Aku Riani Anjani, Siswi Di Ikhlas International School. Dahulu, Hari-Hariku Terasa Sangat Sederhana Dan Menyenangkan. Aku Selalu Menghabiskan Waktu Bersama Sahabat-Sahabatku, Tertawa Di Kantin Hingga Bel Masuk Berbunyi. Namun, Segalanya Berubah Sejak Zery Ardiansyah Hadir Dalam Hidupku.
Perlahan Namun Pasti, Dunianya Menjadi Duniaku. Teman-Temanku Mulai Menjauh Karena Waktuku Habis Tercurah Hanya Untuk Zery. Ada Rasa Bersalah Yang Tersembunyi, Namun Magnet Kehadiran Zery Terlalu Kuat Untuk Aku Tolak.
Sore Itu, Langit Berwarna Jingga Keemasan. Zery Memintaku Menemuinya Di Taman Belakang Sekolah, Tempat Yang Biasanya Sepi Dari Riuh Siswa Lain. Kami Duduk Bersisian Di Bangku Kayu Tua Yang Sudah Mulai Mengelupas Catnya. Keheningan Di Antara Kami Terasa Berbeda, Ada Ketegangan Yang Manis Namun Mendebarkan.
"Ada Apa? Kamu Memanggilku Ke Sini, Zer?" Tanyaku Dengan Nada Bingung, Mencoba Memecah Kesunyian.
Zery Menarik Napas Panjang, Matanya Menatap Lurus Ke Arah Pohon Mahoni Di Depan Kami. "Aku Ingin Mengatakan Sesuatu, Ria!" Katanya. Ia Berhenti Sejenak, Jemarinya Terlihat Gelisah Memainkan Ujung Seragamnya.
"Katakan Saja, Zer. Jangan Membuatku Penasaran," Ucapku Sambil Memaksakan Sebuah Senyuman Kecil.
Zery Memutar Tubuhnya Menghadapku. Tatapannya Kini Terkunci Tepat Di Mataku. "Ria, Aku Tahu Kita Sudah Melewati Banyak Hal Beberapa Bulan Ini. Aku Juga Tahu Bahwa Karena Aku, Kamu Mungkin Kehilangan Waktu Bersama Teman-Temanmu. Tapi Aku Tidak Bisa Berbohong Lagi Bahwa Aku Menikmati Setiap Detik Bersamamu."
Jantungku Berdegup Kencang. Suasana Taman Yang Tadinya Tenang Kini Terasa Begitu Riuh Oleh Detak Jantungku Sendiri.
"Riani Anjani, Aku Menyukaimu. Lebih Dari Sekadar Teman Berbagi Cerita. Apakah Kamu Mau Menjadi Bagian Penting Dalam Hariku Mulai Sekarang?"
Aku Tertegun. Di Satu Sisi, Ada Kebahagiaan Yang Meluap. Namun Di Sisi Lain, Bayangan Teman-Temanku Yang Kini Menjauh Melintas Di Pikiran. Inilah Momen Yang Mengubah Segalanya.
Akhirnya, Aku Menerima Cinta Zery. Namun, Seiring Berjalannya Waktu, Hubungan Kami Tidak Seperti Yang Aku Bayangkan. Zery Mulai Menunjukkan Sisi Lain Yang Membuatku Merasa Tertekan. Ia Selalu Ingin Menang Sendiri Dan Sering Kali Melewati Batas Kehormatanku Sebagai Seorang Gadis.
Suatu Hari, Zery Membawaku Ke Sebuah Gedung Kosong Yang Terletak Tepat Di Sebelah Ikhlas International School. Suasana Di Sana Sangat Sunyi, Hanya Ada Debu Dan Cahaya Remang Yang Masuk Dari Celah Jendela Tua. Perasaanku Mulai Tidak Enak.
"Kita Ngapain Di Sini, Zer?" Tanyaku Dengan Nada Bingung Sekaligus Cemas.
Zery Tidak Menjawab Dengan Kata-Kata. Ia Justru Melangkah Maju, Menyudutkan Tubuhku Hingga Punggungku Bertemu Dengan Dinginnya Tembok Gedung Kosong Itu. Kedua Tangannya Mengunci Pergerakanku Di Antara Dinding, Membuatku Tak Memiliki Jalan Keluar.
"Aku Hanya Ingin Berdua Denganmu, Ria," Bisik Zery Dengan Suara Rendah Yang Membuat Nyaliku Ciut.
Tanpa Aba-Aba Lagi, Zery Langsung Memperpendek Jarak Dan Mencium Bibirku Dengan Paksa. Jantungku Serasa Berhenti Berdetak. Degh! Inilah Ciuman Pertamaku, Sesuatu Yang Seharusnya Terasa Indah, Namun Kini Terasa Seperti Mimpi Buruk.
"Cup! Aku Menginginkanmu, Riana. Aku Sudah Lama Menunggu Momen Ini," Ungkap Zery Di Sela Napasnya Yang Memburu. Ia Kembali Melanjutkan Aksinya, Mencoba Memperdalam Ciuman Itu Tanpa Memperdulikan Ketakutanku.
"Mmmmpppsss!" Aku Mulai Meronta. Dadaku Terasa Sesak Dan Pasokan Oksigen Semakin Menipis. Aku Memukul-Mukul Dada Zery Dengan Keras, Berusaha Memberi Tahu Bahwa Aku Kehabisan Napas Dan Ingin Ia Berhenti. Rasa Takut Kini Menjalar Ke Seluruh Tubuhku, Menyadari Bahwa Zery Yang Aku Cintai Telah Berubah Menjadi Sosok Yang Asing.
Zery Melepaskan Tautannya Perlahan, Namun Tangannya Masih Mengunci Pergerakanku Di Tembok Dingin Itu. Nafasku Tersengal, Bukan Karena Rasa Bahagia, Melainkan Karena Rasa Terkejut Yang Luar Biasa. Jantungku Berdebar Begitu Hebat Hingga Rasanya Sakit.
"Zer, Tolong Hentikan," Bisikku Dengan Suara Yang Bergetar. Aku Menatap Matanya, Berharap Menemukan Zery Yang Lembut Seperti Biasanya, Namun Yang Kulihat Hanyalah Obsesi Yang Menakutkan.
Zery Tersenyum Tipis, Jemarinya Mengusap Pipiku Dengan Kasar. "Kenapa, Ria? Kita Sudah Berpacaran, Bukan? Bukankah Ini Hal Yang Wajar Bagi Dua Orang Yang Saling Mencintai?"
Aku Menggelengkan Kepala Dengan Cepat. Pikiranku Langsung Tertuju Pada Teman-Temanku Yang Dulu Selalu Mengingatkakanku. Mereka Pernah Berkata Bahwa Zery Terlalu Menuntut, Namun Aku Menutup Telinga. Kini, Di Dalam Gedung Kosong Yang Lembap Dan Gelap Ini, Aku Merasakan Kebenaran Dari Ucapan Mereka.
"Ini Terlalu Cepat, Zer. Aku Ingin Pulang," Ucapku Sambil Mencoba Mendorong Bahunya. Namun, Zery Justru Semakin Mendekatkan Wajahnya, Membuat Bulu Kudukku Berdiri.
"Jangan Menolakku, Ria. Kamu Sudah Memilihku Daripada Teman-Temanmu Itu, Bukan? Jangan Biarkan Pengorbananmu Sia-Sia," Bisik Zery Tepat Di Telingaku, Suaranya Terdengar Seperti Ancaman Yang Terbungkus Manis.
Rasa Takut Kini Benar-Benar Menguasai Diriku. Aku Menyadari Bahwa Lelaki Di Depanku Ini Bukanlah Seseorang Yang Melindungiku, Melainkan Seseorang Yang Ingin Mengendalikan Seluruh Hidupku. Di Balik Dinding Gedung Tua Ini, Aku Sadar Bahwa Aku Harus Menemukan Cara Untuk Melarikan Diri, Bukan Hanya Dari Ruangan Ini, Tapi Juga Dari Hubungan Yang Mulai Menghancurkan Diriku Sendiri.
Tanpa Aba-Aba Lagi, Zery Mulai Menyusupkan Tangannya Ke Dalam Bajuku. Sentuhannya Terasa Begitu Dingin Dan Asing, Membuat Seluruh Tubuhku Bergetar Hebat Karena Rasa Takut. Aku Berusaha Sekuat Tenaga Untuk Menghalaunya, Menahan Tangannya Agar Tidak Melangkah Lebih Jauh.
"Ngghhh, Zery... Ini Salah!" Kataku Dengan Suara Parau Di Sela-Sela Pergulatan Itu. Suaraku Tercekat Di Tenggorokan, Rasanya Ingin Berteriak Namun Lidahku Kelu.
Zery Tidak Berhenti. Ia Justru Semakin Menjadi Dan Meremas Milikku Secara Paksa, Mengabaikan Setiap Penolakan Yang Aku Berikan. Aku Berusaha Mendorong Bahunya, Namun Tenaganya Jauh Lebih Kuat Dariku.
"Ria, Diamlah. Kalau Kamu Benar-Benar Mencintaiku, Kamu Tidak Akan Menolak. Ini Bukti Cinta Kita," Bisik Zery Dengan Nada Yang Sangat Manipulatif.
Kata-Kata Terakhir Zery Itu Bagaikan Petir Yang Menyambar Kesadaranku. Kalimat "Bukti Cinta" Itu Membuat Pertahananku Perlahan Runtuh. Pikiranku Menjadi Kacau. Antara Rasa Sayang Yang Tersisa, Rasa Takut Kehilangan Dia, Dan Kebingungan Atas Apa Yang Benar Dan Salah. Aku Terpaku, Tubuhku Lemas Tak Berdaya.
Aku Terbujuk Rayuan Manis Zery Saat Ia Membisikkan Bahwa Semua Ini Adalah Bukti Cinta Sejati Kami. Di Tengah Kegelapan Gedung Kosong Itu, Logikaku Benar-Benar Lumpuh Oleh Rasa Takut Akan Kehilangan Dirinya. Aku Percaya Pada Janji Palsu Bahwa Inilah Cara Untuk Mengikat Hati Kami Selamanya.
Dengan Hati Yang Berat Dan Air Mata Yang Mengalir Tanpa Suara, Aku Menyerahkan Segalanya Kepada Zery. Segalanya Yang Selama Ini Aku Jaga Dengan Hati-Hati, Kini Hilang Begitu Saja Di Bawah Tekanan Dan Manipulasi. Aku Merasa Seolah-Olah Diriku Bukan Lagi Riani Anjani Yang Dulu; Gadis Ceria Yang Selalu Tertawa Bersama Teman-Temannya.
Setelah Segalanya Berakhir, Keheningan Di Dalam Gedung Itu Terasa Begitu Mencekam. Zery Merapikan Pakaiannya Seolah Tidak Ada Hal Besar Yang Terjadi, Sementara Aku Hanya Bisa Terduduk Lemas Dengan Perasaan Hampa Yang Luar Biasa. Aku Menatap Langit-Langit Gedung Yang Berdebu, Menyadari Bahwa Mahkota Yang Aku Miliki Telah Direnggut Oleh Seseorang Yang Mengatasnamakan Cinta Untuk Nafsunya Sendiri.
Hari Demi Hari Terus Berlalu. Di Mata Orang Lain, Hubunganku Dengan Zery Terlihat Semakin Harmonis. Ia Menjadi Sosok Yang Sangat Romantis Dan Hangat, Selalu Menghujaniku Dengan Perhatian Yang Seolah Tak Ada Habisnya. Namun, Di Balik Keromantisan Itu, Ada Harga Sangat Mahal Yang Harus Aku Bayar. Aku Terjebak Menjadi Pemuas Dari Pikiran-Pikiran Liarnya Setiap Kali Ia Membutuhkanku.
Aku Kehilangan Kebebasanku. Aku Harus Selalu Siap Sedia Kapan Pun Zery Memanggil, Menuruti Segala Keinginannya Yang Terkadang Membuat Hatiku Menjerit Karena Malu Dan Lelah.
"Sayang! Hari Ini Kamu Ikut Ke Rumah, Ya?" Pinta Zery Suatu Siang, Sambil Menggenggam Tanganku Erat Di Depan Kelas. Tatapannya Yang Lembut Namun Menuntut Itu Selalu Berhasil Mengunci Keinginanku Untuk Menolak.
Karena Aku Terlanjur Sangat Mencintai Zery Dan Merasa Sudah Tidak Memiliki Apa-Apa Lagi Selain Dirinya, Aku Selalu Pasrah Mengikuti Keinginannya. Aku Merasa Terikat Oleh Kejadian Di Gedung Kosong Itu, Seolah-Olah Diriku Adalah Miliknya Sepenuhnya.
"Baiklah, Setelah Pulang Sekolah Kita Ke Rumahmu," Jawabku Dengan Suara Pelan, Mencoba Menutupi Keraguan Yang Selalu Muncul Di Dalam Benakku.
Aku Tahu Apa Yang Akan Terjadi Jika Kami Hanya Berdua Di Rumahnya. Pikiranku Mulai Membayangkan Betapa Beratnya Menjalani Peran Ini Terus-Menerus. Di Tengah Kebisingan Siswa Ikhlas International School Yang Bersiap Pulang, Aku Merasa Sangat Kesepian Dan Terasing, Menuju Sebuah Rumah Yang Bukan Menjadi Tempat Berlindung, Melainkan Tempat Di Mana Harga Diriku Kembali Dipertaruhkan.
Jam Pulang Sekolah Yang Dinanti Oleh Semua Siswa Akhirnya Tiba. Suasana Ikhlas International School Berubah Menjadi Riuh Oleh Suara Gelak Tawa Dan Deru Mesin Kendaraan. Namun, Bagiku, Bunyi Bel Terakhir Itu Terasa Seperti Lonceng Peringatan Yang Menakutkan.
Kini Aku Berada Di Parkiran Sekolah, Berdiri Di Samping Motor Besar Milik Zery. Aku Menunggu Dengan Perasaan Yang Campur AduK. Sesekali Aku Melihat Teman-Teman Lamaku Berjalan Melewati Parkiran Sambil Bercanda, Tanpa Menoleh Sedikit Pun Ke Arahku. Aku Merasa Seperti Orang Asing Di Sekolahku Sendiri.
Tanganku Terasa Dingin Dan Lembap. Setiap Detik Yang Berlalu Terasa Begitu Lambat Saat Aku Memikirkan Janjiku Untuk Ikut Ke Rumahnya. Aku Tahu Benar Apa Yang Menungguku Di Sana. Bukan Belajar Bersama Atau Sekadar Mengobrol, Melainkan Permintaan-Permintaan Zery Yang Semakin Sulit Untuk Aku Tolak.
Tidak Lama Kemudian, Sosok Zery Muncul Dari Balik Koridor. Ia Berjalan Dengan Gaya Tenang Dan Percaya Diri, Melemparkan Senyum Manis Yang Dulu Sangat Aku Kagumi, Namun Kini Mulai Terasa Menyesakkan. Ia Mempercepat Langkahnya Saat Melihatku Sudah Menunggu.
"Sudah Lama Menunggu, Sayang?" Tanyanya Sambil Mengusap Rambutku Dengan Lembut Di Depan Banyak Orang, Seolah Ingin Menunjukkan Bahwa Aku Adalah Miliknya Sepenuhnya.
Aku Hanya Bisa Mengangguk Lemah Dan Memaksakan Sebuah Senyuman. "Tidak Terlalu Lama, Zer."
Zery Segera Menaiki Motornya Dan Menyerahkan Helm Kepadaku. "Ayo Naik. Mama Dan Papa Sedang Tidak Ada Di Rumah Sampai Malam. Kita Bisa Benar-Benar Bebas Hari Ini."
Kata "Bebas" Yang Ia Ucapkan Terdengar Sangat Berbeda Di Telingaku. Baginya Itu Adalah Kebebasan, Namun Bagiku Itu Adalah Penjara Yang Semakin Menjerat Hidupku. Dengan Ragu, Aku Naik Ke Boncengan Motornya, Memeluk Pinggangnya Erat Saat Motor Mulai Melaju Membelah Jalanan, Menuju Destinasi Yang Semakin Menjauhkan Diriku Dari Riani Yang Dulu.
Kini Aku Dan Zery Sudah Berada Di Rumahnya. Ini Adalah Kali Pertama Aku Menginjakkan Kaki Di Kediaman Mewah Bernuansa Modern Itu. Jantungku Berdebar Tidak Karuan, Memikirkan Apa Yang Akan Terjadi Setelah Ini. Namun, Begitu Pintu Utama Terbuka, Pemandangan Di Depanku Membuatku Terkejut.
Di Ruang Tamu, Terlihat Seorang Wanita Yang Masih Sangat Muda, Mungkin Hanya Satu Atau Dua Tahun Lebih Tua Dariku. Penampilannya Sangat Modis Dan Ia Terlihat Sangat Santai Di Rumah Ini. Aku Berpikir Bahwa Ia Mungkin Adik Atau Kakak Perempuan Zery Yang Tidak Pernah Ia Ceritakan Sebelumnya.
"Hai, Kak," Sapaku Dengan Sopan Sambil Menunjukkan Senyum Terbaikku.
Wanita Itu Menoleh Ke Arahku, Menatapku Dari Ujung Rambut Hingga Ujung Kaki Sebelum Akhirnya Balas Tersenyum. "Hai, Kamu Yang Namanya Riani Anjani, Ya?" Tanya Wanita Tersebut Dengan Nada Suara Yang Terasa Begitu Akrab, Seolah Ia Sudah Mengenalku Sejak Lama.
Aku Merasa Sangat Heran. Bagaimana Bisa Ia Mengetahui Nama Lengkapku Padahal Kami Belum Pernah Bertemu? Di Dalam Hati, Aku Berasumsi Bahwa Zery Pasti Sudah Banyak Bercerita Tentang Hubungan Kami Kepada Keluarganya. Ada Sedikit Rasa Bangga Sekaligus Bingung Yang Terlintas Di Pikiranku.
"Kenalkan, Namaku Puput," Kata Perempuan Itu Sambil Mengulurkan Tangannya.
Aku Membalas Jabatannya Dan Memberikan Anggukan Kecil Sambil Tetap Mempertahankan Senyumku. "Iya Kak, Salam Kenal."
Zery Hanya Berdiri Di Sampingku Dengan Ekspresi Wajah Yang Sulit Diartikan. Ia Tidak Menjelaskan Siapa Puput Sebenarnya, Namun Tatapan Mata Antara Zery Dan Puput Seolah Menunjukkan Ada Rahasia Yang Tidak Aku Ketahui. Suasana Yang Tadi Kupikir Akan Menjadi Intim, Kini Berubah Menjadi Sangat Canggung Dan Penuh Tanya.
Aku Merasa Sedikit Lega Karena Diterima Dengan Baik Di Rumah Itu. Perempuan Bernama Puput Terlihat Sangat Ramah, Menghilangkan Sedikit Kecemasanku Dengan Sikapnya Yang Hangat. Tidak Lama Kemudian, Ia Kembali Dari Dapur Sambil Membawa Segelas Minuman Dingin Untukku.
"Silakan Diminum, Ria. Jangan Sungkan," Ujar Zery Sambil Menatapku, Memastikan Aku Menghabiskan Minuman Yang Disuguhkan Itu.
Tanpa Menaruh Rasa Curiga, Aku Meminumnya Hingga Tandas. Rasa Dinginnya Sedikit Menenangkan Sarafku Yang Tegang. Namun, Ketenangan Itu Tidak Bertahan Lama. Tak Lama Setelah Gelas Itu Kosong, Zery Menarik Tanganku Dan Mengajakku Menuju Kamar Mandi Yang Berada Di Area Belakang Rumah.
"Ikut Aku Sebentar, Ria," Bisiknya Dengan Nada Yang Tidak Menerima Penolakan.
Di Dalam Kamar Mandi Yang Tertutup Rapat Itu, Zery Kembali Melakukan Hal Yang Tidak Senonoh. Ia Memaksakan Keinginannya Tanpa Mempedulikan Tempat Ataupun Rasa Maluku. Sekali Lagi, Aku Menemukan Diriku Berada Dalam Posisi Di Mana Aku Tidak Bisa Melawan. Tubuhku Terasa Lemas, Entah Karena Pengaruh Minuman Itu Atau Karena Mentalku Yang Sudah Benar-Benar Runtuh Di Bawah Dominasinya.
Aku Hanya Bisa Terpaku Dan Menuruti Setiap Kemauannya Di Tengah Suara Gemercik Air Yang Menyamarkan Segalanya. Di Dalam Ruangan Lembap Itu, Aku Menangis Tanpa Air Mata, Meratapi Diriku Yang Semakin Jauh Terperosok Ke Dalam Lubang Yang Zery Gali Untukku. Aku Sadar Bahwa Keramahan Puput Dan Minuman Itu Hanyalah Gerbang Menuju Penderitaan Berikutnya Yang Harus Aku Tanggung.
Setelah Puas Menuntaskan Nafsu Bejatnya, Zery Bergegas Meninggalkanku Begitu Saja Di Dalam Kamar Mandi Tanpa Sepatah Kata Pun. Aku Berdiri Di Sana Dengan Tubuh Gemetar, Merapikan Kembali Pakaianku Sambil Menahan Rasa Hina Yang Luar Biasa. Setelah Selesai Membersihkan Diri Dan Mencoba Menenangkan Jantungku Yang Terus Berpacu, Aku Melangkah Keluar Dengan Perasaan Hampa.
Saat Berjalan Menuju Ruang Tengah, Langkahku Terhenti Di Depan Sebuah Kamar Dengan Pintu Yang Sedikit Terbuka. Suara Desahan Dan Percakapan Dari Dalam Membuat Darahku Terasa Berhenti Mengalir. Melalui Celah Kecil Itu, Aku Melihat Pemandangan Yang Menghancurkan Seluruh Hidupku: Zery Dan Puput Sedang Berciuman Dengan Begitu Mesra.
"Ngghh... Ahh... Sudah, Zer," Kata Puput Sambil Mencoba Melepaskan Diri Dari Pelukan Erat Zery.
"Aku Sudah Menuntaskan Hasratku Dengan Wanita Lain Tanpa Menyentuhmu, Puput! Aku Tidak Bisa Menerima Ini Lagi. Jika Kamu Mau, Mari Kita Menikah. Aku Sangat Mencintaimu," Ucap Zery Dengan Nada Suara Yang Begitu Tulus—Nada Suara Yang Jauh Berbeda Dengan Apa Yang Sering Ia Bisikkan Padaku.
Mendengar Kenyataan Pahit Itu, Jantungku Seolah Berhenti Berdetak. Dunia Di Sekitarku Terasa Runtuh Seketika. Seluruh Tubuhku Lemas Dan Aku Harus Berpegangan Pada Tembok Agar Tidak Terjatuh Ke Lantai Yang Dingin.
"Ternyata Aku Hanya Pelampiasan Nafsunya," Bisikku Dengan Suara Parau, Diiringi Air Mata Yang Mulai Berderai Membasahi Pipiku.
Pikiranku Menjadi Kacau Balau. Entah Manusia Macam Apa Mereka Berdua? Aku Dibawa Ke Rumah Ini Hanya Untuk Menjadi Objek Pelampiasan Agar Zery Bisa Menjaga Kesucian Wanita Yang Benar-Benar Ia Cintai. Aku Merasa Sangat Bodoh, Hina, Dan Terkhianati. Ternyata, Selama Ini Aku Hanyalah Alat Bagi Permainan Gila Mereka. Aku Berada Di Rumah Wanita Yang Ternyata Adalah Kekasih Sejati Dari Lelaki Yang Selama Ini Aku Anggap Sebagai Pelindungku.