Fokus pada kelebihan, bukan pada kekurangan.
Mungkin saat ini Arumi sedang berusaha melakukannya. Pada perhelatan Kampus, Arumi antusias mengambil pojok ruangan di GSG yang sudah di skat-skat untuk acara pameran pada perhelatan kampus. Ruangan berukuran 3x3 m itu akan Arumi sulap menjadi galeri seni. Di dalamnya akan berisi lukisan Arumi dan ibunya. Tajuk galeri adalah Ibu dan putrinya.
Semula Arumi sempat ragu untuk turut serta pada perhelatan tersebut. Namun Vanya berhasil meyakinkannya sehingga Arumi pun kembali menguatkan hati dan mengibarkan bendera perang. Perang...? Mengapa? Karena saat ini adalah kesempatan Arumi untuk membuktikan sisi positifnya bukan negatifnya. Sisi kelebihannya bukan kekurangannya.
Selama sepekan Arumi dan Vanya mempersiapkan segala sesuatunya. Bukan perkara mudah untuk melakukannya, namun keduanya terus bersemangat demi sebuah tujuan.
"Yakin yang dipajang itu hasil karya mu..?" ucap Shereen menatap sinis beberapa lukisan yang tergantung.
Kata-kata Shereen membuat Arumi dan Vanya terdiam. Keduanya saling menatap. Di kepala keduanya tampak berseliweran sebuah ide untuk menjawab ketidakyakinan Shereen. Mungkin juga bisa jadi pernyataan tersebut mewakili pertanyaan dari sekian pihak mengingat Arumi belum pernah menunjukkan kemampuannya tersebut.
"Aku setuju dengan Shereen. Tapi aku tidak mencibir mu. Aku lebih pada penasaran. Kalau boleh, aku ingin membantumu di galeri. Aku ingin membuktikan kemampuan mu secara dekat" ucap Arya yang berdiri tak jauh dari Shereen. Laki-laki jangkung itu tampak menyunggingkan senyum tipis di ujung bibirnya.
"Deal..."
🌸🌸🌸🌸🌸
"Bagaimana persiapan perhelatan kampus, El?" tanya Mirza sambil duduk di kursi kebesarannya. Sementara tangan dan matanya tetap fokus pada berkas-berkas yang berserakan di meja.
"Em, sudah siap sembilan puluh persen. Esok saat pelaksanaan moga menjadi maksimal"
"Berapa persen keterlibatan mahasiswa"
"tiga puluh persen peserta, dua persen panitia, sisanya partisipan aktif. Em, Arumi juga turut ambil bagian"
"Oya...?" ucap Mirza yang langsung menghentikan aktifitasnya. Ia tampak sedikit penasaran. Mirza duduk bersandar. Matanya menatap Elvano menanti penjelasan lebih lanjut. Melihat reaksi sahabatnya, Elvano melanjutkan perbincangan tentang Arumi.
"Arumi membuka galeri lukis..."
"Lukis...?"
"Ya. Rupanya gadis itu pandai melukis. Dan saat ini ia memilih untuk menunjukkannya. Ia mulai berubah. Kau hebat, Za..."
"Aku...?
"Ya. Aku yakin dia berubah karena mu. Karena semua terjadi setelah tantangan itu muncul..."
"Ya, aku tahu. Tapi sayangnya, aku tak berminat sedikitpun kepadanya.
"Yakin? Jika begitu biar aku yang mendekatinya"
"Jadi benar kau menyukainya, El?"
"Aku simpati padanya. Walau saat ini aku belum mencintai nya, tapi aku yakin dengan melihatnya berusaha dan berjuang seperti itu siapa saja bisa jatuh cinta. Termasuk aku. Entah jika dirimu?"
"Egh..." Mirza terdiam. Hatinya tertohok. Kepalanya terangkat dengan mata yang menatap Elvano.
"Oya, jika memang dia sudah sejauh itu, maka tolong jauhkan mama dan papa dari galerinya esok hari"
"Kenapa? Kau takut tuan dan Nyonya tahu kelebihan Arumi?"
"Sial kau El. Ada apa dengan mu?!"
"Justru aku yang bertanya. Ada apa dengan mu? Kau egois, Za..."
Elvano berdiri. Matanya menatap Mirza. Sesekali ia menghela nafas.
"Jika kau ingin menjauhkan Tuan dan Nyonya dari galeri Arumi, ku rasa kau terlambat. Karena keduanya sudah mengetahuinya. Bahkan sebelum aku mengetahuinya..."
Mirza terdiam. Matanya menatap punggung Elvano hingga menghilang di balik pintu. Mirza menyandarkan tubuhnya pada kursi kebesarannya. Ia tahu jika sahabatnya itu tengah kesal padanya.
Drrt.
Drrt.
Drrt.
Ponsel Mirza berpendar. Senyumnya seketika terbit dari ujung bibirnya. "Ya, sayang..." ucap Mirza pembuka perbincangan bersama kekasihnya, Andrea.
🌸🌸🌸🌸🌸
Keesokan harinya. Pukul sembilan lewat lima menit. Perhelatan Kampus pun digelar. Arumi dan Vanya telah bersiap menerima pengunjung. Di sudut ruangan pun telah tersedia kanvas dan cat sebagai bahan persiapan Arumi saat demonstrasi melukis nanti. Hal ini adalah sebagai pembuktian bahwa Arumi benar-benar mempunyai kemampuan melukis.
Selain itu, souvernir yang diperuntukkan bagi setiap pengunjung galeri pun telah siap dan tertata apik. Hal ini yang membedakan galeri Arumi dengan galeri lainnya. Dan hal tersebut telah berhasil. Galerinya memanglah berbeda.
Pukul sembilan lewat lima belas menit. Galeri Arumi mulai ramai dikunjungi. Vanya dan Arya begitu sibuk menyapa ataupun memberikan souvernir. Sesekali keduanya asyik menemani pengunjung melihat lukisan yang tertata apik.
Sementara itu di sudut ruangan, Arumi mulai sibuk menuangkan segala rasa yang telah ditangkap oleh segenap inderanya. Tangannya begitu luwes mengayunkan kuas pada kanvas. Tema kali ini adalah perhelatan kampus. Ia memilih menggambarkan suasana di galerinya. Fokus gambar adalah sepasang muda-mudi tengah menatap sebuah lukisan yang sebelumnya sudah ia abadikan melalui ponselnya. Tak ayal lagi, kepiawaian Arumi mengundang decak kagum pengunjung galerinya.
"Ya, Tuhan...pengunjung mulai berdatangan. Aku tak menduganya. Sungguh. Tapi setelah melihat keramaian Yanga ada mengapa aku jadi ragu. Apakah aku bisa menyelesaikan lukisan ini? Duh, jantung jangan menjadi kacau. Ku pinta berdamailah..." batin Arumi.
Arumi terus mengayunkan kuas pada kanvas. Detil sekali membuat setiap goresan. Dan tanpa Arumi sadari, ada dua pasang mata yang begitu special menatapnya. Mata itu milik Tuan dan Nyonya William, pemilik kampus XYZ.
"Walau masih sedikit ragu, tapi aku yakin Arumi akan berhasil melalui tantangan gila dari Mirza" ucap Dania.
"Aku pun berkeyakinan demikian. Anak nakal itu benar-benar dibutakan cinta palsu Andrea. Dia tidak menyadari jika ada sebuah berlian dihadapannya..." ucap William.
"Cinta fisik hanya sesaat, karena fisik bisa berubah kapan saja. Bukan begitu, Pa..."
"Ya. Sayang. Anak nakal itu tidak mencontoh papanya..."
"Ow, jadi maksud papa...mama tidak cantik, begitu?"
"Hehee...mama itu cantik luar dalam"
"Awas saja kalau papa macam-macam"
"Papa tidak pernah macam-macam, sayang. Papa hanya semacam saja kok. Cuma mama saja..."
Perbincangan bisik-bisik keduanya, selintas terlihat romantis. Karen keduanya berbincang sambil mengurai senyum. Siapa sangka jika perbincangan pasangan suami-istri itu hampir berujung percekcokan.
"Bravo...! Bravo...!" ucap William sambil bertepuk tangan. Sadar dengan kehadiran pemilik kampus semua menjura takzim. Tak terkecuali Arumi. Ia langsung berdiri saat menyadari keduanya telah berdiri di sampingnya.
"Tuan, Nyonya..."
"Ow, jangan sungkan. Lanjutkan lukisan mu..."
"Setelah menyelesaikan lukisan mu, aku ingin kau melukis kami" ucap William yang membuat suasana mulai gaduh.
"Jika tuan ingin, saya bisa menunda lukisan ini dan melanjutkan dengan membuat lukisan Tuan dan nyonya"
"Ow, jangan kecewakan penggemar mu yang sejak tadi menunggu hasil lukisan mu ini. Kami bisa menunggu sembari melihat-lihat koleksi lukisan mu yang lain"
"Baik Tuan..."
"Oya, jika aku menyukai lukisan mu maka aku akan membelinya"
"Tidak perlu, Nyonya. Saya akan memberikannya Special untuk Nyonya"
"Saya tidak menerima barang hadiah..."
"Ma-maaf Nyonya. Baiklah jika demikian..."
"Huh...anak sama orangtua sama saja. Keras kepala dan semaunya saja. Yach...mungkin sudah menjadi tabiat orang-orang kaya. Apalagi keluarga William. Sultan mah bebas...." batin Arumi.
Kening Arumi tampak mengerut saat menatap punggung kedua orang yang digadang-gadang sebagai calon mertuanya itu.
"Kita keterlaluan tidak, Pa memperlakukan Arumi?
"Papa rasa tidak..."
"Syukurlah..." ucap Dania sambil mendekap lengan William saat menikmati satu demi satu lukisan yang di pajang.
"Arti, anakmu sudah dewasa. Kau setujukan jika aku menjadikannya ratu di rumahku untuk mendampingi putra semata wayangku?" ucap Dania. Matanya menatap sendu sebuah lukisan yang menampilkan wajah Arti---ibu dari Arumi.
Matahari saat itu sudah meninggi. Ketika William dan Dania ber-pose di hadapan Arumi. Beberapa sisi terbaik Keduanya pun berhasil Arumi abadikan. Dia berharap satu diantaranya akan dipilih oleh pasangan paruh baya itu.
"Menurut Arumi yang mana?"
Mendapat pertanyaan itu, Arumi langsung memfokuskan tatapannya. Dengan teliti ia menilik satu persatu foto yang tadi berhasil ia ambil.
"Yang ini, Nyonya..."
"Aku setuju. Bagaimana, Pa...?"
"Good...papa suka. Kamu jeli, Ndok"
Arumi menjura takzim. Sesaat kemudian, Arumi sudah bersiap memulai dengan kuasnya.
"Duh jantung, ku pinta berdamailah. Jangan kacau. Jika kau kacau maka sapuan tanganku pun menjadi tak sempurna" batin Arumi.
Sedikit ragu Arumi mulai menyapukan kuas pada kanvas. Sesekali matanya menatap foto untuk membuat goresan yang menyerupai model. Sementara itu, William dan Dania yang duduk tak jauh dari Arumi menatap aktifitas yang dilakukan Arumi. Keduanya menyunggingkan senyum dan sesekali saling menatap seakan saling memberi persetujuan atas apa yang Arumi lakukan.
"Duh...kenapa om William dan Tante Dania begitu intens menatapku. Kuatlah Arumi. Ayo...jadi berani. Kamu bisa...!" batin Arumi.
"Dimana Mirza, Ma? Jangan bilang jika tengah bersama Perempuan matre itu?
"Mama tidak tahu, Pa. Em, coba mama cari tahu dulu ya, Pa..."
Tangan Dania merogoh tas mewahnya. Sejenak tangannya mencari benda pipih yang sejak tadi diam.
"Dimana..?" ucap Dania saat sambungan teleponnya terhubung.
"Di kantor, Ma. Mirza masih ada meeting. Sebentar lagi selesai"
"Bukan menghindarkan...?"
"Ma...Sungguh. Mirza tidak menghindar. Mirza sedang meeting. Tiga puluh menit lagi Mirza meluncur ke kampus. Nanti Mir...."
Tut.
Tut.
Tut.
"Ah, mama selalu saja begitu. Memutus sambungan telepon sepihak" batin Mirza saat keluar dari ruang meeting.
Alis Mirza naik dibarengi helaan nafas pendek, tanda ada kekesalan yang ia tahan. Sementara itu, Elvano yang sejak tadi memperhatikan hanya tersenyum melihat kegundahan sahabatnya itu.
"El, kau saja yang hadir..."
"Egh...Apa Nyonya tidak akan marah jika anak semata wayangnya yang nomor satu di Indonesia tidak datang?"
Mirza memijat kepalanya sambil menyandarkannya pada kursi kebesarannya. Sejenak matanya terpejam. Fikirannya mengembara, entah kemana. Dan ada desiran aneh yang menelusup saat mengingat Arumi. Lama Mirza terdiam bermain dalam alam fikirannya.
"Mampus kau, Za. Kau terjebak dalam jebakan mu sendiri. Hehee...Tapi tenang saja kau tidak akan merugi seandainya kau memilih gadis segembul itu. Wkwkw..." batin Elvano.
"Kita berangkat..."
Elvano terkesiap mendengar ajakan bos sekaligus sahabatnya itu. Mirza begitu tergesa merapikan berkas di meja yang berserakan saat ponselnya berulangkali berpendar.
"OTW, Ma..."
🌸🌸🌸🌸🌸
"Anak nakal itu tidak mengangkat telepon ku. Sekalinya diangkat, katanya cuma singkat. Huh... Dasar!" dengus Dania kesal.
"Sabarlah, Ma. Mungkin sedang dalam perjalanan seperti yang ia katakan sebelumnya"
"Apa susahnya mengangkat telepon. Toh yang menyupir Elvano atau pak Ahmad. Dia mana mau nyopirin diri sendiri"
"Sudah ah, jangan ribut. Tidak enak jadi pusat perhatian..."
Sementara itu, sumringah wajah Arumi saat ia berhasil menyelesaikan lukisannya. Decak kagum pun kembali terbit dari siapa saja yang menatapnya. Tak terkecuali William dan Dania.
"Kami senang dengan hasil luskisan mu..."
"Seperti janji kami sebelumnya, maka kami akan membelinya. Berapa kau hargai?"
Deg.
Gamang hati Arumi ditanya demikian. Karena selama ini dia tidak pernah menjual atau membeli lukisan. Jadi ia tidak mampu menaksirnya. Terlebih lagi Arumi tidak bermaksud menjualnya. Ia hanya ingin menghadiahkannya kepada pasangan yang digadang-gadang sebagai calon mertuanya itu.
"Katakan, Arumi..."
"Ayo, Arumi katakan saja. Ini kesempatan mu..." ucap seorang mahasiswi yang langsung diamini yang lain.
"Terserah Tuan dan Nyonya saja..."
"Bukan begitu meghargai hasil karya indah seperti ini. Mestinya kau sebutkan saja nominalnya"
Arumi terdiam. Bukan saja gamang atas jawaban dari pertanyaan William, namun karena ekor matanya menangkap sosok Mirza yang baru saja datang diiringi beberapa mahasiswi.
"Ma..."
"Za, lihat. Indah sekali bukan. Arumi yang membuatnya"
"Bagus juga hasil lukisan si ceper nan gembul ini..." batin Mirza.
"Keren kau, Arumi..." batin Elvano
"Za..."
"Em, Ya. Bagus, Ma..."
"Tuh kan, Pa. Bagus. Mirza saja mengakuinya..."
"Karena Arumi menolak menyebutkan nominal untuk lukisannya, maka saya menghadiahinya saja dengan ini..."
Waah...
Riuh suasana saat Dania melepas cincin bertahta berlian dan menyematkannya di jari Arumi yang sempat ia tolak. Namun sepertinya Dania memaksanya keras.
"Kau berhasil lagi merebut perhatian mama dsn papa, Arumi. Ah, sial...!" batin Mirza.
"Ini berlebihan, Nyonya..."
"Tidak berlebihan jika untuk calon menantu"
Blush...
Memerah wajah Arumi saat Dania membisikkan kalimat tersebut. Ia tertegun tanpa mampu berkata apa pun.
"Ma-mantu...?" batin Arumi.
"Apa mama tidak berlebihan...?" bisik Mirza.
"Semuanya tidak sebanding dengan apa yang sudah kau lakukan padanya..." bisik Dania.
"Ma..."
"Ya...kan, Pa...?"
"Ya, Ma..."
"Memang apa yang sudah Mirza lakukan pada Arumi, Ma-pa?"
"Kau tanya saja pada diri mu sendiri. Jika tak kau temukan jawabannya, maka tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.."
"Bhuahaha...rasakan tuh, Za. Bertanya pada rumput bergoyang" batin Elvano.
"Mama dan papa pulang. Kamu bawa lukisan itu nanti..."
"Sekalian kau antar Arumi pulang..."
"Ma..."
"Tak ada penolakan. Ini perintah..."
🌸🌸🌸🌸🌸
Drrt.
Drrt.
Drrt.
Ponsel Arumi berpendar. Bukan sekali, tapi berulangkali. Arumi pun segera menilik ponselnya. Keningnya berkerut saat membaca deretan kata pada layar ponselnya.
"Datang cepat ke gedung belakang jika ingin teman mu selamat. Ingat...datanglah sendiri"
"Vanya..." batin Arumi.
Arumi khawatir. Namun segera mungkin ia menyembunyikannya. Tak ingin orang lain mengetahuinya sehingga bisa membahayakan Vanya---sahabatbya itu. Kemudian secepat mungkin Arumi berlalu setelah ia berpamitan. Satu alasan yang masuk akal dan Arumi temukan adalah toilet. Dan benar saja semua dapat memakluminya.
Setelah berpesan pada Arya untuk menemani Mirza, dan pengunjung lainnya Arumi pun segera berlalu menuju tempat yang di maksud pengirim pesan tersebut.
Sepuluh menit berjalan, Arumi akhirnya menemukan tempat yang dimaksud itupun setelah mendapat pengarahan si pengirim pesan yang belum diketahui identitasnya itu.
Brakk....
Arumi menerobos masuk dengan membuka kasar pintu hingga membentur dinding pada sisi lain.
"Emph...Emph..." gumam Vanya dengan mulut ditutup lakban. Wajahnya telah basah oleh air mata.
Sementara itu di sudut ruangan berdiri membelakangi tiga orang laki-laki bertubuh tegap yang satu diantaranya amat Arumi kenal.
"Bima...?"
"Well...yang ditunggu sudah datang"
"Apa maksud ini semua? Lepaskan Vanya...!"
"Aku akan melepaskannya dengan satu syarat"
"Apa...?"
"Kau yang menggantikan posisinya..."
Mata Bima menatap nanar pada Arumi. Tangannya terkepal. Sepertinya Bima memiliki dendam tersendiri kepada Arumi.
"Baiklah. Aku setuju..."
Mendengar itu, Kedua laki-laki lainnya melepaskan Vanya.
"Pergilah. Cepat. Beritahukan situasi di sini kepada siapa saja yang kau temui di GSG nanti.." bisik Arumi.
Vanya pun secepat kilat berlari meninggalkan tempat tersebut sambil berurai air mata. Tak dapat ia bayangkan apa yang akan Arumi alami mengingat kemarahan dan dendam Bima kepada Arumi.
"Apa mau kalian...?"
"Aku ingin kau membuka pakaian mu.."
"Apa...! Sudah gila, kau...?!"
"Hahaha....kau pikir aku ingin memperkosaku?! Cuih...! Aku hanya ingin mempermalukanku. Sama seperti saat kau mempermalukanku. Aku hanya ingin mengambil gambar tubuhmu yang gembul itu dan menyebarkannya. Pasti lucu..."
Bhuahaha....!
Tawa ketiganya pecah. Mungkin mereka sedang membayangkan kelucuan tubuh Arumi yang sedang dinikmati banyak mata.
"Tertawalah kalian. Sebentar lagi mulut kotor kalian akan ku hadiahi dengan bogem mentah ini" batin Arumi.
"Cepatlah, Arumi..." ucap Bima sambil menyiapkan ponselnya.
"Jelas aku menolak. Lebih baik aku mati ketimbang menuruti kemauan gila mu itu...!"
"Kurang ajar...! Berani kau menolak ku?!"
Bima berang. Tangannya langsung melayang ke wajah Arumi.
Glek....
Bima tertegun saat tangan besarnya tak dapat menyentuh wajah Arumi sedikit pun. Bima menatap tangan Arumi yang memegang kuat tangannya.
Arumi menyeringai. Ia memutar tangan Bima hingga ke belakang tubuh nya. Itu pun dalam hitungan detik saja. Satu tendangan pun Arumi berikan pada bokong laki-laki bertubuh tegap itu hingga jatuh tersungkur.
Bima salah perhitungan. Arumi yang kemarin mudah ia olok, tapi hari ini telah berubah.
Perseteruan pun berlanjut. Jurus demi jurus sudah Arumi keluarkan. Peluh sudah membanjiri tubuh terlebih lagi bobot tubuh Arumi yang tidak kecil, tentu ia akan lebih cepat lelah.
Buk....
Arumi meringis saat kepalan tangan Bima mengenai wajahnya. Darah pun menitik di sudut bibirnya.
To Be Continued.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments