Sekembalinya dari liburan ‘bulan madu’ singkat, pagi-pagi Izzar kembali menanyakan Anaya soal rumah kontrakan untuk tempat mereka tinggal sementara.
“Aku lupa!” Anaya mengaduk cepat teh chamomilenya, menutupi rasa salahnya.
Izzar menarik nafasnya. Hal itu membuat harum teh yang dibuat Anaya menyergap hidungnya. Izzar teringat mamanya. Perempuan lembut itu juga menyukai teh chamomile, dan hampir setiap pagi meminumnya. Jika ia ada di dekatnya, mamanya akan membuatkannya juga tanpa diminta. Beda dengan Anaya, yang menawarkan saja tidak.
“Kamu kan bilang mau bantu carikan?”
“Iya."
“Ya, carilah!” Anaya meninggalkan Izzar di meja makan sambil membawa teh nya ke teras belakang rumah.
Izzar mengikuti Anaya, pembicaraan mereka belum selesai. Ada hal lain yang sebenarnya harus dibahas terkait dengan persiapan proses renovasi rumah Anaya, bukan hanya masalah sewa rumah untuk tempat tinggal sementara, tetapi juga tentang barang-barang yang harus dipindahkan, dan kapan semua itu akan mulai dilaksanakan. Sebab, Izzar juga harus mempersiapkan pekerja-pekerja dan mobilisasi peralatan dan bahan material.
“Aku akan bantu carikan rumah sewa, tapi kamu kasih tahu maunya yang kayak gimana, di daerah mana, budget berapa. Lalu juga, barang-barang perabot di rumah ini mana saja yang bisa dipindahkan? Kulihat ada beberapa yang sudah rusak, mau sekalian diperbaiki atau –”
“Terserah kamu saja. Aku lagi sibuk!” Anaya menggerakkan mouse laptopnya yang sedari tadi terbuka di atas meja, tanpa sedikit pun menoleh pada Izzar.
Nurani Izzar membujuk dirinya untuk bersabar menghadapi Anaya. Anggap saja sedang berhadapan dengan Sabrina, adiknya, yang memang sering menyebalkan.
“Kamu saja yang urus, kan kamu sudah kubayar?!” sambung Anaya lagi, judes.
Kalimat terakhir Anaya menggores hati Izzar. Jadi, mentang-mentang Anaya membayar dirinya, maka ia tak mau segala urusan dan begitu ketus kepada dirinya?
Sambil menahan jengkel, Izzar pergi meninggalkan Anaya dan rumah. Ia mengemudikan mobilnya tanpa tujuan. Ia hanya ingin berada jauh dari Anaya, sebab ia tidak mau sikap tak bersahabat wanita itu memancing emosinya.
Setengah jam berputar tak tentu arah, Randi menelefon Izzar dan mengajaknya bertemu di sebuah kafe. Ia sedang bersama teman-temannya yang sedang membutuhkan arsitek. Izzar langsung mengiyakan dan memutar jalur perjalanan yang semula tidak bertujuan.
Randi mengenalkan dua orang rekan lelakinya yang berencana akan membangun restoran dan memerlukan jasanya. Mereka berbincang lama, yang pada akhirnya sepakat untuk menggunakan jasa Izzar.
“Alhamdulillah! Rezeki pengantin baru ya, Zar!” ledek Randi setelah kedua rekannya pergi.
Izzar tersenyum. Dalam hati ia bersyukur, setelah proyek pertama yang diberikan Anaya, orang lain mulai mempercayakan pekerjaan kepada dirinya lagi.
“Kapan renovasi rumah Anaya dimulai?” tanya Randi.
“Aku sih maunya secepatnya. Tapi, dia belum dapat rumah sewa untuk tempat tinggal.” Izzar menyesap kopinya.
“Ngapain sewa? Kenapa ngga tinggal di rumahmu saja?” tanya Randi heran.
Izzar sedikit terkejut dengan pertanyaan Randi. Ya, sudah pasti akan menimbulkan keheranan bagi orang lain jika Anaya menyewa rumah lagi, sementara Izzar memiliki rumah sendiri. Mereka kan pasangan suami isteri.
“Rumahku kecil. Sedangkan barang-barang dan perabotan Anaya banyak.”
“Perabotan Anaya pindahkan saja di gudangku, sekarang sedang kosong. Setahuku banyak perabotan dia yang sudah rusak juga. Tapi, hampir semua barang-barang antik itu, peninggalan dari orang tuanya. Biar nanti kutawarkan supaya dijual saja. Ngga pantas kalian pakai perabotan jadul.” Randi tertawa.
Izzar tak berani berkomentar.
“Sudahlah, kamu ajak saja Anaya dan Naira pindah ke rumahmu. Cuma sementara saja, kan?”
“Kalau Anaya ngga mau bagaimana?”
Randi menertawakan jawaban Izzar.
“Kamu kan suaminya! Tunjukkanlah kalau kamu juga punya power untuk mengambil keputusan di keluarga kalian!”
Izzar menahan tersipunya.
“Aku tahu, Anaya keras kepala dan sering bersikap seolah dia yang berhak paling berkuasa. Tapi, dia terbawa kondisi saja karena sejak ayahnya meninggal, dia bekerja keras sendirian meskipun sebenarnya warisannya banyak. Ditambah lagi Si Ridwan itu pemalas, dan cenderung memanfaatkan kelebihannya mencari uang," tutur Ridwan.
"Padahal, Anaya itu sebenarnya tipe perempuan yang menyukai pekerjaan domestik. Kamu sudah mencoba hasil masakannya? Enak banget kan?” sambung Ridwan bertanya.
Izzar tersenyum. Ia bingung menjawab apa. Sesuai perjanjian kontrak nikahnya, memasakkan Izzar makanan bukanlah kewajiban Anaya.
“Aku ikut senang kamu sudah mulai mendapatkan proyek lagi. Kalau sudah banyak lagi uangmu, suruh Anaya berhenti bekerja full time. Dia pasti tidak akan keberatan, jika semua kebutuhan rumah tangga dan dirinya sudah terpenuhi semua oleh suaminya,” ujar Randi.
Tangan Izzar menggaruk kepalanya meski tak ada rasa gatal. Lalu, ia menyeruput kopinya. Ia meresapi semua perkataan Randi yang secara tak langsung menyebutkan titik lemah Anaya. Mungkin informasi Randi ini bisa ia gunakan untuk meredam keangkuhan Anaya. Ya, meskipun pernikahan mereka hanya sementara, Izzar tak mau hidup bersama dengan kekakuan dan arogansi Anaya.
Izzar kembali ke rumah Anaya menjelang sore. Ia menurunkan boks-boks plastik container dan lembaran-lembaran kardus besar.
“Buat apa ini semua?” Anaya bingung.
“Mengepak barang-barangmu, Naira dan Mba Kemi, yang penting dan berharga saja. Dua hari lagi kita pindah. Barang-barang besar dan perabotan mulai besok akan dicicil dipindahkan sementara ke gudangnya Randi.”
“Kok, ngga bilang dulu kalau mau dipindahkan ke tempat Randi?” Anaya merengut.
“Tadi pagi kan, kamu sendiri yang nyuruh aku mengurus semuanya? Sekarang, sudah mulai kuurus, kok diprotes?” Izzar membalikkan ucapan Anaya.
Anaya terdiam memperhatikan Izzar menggotong boks-boks plastiknya ke ruang tengah.
“Sudah dapat rumah untuk kita pindah?” tanya Anaya setelah Izzar selesai dengan pekerjaannya.
“Sudah.” Izzar mengambil gelas di pantry dan mengisinya dengan air dispenser.
“Dimana?”
“Rumahku,” jawab Izzar sehabis meneguk air minumnya.
“Hah?! Kenapa rumahmu?!” Anaya terkejut.
“Kalau kamu menyewa rumah lain sementara aku punya rumah walaupun sederhana, apakah Ridwan ngga akan curiga nanti? Randi saja mempertanyakannya tadi.”
Anaya menghela nafas panjang. Ia lupa, keputusannya mengelabui Ridwan dengan pernikahan palsunya, membawa banyak konsekuensi.
“Berapa harga sewanya?” tanya Anaya.
“Sewa apa?” Izzar menatap wajah Anaya bingung.
“Rumahmu!” Suara Anaya meninggi.
“Aku ngga bilang kamu harus membayar sewa.”
“Tapi, aku tetap akan bayar!” Anaya bergegas ke kamarnya.
“Ngga usah, Anaya!” seru Izzar.
Tapi, Anaya kepala batu. Ia kembali dan meletakkan amplop tebal berisi uang di hadapan Izzar, entah berapa.
“Ini untuk bayar sewa rumahmu!”
Izzar terperangah. Sedetik kemudian kepalanya tergeleng.
“Ambil, Zar!” Anaya memaksa.
Rasa kesal Izzar yang sudah mengilang, kembali lagi. Ia sama sekali tidak memikirkan soal sewa ketika memutuskan rumahnya jadi tempat tinggal sementara Anaya. Yang melintas di hatinya hanyalah mau tak mau Anaya dan Naira menjadi tanggung jawabnya meskipun pernikahannya dengan Anaya hanya di atas kertas saja.
Tanpa kata, Izzar memandang amplop uang Anaya. Ia teringat ucapan Randi tentang sikap Anaya yang keras kepala, dan saran untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah lelaki yamg sepantasnya memiliki kendali di keluarga ini.
Izzar meneguk habis isi gelasnya dan kemudian meninggalkan Anaya, masuk ke kamar dan menutupnya. Ia tak mau Anaya terus-menerus “membeli” harga dirinya.
Anaya tertegun dengan tindakan Izzar yang mengabaikannya dan tidak menyentuh uangnya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
lilis herawati
agak rese jg anaya ni...
2023-04-11
0
Flo-She
Ciye izzar pengantin baru si anaya
2023-04-07
1
al-del
aku kok ggl paham di sini Thor.
2023-04-04
0