---
🌤️✨ Happy Reading, Pendengar Awan…
Sebelum kamu tenggelam dalam kisah ini, izinkan aku menyapamu.
Bagaimana pun harimu sebelumnya, semoga ini menjadi ruang kecil untuk bernapas.
Cerita ini tidak tergesa. Ia berjalan lembut seperti angin yang turun dari dataran tinggi,
membawakan kisah tentang dua orang yang tidak pernah mencari satu sama lain—
tapi malah menemukan rumah dalam bentuk yang paling tak terduga.
Mari duduk sebentar dan membuka halaman pertama bersama.
Selamat membaca…
---
“Rumah yang Tumbuh dari Awan-awan”
Tokoh:
Eran, lelaki yang terlihat tenang, tapi selalu berjalan seperti seseorang yang kehilangan sesuatu yang tak pernah ia ceritakan.
Lyra, penjaga menara cuaca—pekerjaan aneh yang hanya sedikit orang tahu, karena ia satu-satunya yang bisa “mendengarkan bahasa angin”.
---
I — Langit yang Tidak Pernah Diam
Di kota Daruna, langit selalu bergerak cepat. Awan-awan berlarian seperti sedang dikejar bayangan, dan hujan jatuh di waktu yang tidak pernah tepat. Orang-orang sering mengeluh, tapi tidak ada yang tahu apa penyebabnya.
Kecuali satu orang: Lyra.
Ia tinggal di menara paling tinggi di ujung kota, tempat yang jarang dikunjungi siapa pun. Dari sanalah ia “mengatur” keseimbangan angin, mendengarkan gerak awan, memanggil hujan jika tanah terlalu kering, atau menenangkan badai jika malam terlalu gelap.
Itu bukan sihir.
Itu semacam… sensitivitas yang diwariskan keluarganya.
Seperti mendengar musik meski tidak ada instrumen.
Sementara itu, Eran hidup di bawah menara itu—di kota yang terlalu bising bagi hatinya.
Ia bekerja sebagai pembuat kotak musik kecil.
Kegiatan yang tenang, presisi, dan membuatnya mengingat sesuatu yang jauh:
lagu masa kecil yang dinyanyikan ibunya sebelum ia meninggal.
Ia seperti pria yang selalu membawa hujan di bahunya.
Orang-orang melihatnya sebagai pria pendiam yang ramah.
Tapi di balik itu, Eran memendam satu hal:
kesepian yang terasa seperti ruang kosong di dalam dada.
---
II — Pertemuan di Tengah Angin Miring
Suatu sore, angin di Daruna bertiup miring—benar-benar miring.
Pohon-pohon condong ke satu sisi, tapi dedaunannya terbang ke sisi yang berlawanan.
Seolah dunia salah arah.
Eran yang sedang menutup tokonya mengerutkan kening.
“Ini… angin apa?”
Tiba-tiba sebuah suara jatuh dari atas.
“AWAS!”
Sesuatu (atau seseorang) terperosok dari menara dan jatuh tepat di tumpukan karung rami di depan tokonya.
Eran terlonjak.
“A-apa—??!”
Dari balik karung, muncul seorang gadis dengan rambut yang berantakan, mata bersinar seperti kaca bening, dan pakaian yang dipenuhi serpihan awan—entah bagaimana itu mungkin.
“Aduh…” Lyra meringis sambil mengusap kepala.
Eran mematung.
“Kamu… jatuh dari mana?!”
“Tadi aku mau betulin angin,” jawabnya polos.
“Tapi anginnya malah iseng.”
“…angin iseng?”
Eran semakin bingung.
Lyra menatapnya. “Kamu Eran, kan? Pembuat kotak musik?”
Eran terkesiap. “Kamu tahu…?”
“Tentu. Angin sering cerita tentang kamu.”
Eran benar-benar kehilangan kemampuan berpikir sejenak.
“…angin. cerita. tentang aku.”
Lyra tersenyum seolah itu hal yang sangat normal.
“Kamu manusia yang paling jarang bicara, tapi angin bilang… kamu selalu mendengarkan.”
Eran membuka mulut ingin bertanya lebih lanjut, tapi Lyra berdiri dan menepuk-nepuk pakaiannya.
“Tolong bantu aku. Anginnya kacau. Kalau dibiarkan, hujan bisa jatuh ke arah samping.”
Eran menatapnya lama.
Bagian otaknya berkata tidak masuk akal,
tapi bagian hatinya berkata:
untuk pertama kalinya dalam hidup, seseorang memahami kesunyianku.
Akhirnya ia menghela napas.
“Baik. Aku ikut.”
---
III — Menara Cuaca
Menara Lyra bukan seperti bangunan biasa.
Di dalamnya, udara berputar pelan seperti sedang bernyanyi.
Tangga spiralnya diterangi bola-bola kecil seperti cahaya bioluminesensi.
Eran melangkah perlahan, kagum.
“Ini… seperti tempat di antara mimpi dan dunia nyata.”
Lyra tersenyum. “Tempat ini memang begitu. Menara hanya bisa membuka diri pada orang yang… tidak berisik.”
“Tidak berisik?”
Lyra mengangguk.
“Hatimu sunyi. Itu sebabnya angin suka mendekat.”
Eran tidak tahu harus merasa tersanjung atau sedih.
Saat mereka sampai di puncak menara, Lyra berdiri di dekat lingkaran kaca raksasa.
Dari sana, seluruh kota terlihat kecil, seperti miniatur.
“Lihat itu.” Lyra menunjuk awan yang bergerak zigzag.
“Anginnya panik. Ada sesuatu yang hilang.”
“Apa?”
“Ritme.”
Lyra menutup mata, mengangkat telapak tangan, dan berbisik:
“Tenanglah… tenang… Dengarkan aku.”
Tapi angin menolak.
Hembusannya membentur menara, kaca bergetar.
Eran spontan menyentuh bahunya.
“Kamu tidak apa-apa?”
Lyra menoleh.
“Mungkin… aku perlu bantuanmu.”
“Bantuan? Aku tidak bisa bicara dengan angin.”
“Tapi kamu bisa mendengar dunia ketika ia diam.”
Ia menggenggam tangan Eran tanpa memperingatkan.
“Sentuhkan tanganmu ke kaca ini.”
Eran merasakan panas dari tangan Lyra, panas yang lembut.
Ia menempelkan telapak ke kaca.
Dan… sunyi.
Untuk pertama kalinya, Eran menyadari bahwa di balik semua kekacauan angin,
ada suara kecil yang bergetar, seperti kotak musik yang rusak.
Lyra menatapnya. “Kamu dengar?”
“…ya.”
Eran menggenggam kompas kecil di sakunya—bukan untuk arah, tapi untuk keberanian.
“Ritmenya tidak selaras,” katanya pelan.
“Seperti lagu yang hilang satu nada.”
Lyra tersenyum haru.
“Aku tahu kamu bisa bantu.”
“Apa yang harus kulakukan?”
“Buatkan nada itu.”
Eran terpaku. “Nada…?”
Lyra mendekat, jaraknya sangat dekat hingga Eran bisa mendengar napasnya.
“Angin suka musik. Ia akan tenang kalau ritmenya lengkap. Dan kamu—”
Ia menatap mata Eran dalam-dalam.
“—kamu manusia yang paling pandai menemukan nada yang hilang.”
Eran menarik napas.
Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang memintanya melakukan sesuatu bukan karena kemampuan teknis…
tapi karena jiwanya mengerti.
Dengan hati-hati, ia mengeluarkan sebuah alat kecil seperti resonator nada, mengetuknya perlahan.
Nada itu naik ke udara.
Tinggi… lembut… seolah mencari-cari sesuatu.
Awan-awan di luar bergerak pelan.
Angin yang tadi miring kini mengikuti ritmenya.
Lalu—
sunyi.
Sunyi yang indah.
Angin berhenti memberontak.
Langit kembali tenang, menurunkan cahaya hangat sore yang jarang muncul di Daruna.
Lyra tersenyum lega.
“Kamu berhasil.”
Eran tidak sadar ia memejamkan mata hingga Lyra meletakkan tangan di pundaknya.
“Eran…”
Ia membuka mata.
“…kamu bukan orang yang tersesat.”
Eran terdiam.
“Kamu hanya menunggu seseorang yang bisa mendengar sunyimu,” lanjut Lyra pelan, “dan biarkan aku bilang ini dengan jujur… aku sudah lama mendengar itu.”
Eran merasakan dadanya berubah hangat—perasaan yang bukan sekadar suka…
tapi pengakuan bahwa ada seseorang di dunia yang benar-benar mengerti dirinya.
---
IV — Sebab Kota Itu Akhirnya Stabil
Sejak malam itu, Eran sering naik ke menara.
Kadang membantu Lyra menenangkan awan.
Kadang memperbaiki alat pendengar angin.
Kadang hanya duduk di dekatnya sambil minum teh dan memperhatikan dunia dari atas.
Lyra adalah badai yang lembut.
Eran adalah tenang yang diam.
Keduanya saling melengkapi dengan cara paling alami.
Orang-orang di kota mulai heran:
Mengapa cuaca Daruna menjadi stabil dalam beberapa minggu?
Mengapa angin berhembus wajar dan hujan turun di saat tepat?
Jawabannya ada di menara tinggi itu:
Dua hati yang sebelumnya retak… menemukan ritmenya.
Dan dunia selalu tenang ketika hati dua penjaga ritme saling selaras.
---
V — Pengakuan yang Turun Bersama Hujan Pertama
Suatu malam, ketika musim hujan pertama datang, Eran dan Lyra duduk di pinggir kaca besar menara.
Lampu-lampu kota gemerlap di bawah mereka.
“Eran,” kata Lyra sambil memegang uap teh hangat,
“kamu tahu tidak? Hujan pertama selalu jujur.”
“Jujur bagaimana?”
Lyra menatapnya.
“Hujan pertama selalu turun di tempat di mana seseorang paling merindukan sesuatu.”
Eran diam.
Dan hujan jatuh tepat di atas menara cuaca.
Ia menoleh. “Kalau begitu, siapa yang merindukan apa?”
Lyra menatap hujan yang turun pelan-pelan, lalu berkata sangat lembut:
“Aku merindukan seseorang yang membuat langitku tenang.”
Hujan menetes di kaca.
Eran menunduk, kemudian berbisik:
“Dan aku… merindukan seseorang yang mendengar sunyiku.”
Lyra perlahan menggenggam tangan Eran.
“Terima kasih sudah datang ketika dunia sedang miring.”
Eran tersenyum tipis. “Terima kasih sudah membuat dunia berhenti terasa sepi.”
Hujan jatuh lebih deras, tapi bukan hujan badai.
Itu hujan yang turun dengan ritme lembut.
Ritme yang mereka bentuk bersama.
Dan di menara itu, dua hati akhirnya selesai mencari.
---
☁️ Moral Cerita
Tidak semua orang butuh seseorang yang bersuara keras.
Beberapa dari kita butuh seseorang yang mengerti ketika kita diam.
Cinta bukan selalu soal mencari,
kadang ia soal didengar,
diakui,
dan ditemukan oleh seseorang yang akhirnya memahami sunyi kita.
Hati adalah kompas, tapi hanya akan berhenti pada seseorang yang ritmenya selaras.
---
✍️ Catatan Penulis
Jika kamu merasa duniamu sedang miring, ingatlah:
bahkan angin butuh seseorang yang mengembalikan ritmenya.
Terima kasih sudah membaca hingga akhir cerita panjang ini.
Semoga kisah ini menemukan tempat kecil di hatimu,
dan semoga kamu menemukan seseorang yang mendengarkan sunyimu tanpa kamu harus berteriak.