“Ruang Senyap Kita”
---
I. Senja yang Tidak Selesai
Hujan turun dari sore menuju malam seperti seseorang yang tidak tahu harus berhenti di mana—pelan, ragu-ragu, lalu kembali deras. Grace berdiri di depan jendela kamarnya, menatap garis-garis air yang meluncur turun seperti tinta yang ditarik gravitasi. Dari kamar kecil itu, kota tampak jauh lebih sunyi dari biasanya.
Di lantai bawah gedung apartemen, terdengar suara langkah seseorang. Perlahan, stabil, seperti ritme yang sudah ia kenal.
Arden.
Laki-laki yang selalu muncul tanpa banyak kata, tapi setiap kedatangannya membuat dunia terasa lebih hangat. Ia mengetuk pintu tiga kali—ketukan pendek, rapi, dan sangat “Arden”.
Grace membuka pintu.
Rambut Arden sepenuhnya basah oleh hujan, jaketnya menetes, dan napasnya naik turun seperti baru berlari.
“Kau kehujanan lagi,” ucap Grace sambil menahan tawa.
“Kau tidak jawab pesanku,” jawab Arden, “jadi aku buru-buru.”
Grace menyingkir, mempersilakan masuk. “Kau tidak harus datang ke sini saat hujan begini.”
Arden meliriknya sebentar. “Tidak harus, tapi aku mau.”
Dan seperti biasanya, kalimat itu cukup untuk membuat Grace berhenti berbicara.
---
II. Kehangatan yang Muncul dari Kebiasaan Kecil
Arden selalu berjalan masuk ke apartemen Grace dengan cara yang sama—melepas sepatu, merapikannya ke samping, menghela napas panjang seperti akhirnya bisa bernapas normal lagi.
Grace memperhatikan dari belakang.
“Kau bisa handukan rambutmu,” kata Grace sambil mengangkat handuk.
Arden mendekat, menundukkan kepala tanpa protes, membiarkan Grace mengeringkan rambut coklat-kehitamannya yang mulai menetes ke lantai.
“Aku kira rambutmu tidak akan selembut ini kalau basah,” gumam Grace sambil mendorong handuk perlahan.
“Aku tidak tahu ini penting bagimu,” jawab Arden datar, seperti biasa.
“Tentu penting. Rambutmu bagus.”
Grace tidak berpikir saat mengatakannya.
Arden mengangkat kepala sedikit, menatapnya dari bawah.
Pandangan itu—tenang, tajam, tapi lembut hanya untuk Grace—membuat jantungnya bergeser ritme sedikit.
“Kalau begitu… lanjutkan,” bisik Arden.
Grace cepat-cepat kembali fokus pada handuk, pura-pura tidak mendengar nada rendah itu.
---
III. Diam yang Tidak Mengganggu
Hujan makin deras. Di kamar kecil itu, hanya suara rintik hujan dan kipas angin pelan yang terdengar. Arden duduk di lantai, bersandar pada sisi kasur Grace, sementara Grace duduk di tepi kasur sambil memijat bahunya perlahan.
Arden menutup mata.
“Kau capek?” tanya Grace.
“Terlalu capek,” jawab Arden jujur. “Tapi itu bukan masalah.”
“Kenapa bukan masalah?”
Arden menarik napas. “Karena aku di sini.”
Grace terdiam. Beberapa detik kemudian ia berkata pelan, “Kau selalu datang ke sini saat kau lelah.”
“Karena kau satu-satunya tempat di mana aku bisa lelah tanpa harus menjelaskan alasan.”
Kalimat itu… menghantam Grace seperti angin hangat yang tiba-tiba menerpa setelah dingin panjang.
Ia menurunkan tangannya, menyentuh pipi Arden.
“Kalau begitu, istirahat saja.”
Arden membuka mata sedikit. “Boleh aku di sini sampai hujan selesai?”
“Arden.”
Grace tersenyum kecil.
“Kalau kau mau tinggal sampai hujan selesai… kau tidak akan pulang sampai musim depan.”
Arden tertawa kecil—pelan, tapi tulus. Tawa yang jarang muncul, hanya hadir ketika ia merasa aman.
“Aku tidak keberatan,” katanya.
---
IV. Kedekatan yang Tidak Direncanakan
Saat hujan berubah menjadi gerimis tipis, Grace berbaring di kasur, sedangkan Arden naik ke kasur perlahan, menyamping, dan membiarkan jarak di antara mereka hanya selebar bantal.
Grace tidak bergerak selama beberapa detik.
Arden menatapnya.
“Boleh aku lebih dekat?”
“Kenapa kau bertanya?” tanya Grace balik.
“Aku ingin memastikan,” jawab Arden.
“Kau tidak pernah kusentuh tanpa izin.”
Kalimat itu membuat sisi dada Grace terasa hangat.
Ia bergeser sedikit—diam-diam sebuah izin.
Arden mendekat.
Cukup dekat sehingga napas keduanya menyatu.
Cukup dekat sehingga Grace bisa merasakan detak jantung Arden yang pelan tapi kuat di bawah kain kausnya.
“Aku suka diam begini,” bisik Arden.
“Kau tidak perlu bicara apa pun. Tapi kau tetap ada.”
Grace menutup mata. “Kau juga begitu.”
Arden menatap wajahnya lama, sangat lama, seolah mengukir setiap detail.
Tiba-tiba Arden mengangkat tangan, menyentuh rambut Grace yang hitam-coklat itu.
“Aku suka rambutmu,” katanya.
“Suka cara ia jatuh ke pipimu. Suka cara warnanya berubah kalau kena lampu.”
Grace menoleh sedikit, wajahnya memanas.
“Arden…”
“Hm?”
“Kau manis sekali malam ini.”
“Aku selalu manis padamu,” gumam Arden, menunduk sedikit mendekatkan wajah mereka.
“Kau baru sadar?”
---
V. Hujan yang Tak Lagi Dingin
Hujan berhenti, tapi mereka tetap dalam posisi yang sama. Grace memejamkan mata, merasakan kehangatan jarak dekat itu. Arden menatapnya seperti seseorang yang menemukan tempat pulang setelah bertahun-tahun tersesat.
“Grace,” panggil Arden pelan.
“Hm?”
“Boleh aku tetap di sini malam ini?”
Grace membuka mata. “Kau mau tidur di sini?”
“Aku mau… menghabiskan waktu denganmu. Tanpa terburu-buru. Tanpa jam kerja. Tanpa dunia luar.”
Grace terdiam. Lalu mengangguk.
Arden tersenyum—senyum kecil yang sangat mahal untuk didapatkan.
“Kalau begitu…” Arden menarik selimut perlahan.
“Aku di sini. Sampai kau bosan.”
“Aku tidak akan bosan.”
“Aku harap tidak,” bisik Arden.
“Aku ingin membiasakan diri dengan ini.”
Grace menatapnya bingung. “Dengan apa?”
“Dengan mencintaimu… perlahan, diam-diam… dan tanpa perlu disembunyikan.”
Grace menahan napas.
Arden menyentuh kepalanya dengan lembut, satu sentuhan yang penuh arti.
Di luar, langit mulai cerah.
Tapi di dalam kamar, kehangatan baru saja dimulai.
Dan untuk pertama kalinya, Grace merasa hujan bukan lagi sesuatu yang dingin.
Karena ada Arden.
Dan ada ruang senyap yang hanya menjadi milik mereka.
SELESAI.