Bab 5. Manusia Laknat

Nisa mengernyit menatap isi pesan di layar ponselnya sambil bergumam, "Ivan, David ... sialan kalian! Bolos tapi nggak ngajak-ngajak! Malah pamer kirim gambar ke pub, awas nanti!"

Ivan, berumur 18 tahun, teman akrab Nisa sejak kecil, lebih tepatnya sejak Nisa mulai dilatih untuk menjadi penerus di kelompok gangster yang dipimpin oleh ayahnya. Ivan adalah anak angkat dari salah satu petinggi di kelompok, Nisa menyebut ayah angkat Ivan sebagai paman.

Sedangkan David, dia sama halnya seperti Ivan, hanya berbeda ayah angkat. Ivan dan David satu sekolah dengan Nisa, tetapi mereka berbeda kelas, Ivan dan David sama-sama di kelas XII C. Wali kelas XII C sama halnya seperti Pak Pendi, dia kewalahan mengurus 2 murid berandal itu.

Nisa merasa sangat kesal sampai tidak tahan untuk menelepon nomor yang mengirimi pesan itu, nomor itu tidak lain adalah nomornya Ivan.

"Ayo angkat bangs*t!" gumam Nisa yang tidak sampai 3 detik kemudian teleponnya tersebut dijawab. "Mampuss kalian! Aku ..." perkataan Nisa terhenti, karena begitu telepon itu tersambung, dia langsung mendengar alunan musik yang meriah dan suara tawa perempuan yang cukup ramai.

"Ada apa boss? Kangen, ya?" tanya Ivan yang suaranya terdengar sambil tertawa cekikikan.

"Kenapa aku nggak diajak? Mau mati hah?!"

"Sorry, tadinya mau diajak kok, tapi tadi itu waktu lewat depan kelasmu aku lihat ada yang katanya mahasiswa PPL, dan boss sendiri tumben nggak tidur, jadinya aku sama David bolos berdua deh."

"Iya tuh, bener apa kata Ivan. Apa sayang ... mau peluk? Ututu ayo sini~" celetuk David yang terdengar sangat menikmati suasana di pub.

"Pokoknya lain kali harus ijin dulu ke aku!"

TUT TUT ...

Nisa mematikan panggilan telepon itu lalu kembali menyimpan ponselnya. Di satu sisi masih ada Ricky yang sedari tadi mendengar semua perkataan Nisa. Ketika menyadari bahwa Nisa telah selesai bertelepon, Ricky bertingkah seakan-akan tidak pernah mendengar apa pun, tetapi Nisa justru malah melotot padanya.

"..."

Gara-gara orang ini, jadinya aku nggak diajak bolos! Hariku di sekolah jadi buruk sejak kedatanganmu.

Ricky terus melanjutkan makan dan memilih untuk mengabaikan Nisa yang melotot padanya. Nisa yang saat ini merasa kesal telah kehilangan nafsu makannya, dia berniat untuk pergi dan sesaat setelah dia berdiri tiba-tiba Ricky mencegahnya.

"Tunggu!"

"Apa?" tanya Nisa dengan ekspresi malas.

Ricky lalu menunjuk ke arah mulut Nisa. "Itu ada nasi yang nempel."

"Hah?!" Nisa lalu mengusap pinggir bibirnya sebelah kanan.

"Bukan di sana, di sebelah satunya lagi. Ngerti nggak sih? Bersihkan sendiri!"

"Siapa juga yang minta dibersihkan?! Sialan!" Nisa dengan cepat mengambil selembar tisu di meja lalu membersihkan mulutnya sendiri dengan kasar. Sekali lagi dia melotot kepada Ricky dan langsung bergegas pergi meninggalkan kantin.

Ricky terus menatap punggung Nisa yang berjalan pergi sampai bayangannya tak lagi terlihat. Kemudian dia menyendok makanannya sambil bergumam, "Salah sendiri waktu makan bicara sarkas terus."

***

Malam hari saat Ricky sendirian di apartemennya, dia sibuk menulis di sebuah buku catatan khusus tentang penelitian-penelitian miliknya. Namun penelitian kali ini lebih membuatnya merasa kesusahan dibanding dengan yang sebelumnya. Ketika dia tengah berpikir keras, tiba-tiba bel pintu berbunyi.

Ricky segera meninggalkan meja belajarnya dan menuju ke arah pintu. Ketika dia membuka pintu tersebut, dia sedikit terkejut dengan kedatangan seseorang yang sebelumnya tidak mengabarinya terlebih dulu, orang itu tidak lain adalah Aslan.

"Ada perlu apa ke sini?" tanya Ricky dengan ekspresi malas.

"Main! Nih, aku bawa pizza sayur." Tanpa basa-basi lagi Aslan masuk ke dalam, meletakkan sekotak pizza itu di meja lalu duduk dan bersandar di sofa.

Ricky menutup pintu lalu menyusul dan duduk di sebelah Aslan, lalu dia berkata, "Mana minuman nya?"

"Itu bagianmu, aku kan sudah bawa pizza. Jadi harus adil, hehe ..." jawab Aslan yang kemudian mengambil sepotong pizza.

"Ck, kasih makanan kok setengah-setengah. Kalau mau minum ambil sendiri sana di kulkas!" Ricky lalu ikut mengambil sepotong pizza. Namun sesaat sebelum menggigit, mendadak dia meletakkan pizza itu kembali ke kotaknya.

"Kenapa?" tanya Aslan sambil mengunyah.

"Lupa belum cuci tangan."

"Ya-yaa ... sana cuci tangan! Aku nggak usah, udah terlanjur." ucap Aslan sambil melambai-lambaikan tangannya.

"Hhhh ... sakit diare baru tau rasa," gumam sambil berjalan pergi.

Tak berselang lama kemudian Ricky kembali, sesaat sebelum dia duduk di sofa tiba-tiba Aslan berkata, "Rick, hp mu mana?"

"Di kamar, baru aku cas. Emangnya kenapa?"

"Cepetan ambil, penting banget ini!"

"Kenapa tadi nggak sekalian bilang?! Capek aku bolak-balik!"

"Dih, jarak kamarmu juga nggak jauh. Masa gitu doang capek?"

"Humph!" Ricky mendengus kesal lalu berjalan menuju ke kamarnya. Setelah dia kembali, dia langsung duduk dan menyodorkan ponselnya pada Aslan.

"Nih, buat apa sih?"

"Lihat sendiri, aku sudah kirim sesuatu. Ini soal proyek karya ilmiah yang dibilang ayahku." ucap Aslan yang kemudian lanjut memakan pizza.

"Apa?!" Ricky langsung membuka ponselnya dan membaca sebuah file yang dikirim oleh Aslan. "Ini aneh, dimana dokumen yang asli?"

"Haha ... itu kutinggal di kamarku. Aku ke sini disuruh ayah buat kasih dokumen itu. Tapi aku malas bawa, jadi aku scan gambarnya ke pdf lalu kirim ke nomormu. Oh iya, ngomong-ngomong gimana hari pertamamu?"

"Buruk!" Ricky lalu menatap Aslan. "Apa maksudnya dokumen ini?"

"Itu agar lebih memudahkan tugasmu, isinya tentang membaca karakter seseorang saat sedang berinteraksi."

"Hmmm ..." Ricky lalu melanjutkan membaca sambil bergumam, "Cara jabat tangan, cara berjalan, selera musik, cara makan ... Eh, yang satu ini sudah aku amati!"

"Serius?! Gercep banget, kok bisa?" tanya Aslan dengan antusias.

"Makan bareng."

"Cieee ... hari pertama langsung ngedate, emangnya dia secantik apa sih sampai-sampai Ricky si balok es mencair!"

"Siapa yang ngedate?! Aku cuma makan bareng sama dia waktu istirahat di kantin! Lagian itu juga nggak sengaja! Jadi jangan ngomong yang aneh-aneh!" bantah Ricky yang kemudian memalingkan wajahnya. "Lagian dia juga nggak cantik."

"Menurutmu dia jelek?" tanya Aslan penasaran.

Padahal tadi aku lihat fotonya di berkas milik ayah, dia lumayan cantik kok.

"Yahh ... gitu lah, cara bicaranya lebih jelek lagi. Bisa-bisanya dia mengumpat saat pelajaran. Dia lebih mirip berandal sekolah. Atau bahkan sebenarnya memang berandal sekolah. Aku kaget waktu teman semeja cewek itu memanggilnya dengan sebutan Nyonya, ternyata di sekolah elite pun ada perundungan ya."

"Hmmm ... bad girl dan ice boy, aku ragu proyek ini bakal berhasil atau enggak." ucap Aslan sambil menggelengkan kepala.

"Makanya bantuin!" teriak Ricky sambil menabok bahu Aslan dengan cukup keras. "Besok berangkat ke SMA sama aku!"

"Ogah!" Aslan lalu tersenyum meledek. "Sejak kapan Ricky si serba bisa butuh bantuan?"

"Ck, aku orangnya nggak sabaran! Aku tanya sama guru-guru di sana soal cewek subjek itu, tapi semuanya bersikap seolah-olah menutupi sesuatu, anehnya lagi juga menganggap kelakuan cewek itu yang kurang beradab sebagai hal wajar."

"Apa mungkin dia yang punya sekolah?" tanya Aslan secara spontan.

"Nggak mungkin lah! Kepala sekolah di sana aja sekongkol sama ayahmu. Mustahil dia berani ambil risiko sebesar itu. Pokoknya aku cuma melakukan semampuku, soal bagaimana nanti hasilnya itu di luar kemampuanku."

"Oh iya, aku lupa bilang satu hal." ucap Aslan yang kemudian mendapat respons tatapan penasaran dari Ricky. "Ini soal pesan ayahku. Ayah bilang tugasmu cukup menjadi dekat dengannya."

"What?! Dekat gimana maksudnya?!"

"Baca lagi file yang aku kirim! Karakter seseorang itu bisa dilihat dari banyak hal, dari cara makan minum, cara menulis, kontak mata, ekspresi wajah, gaya berbelanja, cara komunikasi, bahkan jam tidur. Untuk mengamati semua itu bukannya harus jadi dekat dengannya?"

"Benar juga sih ... Tapi, gimana caranya jadi dekat dengan seseorang?"

"Pffttt ... hahahaha! Ayahku memang bodoh, bisa-bisanya dia memilihmu yang kemampuan sosialisasinya jelas-jelas buruk!" Aslan tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.

"Aku serius, As! Aku beneran nggak tau caranya!"

"Hehe iya-iya ... Pada dasarnya kamu yang selalu didekati oleh orang-orang, tapi kali ini giliranmu mendekati orang. Maaf, buat yang satu ini aku nggak bisa bantu, harus kamu sendiri yang memperbaiki karaktermu. Tapi satu hal yang pasti, jangan gengsi kalau mau bicara duluan. Yang aku tau soal psikologi cuma sedikit, kalau mau yang lebih spesifik tanya aja ke ayahku."

"Huft ... okelah. Terus misalnya nanti udah jadi dekat langkah selanjutnya apa?"

"Nggak tau, nanti tanya sendiri aja sama ayahku. By the way, aku nginep di sini ya, Rick?"

"Gak boleh! Cepat minggat sana!" bentak Ricky sambil menunjuk ke arah pintu.

"Dih, tumben nggak boleh, lagi ngumpetin cewek di kamar yaa~"

"Nggak ada cewek! Udah lupa sama kesalahanmu terakhir kali nginep di sini?!"

"Emangnya aku ada salah?" tanya Aslan dengan tatapan sok polos.

"Sialan! Majalah porno mu ketinggalan! Orang tuaku waktu beberes rumah nemu di kamar mandi! Dikiranya itu punyaku! Aku jelasin mau gimana pun sampai mulutku berbusa orang tuaku cuma senyum-senyum nggak jelas!"

"Hehe sorry, sekarang majalahku di mana?" tanya Aslan dengan senyum canggung sambil menggaruk tengkuknya.

"Dasar manusia laknat, udah aku bakar!"

"Ishhh ... padahal itu majalah edisi terbatas. Lagian wajar kok anak cowok punya barang begituan, orang tuamu pasti paham. Tapi ya kalau ketahuan langsung itu memang nasibmu yang lagi apes, haha."

"Haha hehe ... malah ketawa di atas penderitaan orang!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!