---
“Sampai Lampu Kota Padam”
---
PROLOG
Malam itu, kota seakan menahan napas. Jalanan padat yang biasanya berisik tiba-tiba terasa lengang, seolah tahu bahwa ada sesuatu yang sedang bergerak diam-diam di balik gedung-gedung kaca tinggi. Lampu jalan berpendar kuning pucat, memantul di genangan hujan yang belum kering sepenuhnya.
Dan di tengah kota yang sedang tidur itulah Grace berdiri, dengan hoodie hitam dan wajah semi tertutupi bayangan. Di sisi lain, seseorang berjalan cepat ke arahnya—tenang, percaya diri, dengan tatapan yang hanya melunak ketika melihat sosok itu.
Raven.
Pasangan resminya. Partner misi. Orang yang tubuhnya selalu terasa seperti rumah.
Saat mereka bertemu, Raven meraih tangan Grace, menggenggamnya erat seolah takut kehilangan. “Kita mulai,” katanya, suaranya rendah.
Malam itu mereka bukan sekadar kekasih.
Mereka adalah dua orang yang mencampur cinta dengan bahaya, kehangatan dengan kegelapan, pelukan dengan misi rahasia.
Dan mereka tahu…
Ini akan menjadi malam yang panjang.
---
BAB 1 — Kode yang Gagal Terbaca
Hujan tipis mulai turun ketika mereka memasuki gedung tua yang menjadi target misi. Bukan gedung besar—hanya kantor kecil yang sudah tidak dipakai, tapi di dalamnya ada server yang terbakar sebagian dua hari lalu, dan organisasi mereka ingin tahu siapa yang memicunya.
Grace mengangkat senter kecil. “Katanya server hancur 70%.”
Raven menyalakan tablet portable. “Tapi 30% yang tersisa bisa lebih berbahaya daripada yang hilang.”
Di tengah ruang server yang remang, ada satu layar yang masih berkedip merah.
> ACCESS DENIED
INTERNAL BREACH DETECTED
“Ini dari orang dalam,” gumam Grace.
Raven mendekat, memutari ruang itu dengan langkah pelan. “Kau mencium baunya?”
Grace mengerutkan alis. “Bau apa?”
“Bau kebingungan,” jawab Raven datar.
Grace mendengus tertawa kecil. “Itu bukan bau.”
“Itu intuisi,” jawab Raven sambil memegang sikunya.
Grace belum sempat membalas ketika layar server berubah sendiri.
Tiba-tiba, muncul tulisan baru:
> GRACE. JIKA KAUMU MEMBACA INI, KAU SUDAH TERLAMBAT.
Senyap.
Nafas Grace tercekat.
Raven langsung berdiri di belakangnya, meraih bahunya.
“Ada yang mengikuti semua gerakan kita,” gumamnya.
Tapi yang membuat Raven paling gelisah, bukan ancamannya.
Bukan nama Grace di layar.
Melainkan satu fakta penting:
Tulisan itu muncul ketika mereka baru masuk.
Server itu tidak terkoneksi internet.
Tidak ada listrik tambahan.
Tidak ada sinyal.
Jadi bagaimana bisa ada pesan real-time?
---
BAB 2 — Rumah yang Tak Lagi Sama
Setelah data diambil, mereka kembali ke apartemen Grace—tempat yang hanya mereka berdua ketahui. Bukan tempat besar; cukup hangat, dengan lampu kuning yang lembut dan aroma kopi yang menenangkan.
Grace melepaskan sepatu, menurunkan tas, lalu duduk di sofa sambil memijat pelipis.
Raven duduk di lantai, bersandar pada lutut Grace.
“Kau takut?” tanya Grace.
Raven menggeleng perlahan. “Aku tidak takut. Aku marah.”
“Kenapa?”
“Karena seseorang memanggil namamu tanpa izin.”
Grace tersenyum kecil, mengusap rambut Raven.
“Cemburu?”
“Tidak,” jawab Raven cepat. “Aku territorial.”
Grace tertawa kecil, menunduk. “Itu sama saja.”
Mereka sempat tertawa—hangat, ringan—sampai alarm kecil di tablet Raven berbunyi.
Sebuah file baru muncul.
File dari server tadi.
Raven membuka.
Di dalamnya hanya ada satu hal.
Foto.
Foto mereka berdua, dari jarak jauh.
Diambil dari balkon gedung seberang apartemen Grace.
Grace membeku.
Raven berdiri. Wajahnya berubah dingin, sangat dingin—bahaya dingin.
“Kita diawasi…” bisik Grace.
Raven meraih wajahnya, menatapnya penuh intensitas.
“Dengarkan aku. Tidak ada yang akan mengambilmu dariku. Tidak ada.”
Nada itu… bukan ancaman.
Bukan janji kosong.
Tapi tekad.
Tekad orang yang sudah kehilangan banyak dalam hidupnya… dan tidak akan kehilangan lagi.
---
BAB 3 — Di Antara Kode dan Pelukan
Organisasi memberi mereka waktu 48 jam untuk melacak siapa yang menargetkan Grace.
Malam itu mereka tidak tidur.
Grace duduk di meja, membaca ulang data. Raven memeluknya dari belakang, dagu menempel di pundaknya.
“Aku mau kau istirahat,” katanya.
Grace menggeleng. “Kita belum menemukan apa pun.”
Raven menghela napas, mencium puncak kepalanya. “Kau keras kepala.”
“Kau suka, kan?”
Raven tidak menjawab—tapi pelukannya mengencang.
Setelah beberapa menit keheningan, Grace berkata pelan:
“Menurutmu… ini ada hubungannya dengan masa lalu?”
Raven terdiam.
Pertanyaan itu seperti membuka pintu gelap yang selama ini tidak ingin ia masuki.
“Aku harap tidak,” katanya akhirnya.
Grace menoleh. “Kenapa?”
“Karena masa lalumu penuh luka. Dan jika luka itu kembali… aku tidak yakin aku bisa menontonmu terluka lagi.”
Grace menyentuh pipinya, lembut. “Aku tidak selemah itu.”
“Aku tahu,” bisik Raven.
“Tapi aku mencintaimu terlalu keras.”
Sunyi.
Hanya suara hujan yang terdengar.
Dalam pelukan itu, Grace tahu:
Raven bukan takut ancaman.
Raven takut kehilangan.
---
BAB 4 — Benang Merah Terakhir
Pagi menjelang.
Grace akhirnya menemukan sesuatu:
kode kecil tersembunyi dalam foto mereka.
Kode itu bukan sembarang kode.
Itu signature seseorang dari masa lalu Grace—
seseorang yang dulu menjadi sahabat dekat dalam organisasi.
Seseorang yang mulai berubah, iri, dan akhirnya tersingkir.
Namanya Nara.
Dan Nara tahu dua hal tentang Grace:
1. Dia pintar.
2. Dia mencintai terlalu dalam.
Itu membuatnya jadi target sempurna untuk dimanipulasi.
Raven mengepalkan tangan. “Kalau dia menyentuhmu—”
“Raven,” potong Grace lembut.
“Kita selesaikan ini bersama.”
Raven mengangguk, walau rahangnya masih tegang.
---
BAB 5 — Ketika Lampu Kota Padam
Malam itu mereka menuju gedung tinggi tempat sinyal terakhir Nara terdeteksi.
Lift mati.
Lampu lorong berkedip.
Angin malam masuk lewat jendela yang pecah.
Grace menyalakan senter. Raven berdiri satu langkah di depan.
Saat mereka sampai di lantai tertinggi, pintu besi terbuka perlahan.
Di dalamnya hanya ada satu layar, menampilkan rekaman lama:
Grace muda.
Nara di sebelahnya.
Mereka tertawa seperti tidak ada luka yang pernah ada.
Lalu rekaman berhenti.
Muncul tulisan:
> Kenapa dia, Grace?
Kenapa bukan aku?
Grace menggigit bibir.
Raven melangkah maju, berdiri di antara Grace dan layar.
“Aku tidak peduli siapa dia,” katanya. “Kau memilihku. Itu cukup.”
Layar padam.
Lampu satu gedung itu padam semua.
Gelap total.
Grace memegang tangan Raven erat. “Apa ini pertanda—”
Seseorang berbicara dari kegelapan.
“Sebuah awal.”
Nara berdiri di pintu, wajah separuh tertutup bayangan, mata penuh luka dan iri yang belum sembuh sejak dulu.
“Dan akhir kalian,” tambahnya.
Raven menarik Grace ke belakang, melindungi seluruh tubuhnya.
Tapi Grace maju satu langkah.
Dengan suara yang tidak gemetar.
“Nara. Kau tidak kehilangan aku karena Raven. Kau kehilangan aku karena kau memilih membenci.”
Ruangan itu hening… lalu pecah.
Nara menangis—bukan menangis memohon, tapi menangis marah.
“Aku mencintaimu dulu!” teriaknya.
“Kau mencintaiku dengan cara yang salah,” jawab Grace.
Raven berdiri di sisi Grace, memegang tangannya—bukan menarik, tapi menguatkan.
Dan untuk pertama kalinya… Nara melihat bagaimana cinta seharusnya terlihat.
Bukan posesif.
Bukan iri.
Tidak menghancurkan.
Tetapi melindungi.
Nara menjatuhkan USB yang selama ini ia gunakan.
“Aku… lelah,” katanya pelan.
Raven maju dan menonaktifkan alatnya.
Grace memeluk Nara sebentar—pelukan untuk mengakhiri, bukan memulai kembali.
Malam itu, konflik berakhir bukan dengan pertarungan…
tapi dengan pengakuan luka.
---
EPILOG — Ketika Kota Kembali Bernyawa
Pagi datang.
Lampu gedung kembali menyala.
Kota kembali hidup, seolah malam sebelumnya hanya mimpi.
Grace duduk di balkon apartemen, memeluk lutut.
Raven datang membawa dua cangkir kopi. “Pagi.”
Grace bersandar padanya. “Terima kasih.”
“Untuk apa?”
“Untuk tidak pernah melepas tanganku.”
Raven tersenyum kecil. “Kalau aku melepas, kau jatuh.”
Grace tersenyum balik. “Mungkin aku akan terbang.”
“Tidak izinkan,” jawab Raven cepat, membuat Grace tertawa.
Mereka duduk lama, dalam keheningan yang tidak canggung.
Keheningan orang yang telah melewati bahaya bersama.
Grace menatap kota yang perlahan dipenuhi cahaya matahari.
“Apa menurutmu akan ada ancaman baru?” tanya Grace.
Pipi Raven menyentuh kepalanya. “Mungkin.”
“Apa kita siap?”
Raven menggenggam tangannya. “Denganmu? Selalu.”
Dan di tengah hiruk-pikuk kota yang kembali hidup, mereka berdua tahu:
Cinta mereka bukan cinta yang tenang.
Bukan cinta yang mudah.
Tapi cinta yang tetap berdiri bahkan ketika lampu kota padam.
Dan untuk pertama kalinya…
itu cukup bagi keduanya.
---