Reagen yang baru saja turun dari mobilnya memilih diam di tempat setelah mendapati sosok seorang gadis yang baru-baru ini dipacarinya sedang berjalan masuk ke dalam gedung sekolah.
Zenaya tampak bahagia. Aura wajahnya yang terlihat berseri-seri itu justru membuat Reagen merasa sangat muak.
Andai saja ia tidak dijebak oleh ketiga teman brengseknya, Reagen pasti tidak akan sudi memacari gadis yang telah menjadi syarat taruhan mereka.
Reagen bisa saja menolak keras permainan itu kalau saja Leon tidak dengan culas merebut salah satu kunci mobil kesayangannya dan menyita benda tersebut.
"Cuma satu bulan, Rey. Mobil ini akan kembali kalau kau berhasil mengambil hati Zenaya dalam waktu satu bulan! Curi satu ciuman darinya dan kau akan menang!" ujar Leon saat itu.
"Brengsek!" umpat Reagen. Meski bergelimang harta, ia tidak mungkin mengabaikan mobil mewah pemberian ayahnya yang kini sedang berada di luar negeri.
Kekesalan Reagen semakin menjadi-jadi saat mengetahui bahwa Zenaya ternyata salah satu gadis yang tergila-gila padanya, padahal saat itu Leon pikir Zenaya bukan bagian dari gadis-gadis pemujanya.
Reagen mengetahui hal tersebut dari perbincangan para gadis di kelasnya. Zenaya bahkan menaruh perasaan padanya sejak duduk di kelas satu.
Reagen tak bisa bersandiwara lebih lama lagi. Ia bertekad menjauhi Zenaya, apa lagi semua syarat yang diberikan temannya telah berhasil dilaksanakan, jadi tak ada salahnya jika ia mengakhiri hubungan ini tanpa menunggu persetujuan mereka.
"Loh, sendirian aja nih? Biasanya ditemani pangeran tampanmu itu!" ujar salah satu siswi pada Zenaya.
"Rey sudah mulai bosan kali!" Tawa sinis terdengar dari salah seorang siswi lain. Dengan kurang ajar siswi tersebut mengelus rambut panjang Zenaya dan menghempaskannya kasar.
"Menjijikan!" umpatnya sebelum pergi meninggalkan Zenaya.
Zenaya terdiam sejenak sebelum kemudian melanjutkan langkahnya menuju kelas.
...***...
Zenaya lagi-lagi mengembuskan napasnya dengan raut gelisah. Isi kepalanya kini sedang penuh memikirkan Reagen yang terasa semakin berjarak setelah tidak lagi berangkat dan pulang sekolah bersama.
Reagen bahkan tidak lagi repot-repot menemaninya saat jam istirahat atau mengajaknya berlatih basket. Satu-satunya komunikasi yang masih mereka lakukan hanyalah melalui pesan singkat saja.
Zenaya semula tidak ingin mempermasalahkan sikap Reagen, tetapi cemoohan para gadis yang menyadari kerenggangan hubungan mereka membuat Zenaya memberanikan diri untuk bertanya pada sang kekasih keesokan harinya.
...***...
Suara riuh para penonton menggema memenuhi lapangan basket. Para gadis berteriak menyemangati masing-masing pemain kesayangan mereka yang akan berlaga kali ini, dan nama Reagan lah yang paling banyak dielu-elukan dari tribun penonton.
Suasana ceria tersebut berbanding terbalik dengan Zenaya yang terlihat murung dan kurang bersemangat.
"Ada apa, Zen? Biasanya kamu semangat banget menonton Rey bertanding." Grace menyenggol bahu Zenaya agak keras.
"Tidak apa-apa, aku cuma sedikit gugup," kilah Zenaya yang enggan membuat ketiga sahabatnya khawatir.
"Tenang saja, tim kita pasti akan menang lagi. Kan, ada Rey!" timpal Alice dengan raut menggoda.
Zenaya tersenyum kaku.
Sepanjang pertandingan gadis itu berusaha menikmati permainan basket terbaik Reagen. Namun, pikiran-pikiran tak nyaman tetap saja enggan pergi dari benaknya. Terlebih, ketika Reagen untuk kesekian kalinya membuang muka saat mata mereka tanpa sengaja bertatapan.
Tanpa terasa pertandingan pun berakhir dengan kemenangan sekolah mereka selama empat kali berturut-turut.
"Kami duluan ya, Zen!" Emily, Grace, dan Alice melambaikan tangannya pada Zenaya. Gadis itu meminta ketiga sahabatnya untuk pulang duluan karena akan menemui Reagen di ruang ganti.
Zenaya membalas lambaian tangan mereka sebelum kemudian pergi menyusuri koridor menuju ruang ganti para pemain.
"Selamat ya, Rey." Langkah Zenaya sontak terhenti ketika mendengar suara seorang gadis tengah menyebut nama Reagen.
"Terima kasih."
Di ujung koridor, tepatnya di depan ruang ganti, Reagen terlihat sedang berdiri bersama Natalie. Lelaki itu rupanya telah selesai berganti pakaian dan hendak pergi bersama Natalie.
Hati Zenaya terasa kebas saat Natalie dengan penuh perhatian merapikan helaian rambut Reagen, dan juga membantunya menggulung lengan kemeja lelaki itu sampai siku.
Dilihat dari sisi mana pun, keduanya memang tampak sangat serasi. Reagen yang tampan bersanding dengan Natalie yang cantik dan anggun. Reagen juga tidak pernah keberatan dengan sikap penuh perhatian yang Natalie tunjukkan.
Sebisa mungkin Zenaya menahan air matanya. Keinginan untuk menemui Reagen menguap seketika. Ia tidak lagi membutuhkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya selama ini. Pemandangan barusan sudah cukup memberi Zenaya jawaban.
Zenaya melangkah pergi. Namun, sebuah suara merdu memanggil namanya.
"Zen!" panggil Natalie.
Zenaya sontak menghentikan langkahnya dan tersenyum menatap Natalie.
"Benar Zen ternyata!" sahut Natalie yang berhasil menyusul Zenaya.
"Halo, Natalie," sapa Zenaya dengan nada biasa.
"Mau menemui Rey, ya?" tanya Natalie tanpa basa-basi.
"Ah, aku hanya sedang mencari toilet," jawab Zenaya berbohong.
"Oh, begitu." Natalie menoleh ke arah Reagen yang berdiri tidak jauh dari mereka. "Lain kali saja ya, Rey? Lebih baik kamu antar Zenaya pulang dulu," pinta gadis itu.
"Eh, jangan! Aku bisa pulang sendiri, kok!" Zenaya yang merasa tidak enak hati dengan cepat menolak permintaan Natalie.
Natalie terdiam sejenak. "Kalau begitu kita makan malam bersama saja. Reagen mengajakku makan di salah satu restoran langganan kami. Kamu ikut ya, Zen?" Gadis itu menatap Zenaya dengan pandangan memohon, begitu pun saat menatap Reagen.
"Terserah saja!" jawab Reagen sembari berjalan meninggalkan kedua gadis itu.
Natalie tersenyum senang. Tanpa menunggu persetujuan Zenaya, ia pun menarik tangannya dan menyusul Reagen.
Zenaya hanya bisa terdiam saat Natalie memilih duduk di sebelah Reagen di dalam mobil. Lelaki itu sama sekali tidak meminta dirinya, yang notabene sang kekasih, untuk duduk bersama. Alhasil, ia pun harus duduk di kursi belakang bersama setumpuk peralatan dan tas Reagen.
Zenaya benar-benar menyesal ikut makan malam dengan kedua orang itu. Pasalnya, Zenaya merasa seperti pengganggu yang hadir di tengah-tengah kencan sepasang kekasih, padahal jelas-jelas ia lah kekasih Reagen saat ini.
Belum lagi sikap Reagen yang sangat dingin padanya. Jika Natalie tidak menyuruh lelaki itu bicara, Reagen pasti tidak akan melibatkan dirinya dalam pembicaraan ringan mereka.
Hati Zenaya terkoyak. Tidak ingin tersiksa lebih lama ia pun memutuskan untuk pamit pulang terlebih dahulu.
"Kamu pulang bareng Rey saja ya, Zen. Kebetulan rumah kalian searah dan aku tidak," ucap Natalie.
Zenaya sontak menolak keras. "Aku akan naik taksi saja. Kebetulan aku ingin mampir ke suatu tempat dulu." Zenaya berdusta.
"Ah, begitu rupanya. Baiklah, sampai jumpa besok ya, Zen," sahut Natalie sambil melambaikan tangannya. Sementara Reagen sama sekali tidak bersuara.
Zenaya mengangguk dan pergi meninggalkan mereka berdua.
Diam-diam Natalie menarik sudut bibirnya sedikit.
Rasakan itu!
Begitu masuk ke dalam taksi, Zenaya tidak bisa lagi memendam kesedihannya. Ia menangis tersedu-sedu saat mengingat sikap Reagen.
Entah apa salahnya, hingga membuat lelaki itu berubah drastis. Zenaya bahkan menganggap sikap Reagen kemarin-kemarin seperti mimpi belaka.
"Aku salah apa?" gumam Zenaya terisak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
@ᵃˢʳʏ ᵛᵃʳᴍᴇʟʟᴏᴡ🐬
hhmmm mngkin krna trllu senng jdi dirimu tidak berfikir sehat,,saking trllu percya ya gni jadi.a🤨
2022-05-28
4
Senajudifa
mampir sambil nyicil
2022-05-25
1
HiaTus
baru juga mau baca, si bocil udah ngerusuh aja 😅😅 maap kak kim, nnti d lnjut
2022-04-25
1