“Percayalah, orang yang akan kaurindu berada tepat di sebelahmu.” –Unknown
Pada hari tertentu, pria dengan rambut pendek itu selalu membawa sekuntum bunga di tangan, berjalan menuju sebuah tempat. Dan, hari ini ia kembali datang ke tempat tersebut, tetapi langkah kakinya seketika terhenti, karena hatinya terasa sesak. Lagi, untuk kesekian kali, ia berbalik, tidak mau melangkah lebih jauh ke depan.
Dengan langkah gontai, ia berjalan menyusuri jalan beton sembari menundukkan kepala. Jauh di depan sana, terlihat pemukiman warga dan warga yang berkumpul pada sore hari cerah ini. Ada juga anak-anak yang berlarian, bermain dengan gembira. Namun, tanpa mengucapkan apa pun, ia melintas di depan mereka, terus menapakkan kaki perlahan-lahan.
Orang-orang tampak berbisik, tentu ia tahu kalau dirinya sedang dibicarakan. Kendati demikian, tetap saja ia tidak memedulikan hal tersebut, karena sudah sangat sering ia mendengarnya.
“Coba liat, pria itu lagi ...”
“Dia sombong banget ya, gak pernah nyapa.”
“Dan katanya, dia pemabuk berat. Ditambah gak punya kerjaan lagi.”
“Pantas saja ibunya meninggal karena kerja terlalu keras dan stress.”
Bisakan dari mulut para warga terdengar di telinga pria itu, tetapi mau bagaimana lagi? Itu adalah fakta, bahwa ia hanyalah sampah di masyarakat. Sekarang pun, agar dapat bertahan hidup, ia rela melakukan apa saja.
Ketika sudah cukup jauh dari kerumunan warga, tiba-tiba saja seorang anak kecil menabraknya. Namun, ia hanya tersenyum kecil pada anak itu, sembari bertanya, “Kamu gapapa?”
Anak perepuan yang ditanya itu hanya menggelengkan kepala. “Aku gapapa kok, Om.”
“Ya udah, lain kali hati-hati ya ....” Pria tersebut lantas kembali berjalan.
“Iya, Om.”
Beberapa saat kemudian, terdengar suara seorang wanita di belakang pria itu. “Nak, kamu jangan deket-deket sama dia ya ....”
“Kenapa, Bu?”
“Udah, pokoknya gak usah deket-deket.”
Pria itu terus berjalan, mengabaikan apa kata wanita tersebut. Ia merasa pantas mendapatkan apa yang ia tanam selama ini. Menyesal pun sudah terlambat, semua telah terjadi. Dan, sekarang hatinya terasa hampa, seolah telah mati sejak lama.
Tak lama, ia sampai di rumahnya, bangunan sederhana dengan dua jendela dan satu pintu. Saat tangannya perlahan menarik gagang pintu, sekali lagi ia terhenti, kemudian melirik sekuntum bunga di tangan kirinya. “Ibu, aku merindukanmu ...,” ucapnya, pelan. “Kenapa ibu meninggalkanku sendirian?”
Akhirnya, dalam diam pria tersebut masuk ke dalam rumah. Ruang tamu yang hanya berisi kursi dan meja tampak tersusun rapi, tetapi tidak ada siapa pun di sana, berbeda dari sebelumnya, satu tahun lalu. Ia teringat, kala itu membanting pintu di tengah malam, dan ibunya memarahi ia karena pulang larut. Namun, saat itu ia membangkang dan masuk ke dalam kamar, tubuhnya sudah dipenuhi oleh bau alkohol.
Setiap hari ia terus melakukan kesalahan sama, mabuk-mabukan, kemudian pulang larut malam tanpa mau mendengarkan ucapan ibunya. Lalu, pada suatu malam, ketika pulang ke rumah di tengah malam, ibunya tidak datang untuk memarahinya. Awalnya ia bersyukur, tetapi saat memeriksa kamar ibunya, ia menyesal.
Pada waktu itu, ia hanya diam, hingga ibunya dimakamkan, dan ia merasa nyaman hidup sendirian. Namun, beberapa minggu kemudian, ia mulai merindukan ibunya. Di saat yang sama, uangnya juga menipis, jadi terpaksa harus bekerja. Ketika itu ia baru sadar, kalau selama ini ibunya sudah bekerja sangat keras untuk dapat merawatnya.
Mulai dari sana, ia menyesal dan terus giat bekerja apa saja supaya dapat tetap hidup, walau warga sekitar terus menggosipkan dirinya. Ia tidak peduli, karena yang lebih mengenal dirinya adalah ia sendiri, bukan orang lain.
Sejenak pria ini melirik lagi ke sekuntum bunga di tangannya, karena kesal pada diri sendiri, ia lantas membuang bunga itu ke luar rumah dan masuk ke kamar. Tempat kecil dengan meja, kursi, lemari dan kasur ini bagai sebuah kurungan untuknya, sebuah tempat menampung penyesalan juga rasa sakit. Pernah terpikir dibenaknya untuk bunuh diri, tetapi pikiran tersebut seketika lenyap begitu saja.
Sekarang ia tak lagi berjudi atau mabuk-mabukan, sebab hasratnya untuk melakukan hal itu telah lama layu. Kini ia sadar, bahwa alkohol bukanlah sebuah pelarian yang baik bagi masalahnya sekarang. Dulu, ia melakukannya karena terlalu sering melihat ayah dan ibunya bertengkar, dan itu merubah hidupnya menjadi sangat buruk. Sampai akhirnya, kedua orangtuanya berpisah, lalu ia memilih tetap tinggal bersama ibunya dari pada ayahnya.
Berawal dari kesedihan lalu berakhir dengan penyesalan, hanya itu yang diakibatkan alkohol padanya. Ia putus sekolah saat kelas 11, hingga membuatnya menjadi orang tak berguna. Sungguh, ia membenci dirinya yang dulu, semua tindakannya di masa lalu. Bahkan, sekarang pun saat menatap cermin, sosok yang terlihat di cermin itu membuatnya muak.
Tiba-tiba, pintu rumahnya diketuk, sangat jarang bahkan tidak pernah ia mendengarnya selama kurang lebih setahun terakhir ini. Siapa sebenarnya yang mengetuk? Apakah warga setempat yang akan mengusirnya pergi dari kampung? Bisa jadi.
Perlahan, ia berjalan keluar kamar, kemudian membuka pintu depan. Ternyata, yang mengetuk pintu adalah anak perempuan yang tadi ia tabrak saat berjalan pulang. Anak tersebut membawa sekuntum bunga di tangannya, lalu berkata, “Om, ini bunga milik Om, kan? Nih, aku balikin.”
Pria ini tersenyum hangat. “Udah, buang aja bunga itu.” Ia pun merendahkan tubuhnya, agar bisa menatap wajah polos anak perempuan di depannya. “Om gak perlu bunga itu lagi kok. Abis itu kamu pulang, biar gak dimarahin ibumu.”
“Tapi, ini kan punya Om. Aku pungut di depan itu tadi.”
“Udah, kamu pulang aja ya, buang bunga itu.”
“Tapi ....”
“Ibumu udah bilang, kan? Jangan deket-deket sama Om. Mending kamu pulang aja.”
“Om kan bukan orang jahat ....”
Sekali lagi pria ini tersenyum kecil, anak perempuan di depannya sekarang adalah yang pertama kali mengatakan kalimat itu padanya. Matanya kemudian melirik ke langit yang sudah mendung, menandakan hujan akan turun. “Hari udah mau hujan, kamu pulang aja.”
Anak perempuan tersebut melirik ke atas, lalu menyerahkan sekuntum bunga di tangannya. “Oke, Om, tapi ambil dulu ini.”
Mau tak mau, pria ini pun menerima bunga tersebut. “Makasih.”
Setelahnya, anak perempuan tadi pergi, pulang menuju rumahnya. Mungkin dia tadi gak sengaja main di sekitar sini, makanya bisa menemuka bunga ini.
“Aku adalah orang jahat,” ucap pria itu sambil berdiri, memegang bunga pemberian anak perempuan tadi. Ia lantas ingat kembali, hari di mana ibunya selalu marah padanya. Akan tetapi, wanita itu tak pernah sekalipun mengucapkan padanya, kalau dia membencinya.
Teringat pada semua itu, ia lantas menggenggam erat-erat bunga di tangannya, lalu berlari menuju ke tempat yang ia datangi tadi. Ia sadar, bahwa ia tidak seharusnya menghindar terus dari dirinya sendiri.
Akhirnya, ia berhasil sampai di depan sebuah makam. Tubuhnya masih gemetaran, dan penyesalan sekali lagi menghantam dirinya.
Hujan pun turun, bersama dengan menetesnya air mata pria itu. “Maafkan Asa, Ibu ...,” ucapnya, pelan.
***
Dukung aku di Youtube dengan subscribe channel: Careless Boy
Thankyou 💕