---
Atap yang Selalu Mendahuluiku
Saat hendak melepas sepatu,
di atas atap kujumpai seorang gadis
dengan rambut berkepang dua.
Angin sore menyibak ujung pakaiannya. Ia berdiri terlalu dekat dengan tepi, seolah dunia di bawah sana hanya lantai yang lebih rendah.
Aku berteriak padanya,
tanpa benar-benar berpikir.
“Hey, hentikanlah.”
Kata-kata itu meluncur begitu saja—
bukan karena aku peduli,
melainkan karena aku merasa terganggu.
Ia mendahuluiku.
Gadis itu menoleh, matanya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang hendak melompat. Ia tersenyum kecil, lalu mulai berbagi kisahnya. Cerita lama, cerita yang pernah ada, cerita yang terdengar basi di telingaku.
“Kuira dia lah takdirku,” katanya lirih.
“Aku ingin dia mencintaiku.”
Aku mendengus.
“Kau bercanda,” kataku.
“Dengan alasan bodoh itu?
Beraninya kau kemari mendahuluiku.”
Ia terdiam.
“Kau kecewa karena tak dapat yang kau mau,” lanjutku, suaraku dingin.
“Kau beruntung, tiada yang direnggut darimu.”
Angin bertiup lebih kencang.
Gadis berkepang dua itu tersenyum sekali lagi—lalu melangkah mundur, menjauh dari tepi.
Saat aku merasa napasku kembali teratur,
ia menghilang.
Pulang ke rumahnya, barangkali.
---
“Akan kulakukan hari ini,” gumamku sendiri.
Namun kembali terjadi.
Ada seorang gadis kecil di sana.
Lagi.
Tanganku refleks meraih pergelangan lengannya.
Ia menangis tanpa suara.
Di antara isak yang tertahan, ia berbagi kisahnya—
terabaikan di kelas,
dianggap tak ada,
tak pernah dipilih.
“Semua telah direnggut dariku,” katanya.
“Tiada tempat bagiku.”
Aku menatapnya lama.
“Kau bercanda,” kataku lagi.
“Dengan alasan bodoh itu.”
Kata-kataku kejam, tapi jujur.
“Setidaknya kau dicintai di rumahmu.
Selalu ada makan malam yang menunggumu.”
Tangisnya pecah.
Aku mengangkat tangan, mengusap air matanya yang berlinang—
entah sejak kapan aku bisa melakukan itu.
Ia menatapku seolah aku cahaya terakhir.
Lalu perlahan mundur.
Gadis kecil itu menghilang.
Ia pergi.
Ia tidak jadi melompat.
Dan aku… tetap di sana.
---
Seperti itulah banyak yang telah aku hentikan.
Kuajak bicara.
Kudengar luka mereka.
Sedangkan diriku—
tak dapat berbagi luka ke siapa pun.
Hingga untuk pertama kalinya,
kutemui kisah yang persis denganku.
Rasanya tidak asing.
Ia berdiri di sana dengan kardigan kuning. Rambutnya terurai, wajahnya pucat, matanya lelah—terlalu lelah.
Tanpa sadar, aku berkata padanya,
“Aku berharap dengan ke sini
dapat menghapus lukaku
yang semakin lama bertambah
saat kupulang ke rumah.”
Aku terkejut pada diriku sendiri.
Aku tak peduli padanya—
atau setidaknya, aku selalu berkata begitu.
Namun kata-kata yang keluar dari mulutku kali ini
terasa terlalu jujur.
“Hey, hentikanlah,” kataku, tapi suaraku goyah.
Bagaimana aku bisa menghentikannya,
jika diriku sendiri tak berhak melakukannya?
“Setidaknya pergilah dari hadapanku,” bisikku.
“Terlalu menyakitkan tuk melihatmu.”
Aku menggeleng.
“Baik… takkan kulakukan sekarang.”
Gadis berkardigan kuning itu menatapku lama.
Lalu berpaling.
Ia menghilang.
Dan untuk pertama kalinya—
aku tahu:
ia tidak bisa kuhentikan.
---
Hari itu, tiada seorang pun.
Hanya diriku sendiri.
Tiada yang dapat menggangguku.
Bahkan tuk menghentikanku.
Aku melepas kardigan kuningku.
Mengikat rambutku menjadi kepang dua.
Pantulan kaca jendela di pintu atap menunjukkan
seorang gadis kecil
yang berdiri terlalu dekat dengan tepi.
Kini, gadis kecil ini
akan melompat dari sini.
---
Plot Twist
Tak ada gadis berkepang dua.
Tak ada gadis kecil.
Tak ada gadis berkardigan kuning.
Mereka semua adalah diriku—
pada usia yang berbeda,
dengan luka yang berbeda,
yang selama ini kuhentikan…
kecuali yang terakhir.
Aku selalu datang ke atap
untuk menyelamatkan diriku sendiri.
Dan hari ini,
aku datang
untuk mengucapkan selamat tinggal.
Angin menyambutku.
Aku melangkah.
Dan untuk pertama kalinya—
tak ada suara yang berteriak,
“Hey, hentikanlah.”
---