---
— “Sampai Suara Hati Kita Bertemu”
Hujan turun dengan suara yang begitu rapat malam itu—seperti sedang mengetuk setiap jendela kota yang belum benar-benar siap untuk tidur. Di lantai dua sebuah kafe kecil yang jarang diketahui orang, Ardan duduk sendirian, memutar cangkir kopi yang sudah lama kehilangan panasnya. Ia menunggu seseorang yang bahkan ia sendiri tak yakin akan datang.
Empat tahun lalu, ia membuat keputusan yang ia kira benar: meninggalkan hubungan yang tak sempat tumbuh penuh, hanya karena ia merasa dirinya belum cukup pantas. Dan sekarang, setelah memutar banyak musim, menelan banyak kesepian, dan akhirnya berani berdamai dengan dirinya sendiri… ia kembali ingin memperbaiki sesuatu yang dulu ia hancurkan sendiri.
Pintu kafe terbuka.
Langkah halus.
Wangi jasmine pelan yang hanya dimiliki satu orang.
Naya.
Ia berdiri di ambang pintu, rambut hitam-coklat dengan ujung abu lembut yang kini lebih panjang, jatuh di bahunya seperti ombak lembut. Matanya sedikit memerah, entah karena hujan atau karena gugup. Ketika ia melihat Ardan—seluruh ruangan, waktu, dan suara hujan seolah mengerut menjadi satu titik.
“Aku ngg… nyangka kamu beneran datang,” suara Ardan serak, ia bangkit berdiri.
Naya menaruh payung lipatnya, lalu duduk tanpa banyak bicara. Ia butuh waktu. Ardan tahu itu. Ia menunggu dengan seluruh tubuhnya yang tegang.
“Apa yang kamu mau dari aku sekarang, Dan?” tanyanya akhirnya, suara lembut tapi penuh luka lama.
“Minta maaf? Sudah. Tapi kamu pernah pergi tanpa lihat aku bahkan nangis… kamu mau aku percaya lagi begitu saja?”
Ardan menghela napas panjang. “Aku nggak mau kamu percaya. Aku cuma mau kamu dengar. Setelah itu… kamu bebas memutuskan apa pun.”
Hening panjang. Hujan yang berbicara.
Ardan membuka suara lagi.
“Saat aku pergi… aku bukan pergi dari kamu, Nay. Aku pergi dari diriku sendiri. Aku takut jadi beban, takut kamu bakal lihat sisi gelapku. Aku nggak stabil waktu itu. Dan bodohnya, aku malah menghilang. Padahal kamu… kamu cuma pengen aku jujur.”
Naya menggigit bibir bawahnya, matanya mulai berkaca.
“Dan aku harus apa setelah semua itu? Kamu kembali ketika aku sudah hampir bisa bahagia tanpa kamu…”
Ardan menunduk—dan suara hati itu pecah.
“Aku tahu. Dan kalau kamu bahagia tanpa aku… aku bakal mundur. Tapi sebelum itu, izinkan aku bilang ini: aku nggak pernah berhenti sayang. Bahkan saat aku memaksa diriku berhenti.”
Naya memejam, seolah menahan hujan yang turun di dadanya sendiri.
Kemudian, pelan—suara paling jujur yang pernah keluar dari bibirnya muncul:
“Aku benci kamu karena kamu pergi… tapi aku juga benci diriku sendiri karena aku masih nunggu.”
Ardan terhenti. Dunia seolah berhenti bernapas bersamanya.
“Aku nggak nyuruh kamu kembali sama aku,” lanjut Naya, “tapi aku pengen jujur juga. Rasa itu belum hilang.”
Hanya ada satu langkah jarak antara mereka. Dan Ardan mengambilnya. Pelan. Hati-hati. Tidak menuntut. Tidak memaksa.
Ia duduk lebih dekat, tangannya menghadap ke atas, terbuka, memberi ruang kalau Naya ingin menolak.
Tapi Naya justru meletakkan tangannya di sana—pelan, gemetar, dan hangat.
“Dan… aku nggak butuh janji. Aku cuma butuh kamu nggak hilang lagi.”
Ardan menutup mata, hampir berlutut secara emosional.
“Aku nggak akan pergi lagi. Kalau harus belajar ulang mencintaimu dari awal, aku siap. Kalau harus memperbaiki semuanya dari titik nol, aku lakukan. Asal… asal kamu tetap mau lihat aku.”
Naya tersenyum—kecil, tapi jujur, seperti matahari pertama setelah badai panjang.
“Kalau gitu… kita coba pelan-pelan. Nggak perlu buru buru.”
Hujan di luar perlahan mereda, tapi kehangatan di antara dua tangan yang saling menggenggam itu justru semakin kencang.
Tidak ada ciuman. Tidak ada deklarasi dramatis.
Hanya dua orang yang akhirnya mengizinkan diri mereka mencintai secara dewasa: dengan kejujuran, ketakutan yang diakui, dan keberanian untuk memulai lagi.
Malam itu, bukan hujan yang berhenti lebih dulu.
Yang berhenti adalah rasa sakit lama—digantikan sesuatu yang lebih matang, lebih tenang, dan lebih intens dari sebelumnya.
Dan untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun…
suara hati mereka akhirnya bertemu di titik yang sama.
---