Jam yang Selalu Berhenti di Pukul 16.27
Tidak ada yang aneh dengan jam dinding di kamarku—kecuali satu hal:
setiap pukul 16.27, jarumnya selalu berhenti.
Awalnya kupikir itu hanya kerusakan mekanis biasa. Jam murah, batin. Aku memutarnya lagi, mengganti baterai, bahkan membantingnya ke kasur dengan kesal. Tapi keesokan harinya, jarum detik kembali membeku di angka yang sama. 16.27. Tidak lebih. Tidak kurang.
Lucunya, aku baru sadar satu hal setelah beberapa hari:
setiap kali jam itu berhenti, aku selalu teringat seseorang yang sudah lama tidak ada.
Namanya Nara.
---
Aku mengenal Nara di tempat yang paling membosankan: halte bus kota. Ia duduk di bangku paling ujung, memakai jaket abu-abu kebesaran, rambutnya terikat asal. Wajahnya biasa saja, bahkan cenderung lelah—tapi matanya… seperti menyimpan sesuatu yang tidak pernah ia ceritakan.
“Bus jam empat selalu telat,” katanya tiba-tiba, tanpa menoleh.
Aku mengangguk, meski heran ia bicara padaku.
Sejak hari itu, kami sering bertemu. Tidak janjian. Tidak pernah saling tukar nomor. Hanya dua orang asing yang selalu kebetulan berada di tempat yang sama, pada waktu yang sama.
Setiap hari, pukul 16.27, bus belum juga datang.
Dan setiap hari, kami berbicara tentang hal-hal kecil:
tentang hujan yang turun tanpa izin, tentang orang-orang yang terlalu sibuk mengejar sesuatu yang bahkan tidak mereka pahami, tentang rasa capek yang tidak bisa dijelaskan dengan kata “lelah”.
Nara tidak pernah membicarakan masa lalunya.
Dan entah kenapa, aku tidak pernah bertanya.
---
Suatu hari, ia datang dengan wajah yang lebih pucat dari biasanya.
“Kamu percaya kalau waktu bisa berhenti di satu titik?” tanyanya.
Aku tertawa kecil. “Kalau bisa, mungkin aku pengen berhenti di hari libur.”
Nara tidak tertawa.
“Kalau aku,” katanya pelan, “aku pengen berhenti sebelum kehilangan sesuatu.”
Kalimat itu aneh. Tapi aku terlalu sibuk memikirkan diriku sendiri untuk menggali maknanya.
Hari itu, bus datang lebih cepat dari biasanya.
Pukul 16.20.
Nara berdiri lebih dulu.
“Kalo besok aku nggak ada,” katanya sambil memandang lurus ke depan, “jangan nungguin.”
Aku mengernyit. “Kenapa?”
Ia tersenyum tipis—senyum yang entah kenapa terasa seperti perpisahan.
“Karena nggak semua orang bisa terus tinggal di waktu yang sama.”
Ia naik ke bus.
Dan untuk pertama kalinya, aku pulang sendirian.
---
Keesokan harinya, Nara tidak datang.
Besoknya lagi, tidak juga.
Aku tetap duduk di bangku halte, menunggu bus yang selalu telat. 16.27 lewat begitu saja, tanpa percakapan, tanpa suara jaket abu-abu, tanpa tatapan mata yang selalu terlihat seolah menahan sesuatu.
Di kamarku malam itu, jam dinding kembali berhenti.
16.27.
Aku memandangnya lama. Untuk pertama kalinya, dadaku terasa sesak—seperti kehilangan sesuatu yang bahkan tidak pernah benar-benar kumiliki.
---
Seminggu kemudian, aku melihat jaket abu-abu itu.
Bukan di halte.
Melainkan di rumah sakit.
Aku sedang menjenguk pamanku, dan di lorong sempit lantai tiga, aku melihat seorang perempuan duduk sendirian di kursi tunggu. Rambutnya sama. Jaketnya sama. Tapi wajahnya… jauh lebih pucat.
“Nara?” panggilku ragu.
Ia menoleh. Matanya membesar, lalu tersenyum kecil.
“Kamu datang juga.”
Aku duduk di sampingnya, jantungku berdetak terlalu cepat.
“Kamu sakit?”
Ia mengangguk pelan. “Sudah lama.”
Ia bercerita tanpa dramatisasi. Penyakitnya, perawatan yang tidak selalu berhasil, waktu yang semakin sempit.
“Makanya aku suka halte itu,” katanya. “Di sana, waktu selalu terasa berhenti.”
Aku menelan ludah.
“Kenapa kamu nggak bilang dari awal?”
“Karena aku nggak mau dikenang sebagai orang sakit,” jawabnya lembut. “Aku cuma mau jadi Nara yang nunggu bus.”
Aku ingin marah. Ingin sedih. Ingin memeluknya.
Tapi aku hanya diam.
---
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Nara menghilang.
Tidak ada pesan. Tidak ada kabar.
Dan anehnya, aku tidak mencarinya.
Aku hanya duduk di kamarku, menatap jam yang masih berhenti di 16.27.
Sampai suatu sore, jarumnya bergerak lagi.
Pelan.
Satu detik. Dua detik.
Jam itu akhirnya berjalan.
Dadaku justru terasa lebih kosong dari sebelumnya.
---
Beberapa bulan kemudian, aku kembali ke halte itu. Duduk di bangku yang sama. Bus tetap telat. Orang-orang tetap sibuk dengan hidup mereka sendiri.
Jam tanganku menunjukkan 16.27.
Aku tersenyum kecil.
Bukan karena bahagia—melainkan karena akhirnya mengerti.
Beberapa orang tidak datang untuk tinggal lama.
Mereka hanya hadir untuk menghentikan waktu sejenak,
agar kita belajar merasakan kehilangan,
lalu melanjutkan hidup dengan cara yang berbeda.
Bus datang.
Aku naik.
Dan untuk pertama kalinya, aku tidak menoleh ke belakang.
---