“Sayang, Bunda ga suka kamu kabur-kaburan kayak kemarin,” ucap Bunda Aza, menatap Lava lembut tapi khawatir.
Lava langsung mengangguk cepat. “Iya Bunda, aku janji ga kabur lagi kok. Eh maksudnya... aku usaha buat ga kabur... tapi kalo dikejar tuyul gimana, Bund?”
Bunda Aza memelotot manja. “Jangan ngelawak deh!”
Ayah Martin tertawa kecil melihat Lava. “Kamu memang berubah ya, sayang. Tapi seneng sih kamu masih bisa ketawa-ketawa.”
Dalam hati Lava "Ya Allah makasih banget dikasih orang tua kayak mereka... baik, sayang, kaya... EH YANG TERAKHIR JANGAN DISEBUT!"
Tiba-tiba ponsel Ayah Martin berdering.
“Aduh yah, panggilan kantor ya?” tanya Bunda Aza sambil ngelirik suaminya.
“Kayaknya iya. Hmm... Ma, kita harus ke kantor sekarang, urgent banget.”
Bunda Aza langsung mencium kening Lava.
“Sayang, nanti kalau lapar bilang aja ke maid ya. Jangan lupa istirahat, jangan tidur mepet balkon kayak dulu, nanti masuk angin.”
“Iyaa Bundaaa,” jawab Lava sambil ngelambai.
Dalam hati "Tidur mepet balkon? Lah, yang punya tubuh ini sebelumnya gila kali ya."
Ayah Martin pun mencium ubun-ubun Lava.
“Anak Ayah jaga diri ya. Ayah titip rumah dulu.”
Lava mengangguk. "Aman Yah, aku jagain rumah kayak jagain hati mantan—eh, salah!”
Setelah kedua orang tuanya pergi, suasana rumah jadi tenang... terlalu tenang.
Lava langsung ambil ancang-ancang lari dan... PLAK! menjatuhkan diri ke sofa seperti drama Korea.
“YA AMPUN DEG-DEGAN BANGET TADI! Untung aja aku bisa boong dengan elegan. Dapet piala Oscar enggak sih aku tadi?!”
Dia mengipas-ngipas wajahnya pakai bantal.
Di sebuah ruangan mewah yang remang namun penuh wibawa, duduk seorang pria dengan aura tajam dan tak bersahabat. Rambutnya sedikit berantakan, dasinya longgar, namun tetap memancarkan karisma yang dingin dan mematikan.
Dia adalah Arfiko Michelle Reigros, atau lebih dikenal sebagai Ar — pewaris sekaligus pemilik perusahaan terbesar di negeri ini. Namun di balik ketenangannya, pikirannya kini tengah disibukkan oleh satu sosok Lavana, adik angkatnya.
Senyumnya menyeringai pelan.
"Ck... Aku akan memberinya 'sedikit' hukuman. Karena berani kabur tanpa kabar, ya... gadisku perlu diingatkan siapa yang punya kendali di sini." gumam Ar, menyender santai di kursinya. Mata elangnya menatap layar ponsel.
Tring... Tring...
Ponselnya berdering. Sebaris nama muncul di layar. [Tua Bangka Calling]
"Tch. Sial, gangguan apa lagi ini..." keluhnya. Tapi dia tetap mengangkat.
“Cih. Dasar anak setan. Kau harus pulang karena—” suara di seberang terdengar familiar.
"Aku tidak akan pulang, camkan itu, pria tua." potong Ar tajam.
“Berani kau bicara begitu pada ayahmu sendiri!”
“Kenapa harus takut? Kau cuma pria tua... dan jelek.”
“Hei, tampanmu sekarang itu hasil gen dari aku, tahu?!”
Ar diam. Tapi mulutnya menyeringai sinis. Lelucon basi.
Lalu suara sang ayah berubah... mengejek.
“Kau akan menyesal jika tidak pulang, karena Lava—sudah ada dalam jangkauan ayah, boy.”
“Baiklah, anak setan. Nikmati waktumu. Jangan pulang kalau begitu.”
Tuut...
Telepon ditutup sepihak.
Ar diam beberapa detik. Rahangnya mengeras. Matanya menyipit tajam.
"Lava... sudah di rumah? Ck. Akan kubuktikan sendiri. Jika kau bohong, pria tua... aku pastikan kursimu kulepas."
CKLEK!
Pintu ruangannya terbuka tanpa izin. Seorang pria muncul dengan gaya asal-asalan, jas setengah terbuka, dasi longgar, dan senyum sok akrab terpampang di wajah.
“Hehe... Sorry, bos. Gabut banget sumpah. Ada kerjaan nggak nih?”
Itu dia, Damar Saferon. Sahabat sekaligus asisten pribadi Ar — dan sumber kebisingan hidupnya.
Ar menatap tajam, nyaris melempar paperweight ke arah Damar.
“Pulang. Jaga rumah.” jawab Ar singkat, suara dingin tak bernada.
“Oke dehh. Tapi tumben banget lo pulang, Ar?”
“Ya.”
Ar langsung berjalan melewati Damar tanpa menoleh.
Damar berdiri terpaku, geleng-geleng.
“Hah... begini amat ya punya sahabat sekaku freezer. Dingin macam kutub utara. Tapi... yah, mari kerja... bersama Damar!”
Ar mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, ugal-ugalan seperti orang kesurupan. Sumpah, semua orang di jalan tadi pasti mengira dia lagi kabur dari penjara atau dikejar tagihan kartu kredit. Tapi tidak. Ar sedang terburu-buru... untuk menemui gadis nakalnya.
“Jika benar... gadis kecilku sudah kembali, maka aku tidak akan pernah melepaskannya lagi. Sekali pun. Hanya dia... hanya dirinya yang berhak memilikinya” desis Ar, menatap tajam ke arah jalanan.
Begitu sampai di mansion, dia nyaris menendang pintu depan. Langkah-langkah kakinya cepat, penuh tensi. Baru beberapa langkah masuk, matanya langsung menangkap sosok kecil yang sedang duduk menyender di sofa, punggungnya menghadap ke arah Ar.
Itu dia. Gadisnya.
“Ekhem.” Dehamnya, rendah dan tajam.
“AAAAAA!!!” Lava teriak sekeras tenaga, refleks melompat dari sofa sambil melempar bantal. "SIAPA WEH NGAGETIN GITUAN?! ADA HANTU? MAKLUK HALUS?”
Pelan-pelan, ia menoleh. Dan...DEG. Seolah dunia berhenti berputar. Yang berdiri di depannya... adalah makhluk paling tampan, dingin, tajam, dan—serem.
“Siapa?”tanya Lava sok polos, padahal udah gemeteran dalem hati.
Ar menyipit. "Lupa?" gumamnya. “Sialan.” Napasnya berat. Matanya makin tajam.
“Jangan bermain-main denganku, Lava.”
“Siapa yang main-main, anjir? Aku nanya baik-baik loh!” ceplos Lava, panik + kesel campur jadi satu.
Ar mendekat. “Bahasamu tidak sopan sekali, Lava. Ini yang kamu pelajari selama kamu kabur dari rumah, hm?” Nadanya datar. Tapi itu justru bikin Lava makin kepingin pingsan.
Jangan liatin aku kayak gitu dong, matanya udah kayak laser... merinding aku! Plis! batin Lava sambil nyengir kuda gak jelas.
"Ah... dengar-dengar kamu sering keluar masuk club ya?" ucap Ar sinis. "Murahan sekali."
“APAAN SIH GAK JELAS! ITU KAN LAVA ASLI BUKAN AKU” protes Lava dalam hati, tapi mulutnya cuma bisa nyeletuk lirih, “Y-ya ampun... siapa juga yang murahan..."
alam sekejap, BRAK, Ar sudah berada tepat di depan Lava. Gerakan cepatnya kayak ninja. Tangan kanan menahan sisi sofa, tangan kiri menekan sandaran, mengurung Lava.
Lava kaget "Nih orang main tinju apa jurus bayangan sih?!"
Tubuhnya kaku. Nafas tertahan.
Ar mendekatkan wajahnya. Hidungnya berhenti di lekuk leher Lava. Ia hirup dalam-dalam wangi tubuh gadis itu.
“Hhh... memabukkan. Bahkan lebih dari dulu.”
“MAMAAAK DIA MAU NGEGIGIT GUE NIH!”
Dia mencoba mundur, tapi tertahan. "O-oi! Mau ngapain kamu?!" Lava panik.
Ar tak menjawab. Hanya menatap. Dalam. Intens.
“Gue… eh, aku bisa lapor polisi tau!” ancam Lava lemah, sambil dorong dada Ar pelan-pelan—yang tidak bergerak sejengkal pun.
Ar menoleh, akhirnya tersenyum miring.
“Coba. Lapor. Tapi sebelum itu... aku gigit dulu, ya.” goda Ar.
Lava langsung mencelos. Mukanya merah, tangannya ngibrit narik bantal buat tameng.
“DASAR VAMPIRE GILA! AKU MAU PULANG AJA!!”
Lava yang mendapat perlakuan mengesalkan dari pemuda di depannya langsung tersentak.
"Eh, STOP! Jangan deket-deket kayak mau mangsa aku! Astaga, aku bukan nugget ya!" seru Lava sambil mundur panik.
Dengan segera ia menjauhkan diri.
Ar menyipitkan mata, menatap Lava seperti sedang membaca pikiran terdalamnya.
"Masih cerewet seperti biasa," gumamnya datar, tapi ada gurat geli yang hampir tak terlihat di sudut bibirnya.
Lava berkedip cepat. "kamu siapa sih? Kenapa kamu bisa tahu aku? Jangan-jangan kamu itu... mantan aku? Tapi kok aku nggak inget ya?"
"Jangan bercanda, Lava," suara Ar merendah tapi dingin. "Aku satu-satunya orang yang nggak akan pernah kamu bisa lupain."
"Tapi aku lupa kamu tuh sekarang," balas Lava nyolot.
Tanpa berkata apa-apa, Ar mendekat satu langkah. Lava langsung angkat tangan seperti mau eksorsis.
"Stay back! Aku punya sandal andalan dan skill kabur di atas rata-rata!"
"Masih suka lebay, ya," gumam Ar, lalu mendesah, "Kamu kabur, dan sekarang kembali begitu saja tanpa penjelasan?"
"Aku nggak kabur! Aku... teleportasi spiritual!" kilah Lava sambil memeluk tas selempangnya erat-erat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments