𝗸𝗮𝗹𝗼 𝗮𝗸𝘂 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵 𝘀𝗮𝗿𝗮𝗻𝗶𝗻 𝗰𝗼𝗯𝗮 𝗰𝗮𝗿𝗶 𝗹𝗮𝗴𝘂 "𝙍𝙪𝙢𝙥𝙖𝙣𝙜" -𝙉𝙖𝙙𝙞𝙣 𝙖𝙢𝙞𝙧𝙯𝙖𝙝.
Aku selalu punya pemikiran tentang masa depan bersamamu.
Tentang bagaimana hidup—yang sering kali kejam—akhirnya mau berdamai karena ada kamu di sisiku.
Gadis yang kucintai, Aluna.
Cantik. bukan cuma parasnya, tapi caranya membuat dunia terasa sedikit lebih masuk akal. Aku sering merasa aneh sendiri—lelaki dengan seribu kekurangan bisa dicintai perempuan sesempurna dia. Tapi Aluna selalu bilang cinta bukan soal pantas atau tidak, melainkan bertahan atau pergi. Dan dia… memilih bertahan.
“Aku memilih kamu,” katanya suatu malam, suaranya lembut tapi yakin.
“Karena kamu bisa bikin aku ketawa lepas di saat hatiku lagi hancur. Kamu rumah yang aman. Dan lelaki seperti kamu… itu impian banyak perempuan.”
Kata-kata itu nempel lama di kepala ku.
Bahkan sampai hari ini.
Aku yakin kita akan bersama sampai akhir.
Keyakinan bodoh, mungkin. Tapi waktu itu rasanya nyata. Kita saling mencintai, tujuan kita sama. Aku sering berkhayal tentang hari di mana kita berhenti menabung rindu dan mulai hidup bersama.
Menikah.
Kamu dengan gaun putihmu.
Aku dengan tangan gemetar pas nyelipin cincin di jari manismu.
Kita berdiri di depan orang-orang, bersumpah setia seumur hidup.
Indah, ya?
Terlalu indah, ternyata.
Karena selalu ada rintangan di ujung cerita.
Hubungan kita dipisahkan jarak dan tembok yang tinggi. LDR. Kata yang sering diremehkan orang, tapi diam-diam menguras segalanya. Waktu, emosi, tenaga, dan kesabaran.
Tapi aku tetap memilih kamu.
Selalu kamu.
Sampai suatu hari, temanku nyeletuk,
“Ka, malam Minggu nongkrong yuk. Cafe baru tuh.”
Aku cuma senyum, lalu nunjukin lock screen ponselku—wajah Aluna, senyum yang selalu bikin dadaku hangat.
“Sorry, gue mau nyamperin cewe gue. Jarang ketemu.”
“Buset, bucin. Lo pacaran berapa lama sih?”
“Delapan tahun,” jawabku santai, sambil ngaduk es kopi.
“Cuma ya… LDR.”
Mereka ketawa.
Gue ikut ketawa.
Padahal capek banget, Lun.
________________________________________
𝗴𝗮𝗻𝘁𝗶 𝗹𝗮𝗴𝘂 𝘆𝘂𝗸? "𝙍𝙪𝙣𝙩𝙪𝙝" -𝗳𝗲𝗯𝘆 𝗽𝘂𝘁𝗿𝗶
________________________________________
Sore itu aku datang ke tempat yang selalu jadi tujuan terakhir tiap Sabtu. Tempat yang sepi, angin sepoi-sepoi, bunga-bunga layu berserakan. Langkahku berhenti di satu titik yang paling aku kenal.
Satu makam.
Dengan bunga matahari di sampingnya.
“Hai, Luna,” kataku pelan.
“Udah lama ya gue ga ke sini. Deadline kejar-kejaran.”
Aku taruh bunga itu hati-hati.
“Gue bawain bunga matahari. Gue semprotin juga parfum yang lo suka. Seneng ga?”
Sunyi.
Selalu sunyi.
Aku duduk di samping makam itu, ngusap batu nisan bertuliskan Aluna Dewi Kartika. Dan entah kenapa, air mata jatuh begitu aja—tanpa aba-aba
Tangannya gemetar waktu nyentuh batu nisan.
“Luna…”
“Lo tau ga sih… gue latihan kuat tiap hari, tapi selalu gagal pas nyebut nama lo.”
Diam.
Angin lewat.
Arka ketawa kecil—patah.
“Lucu ya… gue masih manggil lo kayak lo bisa jawab.”
“Padahal lo udah ga pernah bales apa-apa sejak hari itu.”
Ia narik napas dalam-dalam.
“Gue capek, Lun.”
“Capek pura-pura baik-baik aja di depan orang.”
“Capek senyum tiap ada yang nanya ‘udah ikhlas belum?’”
Suaranya mulai turun.
“Emang ikhlas tuh bentuknya gimana sih?”
“Kalau gue masih kangen, berarti gue egois?”
“Kalau gue nangis tiap malem, berarti gue gagal jadi orang dewasa?”
Tangannya mengepal di tanah.
“Lo bilang gue rumah.”
“Tapi sekarang… rumah gue kosong.”
“Sepi banget sampe gema suara gue sendiri bikin takut.”
Arka nengadah ke langit yang mendung.
“Lo inget ga, Lun?”
“Malam itu lo bilang, ‘kalau suatu hari aku ga ada, kamu jangan nyerah ya.’”
Ia ketawa lirih.
“Gampang banget lo ngomongnya.”
“Yang ditinggalin kan gue.”
Air matanya jatuh, satu-satu.
“Gue masih nyiapin masa depan buat kita, Lun.”
“Masih nabung.”
“Masih ngebayangin rumah kecil.”
“Masih mikir nama anak.”
Suaranya pecah.
“Padahal orangnya… udah ga ada.”
Ia nyentuh batu nisan itu, lama.
“Lo tau yang paling nyakitin apa?”
“Gue ga pernah capek nyintai lo.”
“Yang capek itu… nerima kenyataan kalo lo ga bisa gue peluk lagi.”
Hening.
“Kadang gue berharap ini cuma mimpi panjang.”
“Dan suatu pagi gue bangun, liat chat lo masuk.”
‘Ka, bangun. Aku mimpi buruk.’
Arka ngusap wajahnya kasar.
“Gue iri sama orang-orang yang LDR beda kota.”
“Setidaknya mereka masih bisa nunggu.”
“Gue?”
“Gue nunggu apa, Lun?”
Suaranya makin pelan, hampir berbisik.
“Kalau lo denger gue sekarang…”
“Gue mau bilang—gue ga marah.”
“Gue cuma kehilangan.”
Ia nunduk, dahinya nempel di batu nisan.
“Lo ga perlu bangun.”
“Gue tau lo capek.”
“Cuma… izinin gue kangen, ya?”
Tangisnya pecah.
“Gue janji ga akan lupa.”
“Gue janji cinta gue ke lo ga mati di sini.”
Ia berdiri perlahan.
“Tidur yang tenang, calon istri gue.”
“Di dunia yang ga ada gue… tapi gue ada di setiap doa lo.”
Arka melangkah pergi.
Dan di belakangnya—
cinta itu tetap tinggal.
________________________________________
𝗘𝗻𝗱
"𝘂𝗱𝗮𝗵 𝘁𝗲𝗿𝗹𝗮𝗻𝗷𝘂𝗿 𝗰𝗶𝗻𝘁𝗮, 𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗽𝗲𝗱𝘂𝗹𝗶 𝗿𝗶𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗻𝘆𝗮, 𝗺𝗮𝘂 𝗯𝗲𝗱𝗮 𝗱𝘂𝗻𝗶𝗮 𝘀𝗲𝗸𝗮𝗹𝗶𝗽𝘂𝗻, 𝗸𝗮𝗹𝗼 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗮𝗸𝘂 𝗰𝗶𝗻𝘁𝗮 𝘁𝗲𝘁𝗮𝗽 𝗱𝗶𝗮 𝗴𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮?" -𝓐𝓻𝓴𝓪.