? Kenapa malah orang lain yang menjawab panggilan dari ku. Dan tadi itu siapa? Aku benar-benar takut, aku mohon jangan ganggu aku, aku hanya ingin hidup dengan tenang. Suara lengkingan tadi telah berhasil membuat jantung ku berdetak lebih cepat, dan juga, aku merasa air mata telah keluar dari mataku. Aku mendengar Aqeel masih tetap membaca ayat pendek dengan pasih dengan suaranya yang lirih. Akupun ikutan membaca ayat-ayat pendek dengan mata aku pejamkan, sungguh aku tidak ingin melihat penampakan apapun di rumah ini. Aku juga meminta agar putra ku juga menutup matanya, karena terkadang karena mata, kita bisa binasa.
Tidak lama setelah itu, aku merasa selimut yang menutupi tubuh kami ada yang menarik nya, aku pun tidak mau kalah, aku juga ikut menarik selimut dengan tetap membaca ayat-ayat pendek. Kita lihat, siapa yang menyerah, aku atau kamu mahluk menyedihkan.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments