Panggil aku Wini. Umurku empat tahun--saat itu.
Aku selalu menangis kala senja menyapa. Hari yang mulai gelap terasa seperti mimpi buruk yang menyesakkan. Tak ada belai kasih ibu, tidak ada yang mengantarkan tubuh kecilku beristirahat menggapai lelap dengan kehangatan, selain teteh yang tingginya bahkan tak jauh dari kepalaku. Teh Sari.
Bapak kami ada, tapi dia seperti memiliki dunianya sendiri. Kami hanya kadang-kadang diurusinya.
"Ibu kapan pulang ya, Teh?“
Setiap kali pertanyaanku itu meluncur, Teteh hanya selalu menjawab, “Sebentar lagi.“
Sebentar lagi yang entah kapan. Dia meniru jawaban bapak, tidak ada kepastian di dalamnya.
Sudah dua tahun ibu pergi meninggalkan kami ke negeri orang, yang katanya demi merubah nasib.
Ya, taraf kehidupan kami yang menyedihkan.
Kami miskin.
Selain tak punya tempat tinggal, kami juga susah bahkan untuk sekedar makan.
Gubuk kecil yang ditinggali adalah milik tetangga yang kapanpun bisa saja harus kami tinggalkan.
Rasanya seperti dikejar badai.
Dan Bapak ....
Semenjak ibu pergi mengadu nasib di Timur Tengah, dia sering tak berada di rumah. Selain pekerjaannya yang seorang pencari kodok di malam hari, siangnya Bapak entah kemana. Katanya sering main dangdutan dengan teman-temannya. Itu sama sekali tidak membantu apa pun.
Aku dan kakak seringkali kesepian. Kami dititipkan pada nenek yang kesulitannya pun tak jauh beda.
Hingga suatu ketika, perutku lapar. Kulihat hanya ada sepiring nasi dingin di meja. Kakakku yang berusia tiga tahun di atasku mencari cara agar perutku bisa terisi. Ia kelabakan ke sana kemari--bingung. Sementara aku hanya menangis.
Hingga beberapa saat kemudian, ia memperlihatkan telapak tangannya yang berisi uang koin lima ratus rupiah, yang ditemukannya di dalam kantong kemeja bapak yang tergantung di dalam kamar.
Uang itu kami belikan satu butir telur, yang kala itu masih seharga uang yang Teteh temukan. Namun naas, telur itu pecah di perjalanan sepulang dari warung. Aku dan Teteh pulang dengan lunglai dan perasaan hampa. Batal sudah makan dengan menu nasi dan telur ceplok. Hiks.
Dan masih banyak kejadian miris lain dari dua anak kecil ini yang menyedihkan ini.
***
Satu tahun berlalu dan ibu benar-benar pulang.
"Kalian berdua baik - baik saja? Anak-anakku?“ Ibu menangis sembari merangkul kami berdua, aku dan Teh Sari.
Akhirnya setelah menjalani tahun yang sepi dan menyedihkan, kami kembali bisa menatap Ibu sesuka hati, makan dari suapan tangannya, hingga tidur dengan pelukan hangat.
Itu anugerah paling indah yang terasa surga.
Hari demi hari yang aku jalani akhirnya berganti tahun. Kini aku sudah menginjak kelas empat SD. Anggota keluargaku bertambah satu. Hanif, adik laki - lakiku, yang terlahir dua tahun setelah kepulangan ibu dari Arab Saudi.
Kehidupan keluarga kami tidak banyak berubah, tapi setidaknya rumah ini terasa nyaman dan kami tidak perlu memikirkan akan terusir suatu waktu. Hasil kerja keras dan perasan keringat ibu, seperti mata air surga yang menyejukkan.
Ibuku beralih profesi menjadi seorang penjual gorengan. Dan gorengannya itu aku dan Tetehlah yang menjajakkannya keliling kampung, demi selembar uang seribu rupiah yang dijanjikan Ibu sebagai upah.
"Alhamdulillah habis, Teh," kataku sumringah.
"Iya. Ayo pulang," sahut Teteh.
Kami pulang dengan perasaan bangga. Seribu rupiah sudah sah menjadi hak milik. Senangnya....
Tahun demi tahun berlalu.
Teteh sudah menemukan jodohnya lebih dulu di usia 18 tahun.
Dan aku mulai mengenal sebuah kata yang kadang membuatku tak bisa tidur dengan nyenyak semalaman.
Cinta.
Di usia ke 22, aku menikah dengan seorang lelaki impian. Dia hangat, santun, pemberani dan bertanggung jawab. Galih Sapta.
***
Teringat kata - kata ibu sebelum aku menikah.
"Neng, maaf, Ibu belum bisa bahagiakan kamu. Belum bisa membelikan apa pun yang ingin kamu beli seperti teman-temanmu yang lain." Dalam sesalnya dia menangis
"Kalau kamu menginginkan apa pun, kelak suamimu yang akan mengabulkan dan mencukupkannya. Hanya sampai di sini batas kesanggupan Ibu dan bapakmu.“
Dan kini semua itu terwujud sudah. Doamu terkabul, Bu. Suamiku baik dan penuh kasih sayang. Aku bahagia karena do'amu.
Terima kasih, Ibu.
Asa yang kurajut, kini telah membentang menjadi hamparan kebahagiaan.
TAMAT