Walau harus belajar dengan seribu buku matematika, akan Discha lakukan. Jika itu bisa membuat dirinya satu sekolah lagi dengan cinta pertamanya, Ryan Hidayat.
Hanya karena nafas buatan yang diberikan oleh lelaki itu membuat Discha tersadar dan tau bahwa lelaki itu sudah merampas kecupan pertamanya.
Kak Ryan, akan aku kejar kamu sampai ke belahan dunia sekalipun dan kamu hanya bisa menikah denganku❤️
****
Sorai-sorai gembira mencuat dari bibir para cheeleaders yang terus menggoyang-goyangkan pinggul dan gerakan tubuh mereka yang lain. Menyerukan nama dari beberapa pemain lelaki yang tengah mengikuti jalannya perlombaan basket antar kelas.
Plak.
"Aduh!" Seru Discha sambil memegangi kepala lalu ia bangkit berdiri dan menoleh ke arah sumber yang sedang melemparkan botol kosong ke kepalanya.
"Eh, lo ya!" Ia menunjuk ke arah lelaki yang sedang duduk dideretan kursi ke tiga dari barisan bawah yang saat ini tengah ia duduki.
"Main timpuk aja lo! Kalau gue jadi bego, gimana?" Discha berdecak kesal.
"Aduh, Dis. Maaf gue gak sengaja--Timpukan gue meleset, gue tadinya mau nimpuk ke dia!
Wajah Rommi meringis, ia menunjuk ke arah Arman yang juga sedang asik menonton dibangku kedua dari bawah. Lelaki itu memberikan senyuman terbaiknya untuk meminta maaf, ia juga memberikan smoke eyes pada mata kirinya.
"Kalau ganteng kaya Rommi Rafael sih gak apa-apa lo mainin mata! Awas jereng tuh---"
Bug.
Benar-benar kesialan terus berpihak pada wanita ini. belum saja ia meneruskan ucapan kekesalannya kepada Rommi, dirinya sudah dibuat jatuh tergeletak di tepi lapangan karena bola basket yang terjun bebas meninju kepalanya.
Semua mata mengerjap terus melihat Discha yang pingsan dan rok nya yang naik sedikit ke atas pahanya yang mulus karena pergesekan tubuhnya dengan tepi aspal lapangan.
Semua mata melongo bergantian dari tubuh Discha yang sudah tidak sadar lalu beralih ke arah Ryan. Lelaki yang masih terperangah terus menatap ke arah wanita yang tidak sengaja ia hujam dengan bola. Kedua matanya terus membulat dan melebar, deru nafasnya memburu. Keringat yang bercucuran terus membasahi wajah dan lehernya.
"Duh---Ya Allah!" Desahnya gemetar.
"Wah parah lo, yan! Pingsan tuh!" Panji menghentak bahu Ryan lalu berlari menghampiri tubuh Discha yang sedang bersandar dengan aspal lapangan.
Ryan pun berlari mengikuti langkah Panji.
"Bangun, Dis!" Kirana terus menepuk-nepuk pipi Discha dengan tekanan pelan.
"Dis?" Kirana terus melakukan itu sampai sahabatnya tersadar. Namun usahanya nihil, Discha tidak menandakan tanda-tanda ia akan bangun. Terlihat ada kebiruan disekitar pelipisnya.
"Coba minggir dulu---" Ucap Ryan.
Kirana pun menoleh dan mengangguk. Ia bangkit lalu posisinya digantikan oleh Ryan, lelaki itu berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan wajah Discha yang masih belum berkutik.
Semua mata memandang Ryan yang terus mencoba untuk menyadarkan gadis itu. Berbagai aroma penciuman sudah ia tebarkan didepan lubang hidung Discha, aroma minyak telon dan balsem. Tetap saja nihil, Discha belum juga sadar.
Ryan kembali menegang, diikuti hiruk pikuk teman-teman sekolah yang menyeru khawatir akan keadaan Discha. Mulai menjawil kedua pipi Discha, membuka kelopak matanya dengan paksa, merasakan aroma nafas yang tidak terasa dan merebahkan kepalanya di dada Discha untuk mendengarkan ritme jantungnya.
Panik!
Mata Ryan melotot ketika Discha tetap tidak kunjung sadar. Ia takut wanita ini mati ditempat. Bayangkan saja, pelajar terbaik di sekolah, pemenang lomba sains antar sekolah dan ketua osis selama dua periode akan masuk penjara karena dituduh membunuh tanpa sengaja.
Tidak ada lagi jalan, ia pernah belajar tentang BHD di eskul basket. Penanganan bantuan hidup dasar.
Tanpa perduli dengan sekelilingnya, ia pun memajukan wajahnya untuk menatap wajah Discha langsung tanpa sekat.
Ia membuka katupan bibir Discha dan membenamkan kedua bibirnya untuk memberikan bantuan nafas kepada wanita itu agar kembali bangun. Ia terus melakukannya sambil mengepit lubang hidung Discha dengan dua jari tangan kirinya. Kedua matanya sedikit menoleh untuk melihat dada disha yang mulai mengembang kempas kempis.
Sontak semua orang tertegun tanpa berpaling, mereka terus menyaksikan bagaimana si Ketua Basket mencium Discha.
Uhuk-uhuk.
Tanpa sengaja Ryan menelan batuk yang dimuntahkan oleh Discha. Wanita itu membuka matanya dan terbelalak ketika melihat lelaki yang tidak pernah ia kenal sebelumnya tengah menyatukan bibir mereka.
Duarrr!
Tepukan tangan dari Kirana meluapkan bayangan satu tahun yang lalu di benak Discha. Wanita itu pun tersadar dari lamunan lampaunya. Ia terus menatap lelaki yang sedang asik bermain basket di lapangan kampus.
Lelaki yang pernah menciumnya karena ketidaksengajaan dan sejak saat itulah si lelaki yang mempunyai nama lengkap Ryan Hidayat. Kakak senior di SMA menjadi cinta pertama untuk Megadischa Putri.
*****
Wanita yang selalu mengejar-ngejar cintanya dalam diam, mengikuti segala gerak-geriknya tanpa bertanya, tahu tentang hal-hal yang disukai di diri Ryan, mulai dari makanan, minuman dan barang yang ia sukai.
Discha mampu mengubur cita-citanya sebagai jurnalis, untuk pindah haluan menjadi mahasiswa di fakultas pendidikan Matematika di salah satu universitas negeri di Jakarta, karena ia ingin terus berdekatan dengan Kakak kelasnya itu. Ryan merupakan sesosok candu yang bisa membuat jiwa Discha melayang-layang yang sulit untuk dibinasakan.
"Udah lo taro nasgor di tasnya?" Tanya Kirana yang juga mengikuti perkuliahan disini.
Discha mengangguk.
"Paling juga dibuang lagi sama Kak Ryan---" Kirana tertawa sarkas.
Discha melirik sekilas ke arah Kirana lalu kembali membawa arah matanya untuk menatap Ryan yang masih setia dengan bola basketnya.
"Itu karna dia gak tau siapa pengirimnya, mungkin aja dia takut diracun---" Desah Discha begitu pasrah.
"Nah makanya, lo kasih tau nama lo di kotak nasgornya. Seenggaknya hati lo lega, kalau dia ngucap makasi atau seengkanya dia kasih senyuman buat lo! Kak Ryan tuh bukan lelaki galak, dingin atau kasar kan??"
Ucapan Kirana memang benar, Ryan adalah tipe lelaki yang ramah, sopan dan baik. Ia mempunyai banyak penggemar. Ia bukanlah lelaki putih seperti opa-opa di drama korea dan jepang. Tubuhnya tegap, kulitnya sawo matang, wajahnya begitu manis karena mempunyai hidung yang bangir dan dua lesung pipit di kedua pipinya.
Dan yang paling membekas di hati Discha adalah, rasa bibir dari lelaki itu.
Sangat menghanyutkan, membuat bulu-bulu halus disekitar tangan Discha jadi berdesir jika mengingat bayangan itu kembali.
"Mau sampai kapan lo berhenti jadi silent love nya?" Kirana terus saja berucap tanpa henti.
Discha memutar bola matanya jenga. "Gak tau, Ran! Sampai gue tau aja kalau dia udah punya pacar--"
"Hah?" Kirana melongo, lalu mengedik kan bahunya. "Dih, bego! Terus usaha lo selama ini biar terus sama dia? Sekolah bareng sama dia? Ngikutin segala aktivitas dia? Bawain nasgor yang gak pernah dia makan, gunanya buat apaan, dongo?"
Kirana berdecak kesal. "Apa sih yang lo liat dari Kak Ryan, oke deh dia emang ganteng terus pintar! Tapi please deh, masa sih hanya karena lo pernah ditolong dan dicium sama dia tanpa sengaja, lo bisa jadi orang bego kayak begini? Lo lupain cita-cita lo, buat apaan?? Kalau ujung-ujungnya lo lepasin dia juga, Dis!"
"Apa gue tembak dia aja ya?"
Kirana kembali tertawa. "Mau pakai apaan? Pistol apa pisau??"
"Ran, gue serius!"
"Gue dua-rius malahan..."
Kirana tidak mau kalah. Discha hanya bisa mengerucutkan kedua bibirnya, ia terus menatap Ryan dari kejauhan. Seperti ada kabut yang menghalangi pandangannya, apakah lelaki itu sangat sulit untuk diraih? Mengejar cinta selama dua tahun, apakah betul tidak ada hasilnya?
****
Dua jam berlalu, Discha tetap ditempatnya. Walau kakinya sudah pegal dan bokongnya terasa panas, karena ia terus duduk dibangku penonton seorang diri. Bermodalkan kaca mata hitam dan masker untuk menutupi wajahnya. Ia tetap setia menunggui Ryan bermain basket.
Ia juga membawa sebuah buku gambar yang digunakan untuk melukis wajah lelaki idamannya dari berbagai pose manapun.
Sesekali Ryan melirik ke arah Discha yang ia anggap dengan perawakan wanita aneh.
Wanita yang selalu hadir ketika dirinya latihan, tournamen atau sedang mengajari junior-junior yang mengikuti eskul basket.
"Cewek itu lagi? Siapa sih dia?" Ryan menukikkan kedua alisnya tajam. Lelaki itu mulai penasaran. Entah mengapa hari ini ia sangat ingin mengetahui siapa wanita itu. Ia tidak pernah melihat Discha dengan tatapan telanjang jika dikampus. Discha akan selalu menutupi wajahnya dengan masker dan kaca mata hitam jika ingin berdekatan dengan Ryan.
"Aduh, kok dia ngeliatin gue terus sih?" Gumam Discha sambil menundukkan kepalanya, ketika dua bola mata nya bersembunyi dibalik kaca mata hitamnya tengah mendapati tatapan aneh dari Ryan di lapangan basket.
"Mati deh gue, dia jalan kesini lagi!"
Hati Discha semakin tidak karuan. Jantung dan parunya seperti ingin terlepas dan jatuh tercecer dilantai. Tangannya bergetar, dengan cepat ia beringsut untuk kabur. Ketika langkah Ryan terus berjalan menuju ke tempatnya.
Lalu
"Yan, mau kemana lo?" Suara dari arah lain memanggil Ryan.
Sontak laki-laki itu menoleh ke arah ke belakang, ia mendapati Panji yang baru saja datang dan duduk ditepi lapangan basket sambil menurunkan tas punggungnya.
Ryan pun mengurungkan niatnya untuk menghampiri Discha yang hendak kabur. Melihat Ryan menghampiri Panji, Discha pun beringsut untuk duduk di kursi kembali.
"Aman deh gue--" Mengusap dadanya terus-menerus.
"Lo sendirian, Ji? Yang lain mana?" Tanya Ryan kepada Panji. Walau Panji beda jurusan, tetapi mereka tetap satu tim basket kampus.
"Nyusul katanya, makan yuk laper nih gue!" Ajak Panji meringis sambil memegangi perutnya.
"Kayaknya gue ada roti deh, bentar----" Ryan membuka tasnya dan kedua matanya membulat lagi ketika tangannya berhasil mengeluarkan sebuah kotak makan berisikan nasi goreng.
"Nasgor lagi? Dari fans gelap lo??" Panji berdecis geli.
Ryan terus menatap kotak bekal itu dan ia langsung membawa arah matanya untuk menoleh ke wajah wanita yang ia anggap aneh barusan. Discha yang tadinya masih segar memandangi wajah Ryan dari jauh langsung, menundukkan kepalanya lagi.
"Siapa ya, yang sering masukin nasgor ke dalam tas gue?" Desahnya pelan namun masih bisa didengar oleh Panji.
"Coba aja cari tau, Yan. Udah tiga bulan ini kan, lo terus dikasih nasgor setiap hari? Lo aja belum bilang makasi sama orangnya!"
"Gimana mau bilang makasi, Ji! Gue ajak gak tau siapa pengirimnya! Kalau dia mau macam-macam atau ngeracunin gue gimana??"
Panji menoyor kening Ryan. "Kelewat cerdas lo, hahahaha! Kalau emang dia penjahat, ia udah bunuh diri duluan karena capek masak nasgor tiap hari selama tiga bulan berturut-turut tapi lo gak mati-mati, Ck! Panji tertawa sarkas.
"Ya kan nasgornya selalu lo yang makan..." Ryan bergantian menoyor kening Panji.
"Oh iya bro, lupa gue hahahaha---Yaudah mana sini, gue aja yang makan. Laper nih!" Dengan paksa Panji meraih kotak makan itu dari tangan Ryan.
"Ets! Kayak kambing aja lo main makan---Sekarang giliran gue yang makan! Siapa tau kan yang ngirim makanan ini lagi ngeliatin gue?"
Ryan kembali menoleh kearah wanita yang masih setia duduk di bangku penonton. Discha yang semakin penasaran karena melihat Ryan mulai menyendok butiran nasi itu kedalam mulutnya.
"Semoga aja dia suka, perdana banget nih dia makan nasgor yang gue buat!" Wajah Discha sumringah, wanita itu terlihat bahagia.
Nyam
Terlihat kerongkongan Ryan begitu saja naik turun ketika menelan kunyahan nasi goreng buatan Discha.
"Yes!!" Tanpa sadar Discha bangkit berdiri dan mengucapkan kata yes diiringi dengan gerakan tubuh yang seolah sedang menari-nari karena kesenangan.
Ryan dan Panji pun menoleh lagi ke arah Discha yang sedang senang bukan main.
Lalu.
Rasa senang yang sedang memuncah tubuh Discha tidak berapa lama terhancurkan begitu saja, ketika ada suara hentakan nyaring dari jarak 10 meter.
"Hey!" Ryan memanggil ke arah Discha. Wanita itu pun terhenti dari gelak ringisan tawanya. Lalu tanpa aba-aba, ia langsung kabur dari sana. Ia berlari menjauhi Ryan dengan hati yang begitu membahagiakan.
"Siapa sih dia?" Ryan mulai tertarik untuk mencari tahu siapa wanita itu.
****
Dua hari berlalu. Sepertinya awan mendung tengah menghias wajah Ryan disudut lapangan basket. Ada suatu keceriaan yang menghilang dari raut wajahnya, lelaki itu terlihat kecewa ketika tidak lagi menemukan kotak bekal berisi nasi goreng yang akan selalu ia dapatkan didalam tasnya tanpa tahu siapa pengirimnya.
"Kemana si nasgor?" Ucapnya nyeleneh namun terlihat sedih dan juga rindu.
"Si nasgor cewek atau cowok ya? Kalau cewek sih gak apa-apa deh, nah kalau cowok, maho dong??" Ia terlihat membidik kan kedua bahunya karena merinding.
Ryan pun menoleh ke arah kursi yang sering di duduki oleh Discha disana. Ryan rindu juga dengan wanita yang selalu ia bilang aneh.
"Kemana juga tuh si aneh, kok tumben udah dua hari gak nongol? Biasanya selalu duduk disitu, sampai nungguin gue kelar main basket---" Ryan menghela nafasnya panjang.
"Ngapain juga gue nyariin, kenal juga enggak!" Ryan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil meraih tas yang ia sampirkan ke punggung. Ia pun berlalu meninggalkan lapangan basket yang sudah sepi dan kosong.
****
Sementara di rumah, Discha masih berbaring diranjang sambil menenggelamkan tubuhnya didalam selimut yang tebal dan hangat. Tidak lupa kaos kaki bergambar elsa terpasang untuk menutupi pijakan kaki nya.
"Masih demam lo, Dis?" Suara Kirana terdengar di sambungan telepon. Discha masih mengepit ponsel diantara telinga dan bantal nya.
"Udah mendingan, Ran. Gue udah di periksa bokap!"
Papa Discha adalah seorang Dokter umum, ia selalu memaksa agar anaknya bisa mengikuti jejaknya. Namun Discha tetap mempunyai pandangan sendiri, awalnya ia tetap ingin menjadi jurnalis---lalu berbelok menjadi mahasiswa pendidikan matematika. Sampai dimana kedua orang tuanya merasa, jalan fikiran anaknya sudah tidak waras. Tentu saja itu dilakukan hanya untuk mengejar cinta Ryan Hidayat, Kakak seniornya dulu di SMA.
"Lo diremid nih! Nilai lo jelek---Gue udah bilang berkali-kali, lo gak cocok jadi guru matematika, jangan hanya karena Kak Ryan, lo jadi salah arah! Lo buang masa depan lo dengan sia-sia..." Suara Kirana terus melengking, membuat Discha sedikit mendongakkan telinga dari ponselnya.
Tiba-tiba ada suara langkah kaki yang baru saja muncul di belakang tubuh Kirana. Lelaki itu tersentak kaget, ketika adik kelas yang baru saja ia ospek tiga bulan lalu sedang menyebutkan namanya di sambungan telepon.
"Kak Ryan kabarnya gimana, Ran?"
"Ya gak tau lah, emangnya gue cicak kayak lo, yang sering nungguin dia lama-lama di lapangan??"
Kedua mata Ryan membulat.
"Dia bingung gak ya, karena gue libur dulu gak bawain dia nasgor?" Tanya Discha lagi sambil menatap lampu kamar yang masih terang benderang.
"Udah deh, Dis. Lo lupain aja Kak Ryan, dia aja gak pernah ngehargain nasgor yang selalu lo kasih buat dia---atau sepucuk surat berisi puisi yang selalu lo taro dilokernya--emm, atau juga dia gak tau, kalau lo yang selalu nutupin motornya pakai plastik kalau lagi musim hujan---dan parahnya lo bela-belain masuk ke fakultas ini, biar terus bisa ngeliatin dia walau cuman dari jauh! Please beb, jangan bego lah! Mau sampe tua lo kayak gini?" Kirana berdecak kesal.
"Nah sekarang lo lagi sakit, tau gak dia? Ada juga gue yang terus teleponin lo, nanyain gimana kabar lo---Walau Kak Ryan emang gak salah sebenarnya, lo aja yang bego gak berani nunjukin kalau lo suka sama dia!"
Hanya ada nafas lemah dari seberang sana, seraya berfikir bahwa ucapan Kirana memang selalu benar dan bodohnya Discha hanya akan melahap semua petuah itu menjadi sebuah iringan iklan semata.
"Besok yakin udah masuk?" Tanya Kirana kembali ketika lawan bicaranya hanya terdiam diseberang sana.
"Iya, Ran. Ya udah gue tidur dulu ya, lo hati-hati pulangnya---"
"Iya, Dis. Lo juga jangan lupa minum obat--Jangan mikirin Kak Ryan terus, dia baik-baik aja kok. Tadi juga main basket kayak biasa!"
"Oke.."
Tutt. Sambungan telepon diantara keduanya pun terputus.
"Ya Allah...”
Kirana mengelus dadanya, ia tersentak kaget. Ketika mendapati sesosok orang di ada dibelakangnya sekarang. Dan ia begitu terperanjat kalau yang ia lihat saat ini adalah Ryan, yang sedari tadi ia bicarakan kepada Discha.
Ryan masih menatap tajam ke arah Kirana, wanita itu terlihat meringis dan menggigit bibir bawahnya. Memutarkan bola matanya kesana-kemari seraya berfikir untuk mencari ide agar bisa lolos tanpa pertanyaan.
Sejak kapan nih cowok ada dibelakang gue? Aduh bisa mati nih gue!
Lalu Kirana hanya bisa memberikan raut wajah cenayang.
"Misi Kak..." Kirana menundukkan kepalanya lalu melangkah untuk melewati bahu sang Kakak senior. Ia tetap memberikan wajah seimut bayi yang baru lahir.
"Tunggu!" Ryan mencengkram lengan Kirana. Langkah kakinya pun terhenti. Demi apapun wanita itu ingin segera hilang atau lenyap bagai tuyul yang sedang dikejar-kejar warga.
"Ada hal yang saya ingin bicarakan sama kamu!"
Desahan nafas Kirana terdengar kasar dan cepat. Sudah dipastikan riwayatnya dan Discha akan terkuak sore ini.
****
Keesokan paginya. Discha sudah masuk seperti biasa ke Kampus, ia tetap melakukan aktivitas rutinnya untuk kembali meletakan sekotak nasi goreng di tas Ryan seperti biasa.
Brag.
“Lo kenapa, Ran?” Tanya Discha kaget ketika melihat Kirana menggebrak mejanya dengan nafas tersengal-sengal, seperti orang yang baru saja melihat hantu. “Anu, Dis---itu!”
“Itu apa??’ Discha terus mengikuti ritme nafas Kirana yang terengah-engah namun pura-pura. “Kak Ryan pingsan, Dis! Sekarang lagi di ruang kesehatan.”
Discha tersentak kaget dan langsung berdiri dari kursi, dengan langkah seribu ia berlari untuk mencari keberadaan sang pangeran hati.
Terlihat Ryan sedang berbaring dengan mata terpejam dan Panji berdiri disampingnya, dua lelaki itu berpura-pura sakit untuk menunggu kedatangan Discha. Tak lama kemudian Discha sampai di ambang pintu ruang kesehatan. Ia melangkah pelan untuk memastikan apakah betul yang dikatakan oleh Kirana bahwa Ryan memang sedang bergolek lemas tidak sadarkan diri.
Ryan merasakan kedatangan Discha lalu ia mengedipkan sebelah matanya kepada Panji, bahwa drama akan segera dimulai. Panji mengangguk oke.
"Makanya Yan, udah gue bilang lo jangan makan nasgor mulu kalo pagi-pagi, lo kan anti mecin! Jadi sesak kan nafas lo!” Panji tetap berakting. Ucapan Panji sontak membuat Discha tertegun dan tidak terima.
“Tapi aku kalau masak nasgor gak pernah pakai mecin kok!” Ucap Discha menerobos ucapan Panji. Lalu Discha tersadar dan seketika menutup kedua mulut dengan telapak tangannya.
“Ups!” Discha langsung takut bahwa kelakuannya saat ini terbongkar. Ia pun beringsut untuk kabur namun Ryan seketika loncat dari ranjang dan mengunci tubuh Discha dari belakang.
“Sekarang saling jujur deh lo berdua, jangan lagi main pendam-pendam perasaan! Gue cabut ya Yan---” Panji pun berlalu.
“Maksudnya?” Batin Discha bertanya-tanya.
“Pendam perasaan, bukan cuman gue ya?” Keningnya terus mengerut.
Kedua mata Discha terbelalak ketika tubuhnya dipeluk dari belakang oleh Ryan. Ryan pun memutarkan tubuh Discha untuk berhadapan dengannya. Deru nafas Discha begitu memburu begitupun Ryan.
“Aku gak nyangka si silent love, si nasgor dan si aneh itu adalah kamu, Dis!” Ryan tersenyum. Discha hanya melongo, ia masih belum faham.
“Kirana udah ceritain semuanya sama aku kemarin! Ternyata kamu gak ngilang, Dis. Kamu disini sekarang! Sama aku, Ya allah---” Desah Ryan bahagia. Ryan seperti orang yang tengah mengeluarkan cerita yang masih ia pendam.
“Kakak senang aku disini?”
“Iya lah senang banget! Setelah aku tau angkatan kamu lulus, aku selalu datang ke SMA untuk cari kamu, aku mau pedekate sama kamu, tapi kamu gak pernah kelihatan lagi! Aku fikir kamu kuliah diluar kota. Ya udah aku hanya bisa stalking sosmed kamu.”
“APA?” Discha kembali terperangah, ia tidak percaya sama sekali. “Kakak suka sama aku?”
Ryan mengangguk. “Suka banget! Semenjak kejadian aku ngasih nafas buatan buat kamu---Aku terus terngiang-ngiang wajah kamu. Sempet sih aku lupain, tapi semakin dilupain. Aku semakin ingat sama kamu, Dis! Dan gak taunya rasa cinta aku terbalas, kamu juga cinta sama aku---”
Discha tersenyum bahagia, wajahnya merah merona. “Kok bisa samaan ya, Kak? Apa yang Kak Ryan rasain itu juga yang Discha rasain. Aku gak bisa, lupain wajah Kakak setelah kejadian waktu itu dilapangan...”
Ryan dan Discha saling menatap dalam suka, cinta dan rindu.
“Cieh—cieh—cieh...jadian nih! Peje dongg, iya gak, Kak?” Suara Kirana membuyarkan tatapan mereka dari ambang pintu.
“Iya dong, Yan. Gue sama Kirana ditraktir, peje kalian udah ketemu!” Ucap Panji yang merangkul tubuh Kirana.
Ryan dan Discha hanya tertawa malu, kemudian mereka kembali saing menatap dan Ryan meraih tangan Discha untuk diiciumnya. “Makasi atas segala kebaikan dan perhatian kamu selama ini ya---Aku sayang kamu, Dis!” Ryan pun mengecup pipi Discha. “Pipi dulu aja ya, kalau bibir nanti aja pas dua cecunguk itu gak ada---” Ryan berbisik sambil tertawa.
“Iiih, Kakak!” Wajah Discha seketika berubah jadi merah seperti tomat. Mereka pun tertawa kembali.
Selesai sudah pengorbanan yang sudah dilakukan oleh Discha. Ia tidak akan menyangka lelaki yang amat ia cintai mati-matian juga begitu menginginkan dirinya. Tentu saja jodoh tidak akan selalu datang dengan awal yang manis, karena jodoh bisa juga datang dari awal yang perih dan menyiksa batin serta jiwa.
****
created by Megadischa Putri