---
CERITA 6 — “SENJA YANG MENJAGA RAHASIA”
Angin senja berembus pelan dari balik bukit, menciptakan gelombang tipis yang menari di antara batang-batang ilalang. Cahaya jingga yang mulai memudar membuat dunia tampak seperti gambar pastel yang diusap lembut. Pada sore itu, langkah Ardea terasa lebih berat dari biasanya. Sudah berhari-hari pikirannya dirundung keheningan yang tidak biasa—keheningan yang lahir dari rasa rindu yang ia sendiri tak berani akui.
Ia berjalan menuju rumah kayu tua di pinggir danau, tempat tokoh itu—sosok yang membuat perasaannya kacau—sedang tinggal dalam perjalanan misi kali ini. Walau tujuan misi mereka sama, ritme keduanya berbeda. Ardea selalu berada dua langkah di depan dalam strategi, tapi dua langkah di belakang dalam urusan hati.
Rumah itu terbuka sedikit, mengizinkan cahaya senja masuk dan memantul pada dinding-dinding kayu. Di sana, di meja rendah dekat jendela, ia melihatnya—duduk dengan buku lusuh yang terbuka, tapi tidak dibaca. Pandangannya justru jatuh pada danau, seperti sedang mencari jawaban yang belum ditemukan.
“Sudah lama berdiri di situ?” tanyanya lembut tanpa menoleh.
Ardea terkejut kecil. “Kamu bisa tahu aku datang?”
“Tentu,” ia menutup bukunya. “Langkahmu berbeda dari orang lain. Pelan, tapi pasti.”
Ardea merasakan pipinya hangat. Mengapa kalimat sederhana itu terdengar seperti pujian paling lembut di dunia?
Mereka saling menatap, dan di antara keduanya ada keheningan yang tidak canggung—lebih seperti jeda yang memperbolehkan hati bicara tanpa suara.
“Besok kita pindah lokasi,” kata Ardea. “Perintah baru masuk.”
“Hmm.” Ia mengangguk pelan. “Tapi… kamu terlihat gelisah sejak dua hari lalu.”
Ardea langsung memalingkan wajah. “Ah, tidak. Aku hanya—”
“Kamu tidak perlu bohong.”
Dan seketika, Ardea merasa seluruh pertahanannya runtuh. Ia menghela napas panjang, lalu duduk di kursi seberang.
“Aku takut kehilangan seseorang,” ucapnya akhirnya. “Seseorang yang… sangat berarti bagiku.”
Ia mengangkat alis.
“Siapa?” tanyanya, nada suaranya lembut, tapi ada ketegangan halus di sana.
Ardea menatap meja. “Kalau aku bilang… kamu mungkin akan menjauh.”
Ia terdiam lama. Senja bergeser, meninggalkan warna ungu tipis di langit. Lalu ia berdiri, berjalan mendekat, dan menempatkan dirinya di depan Ardea. Tangannya terulur pelan, menyentuh tepi meja, begitu dekat hingga Ardea bisa merasakan hangat tubuhnya.
“Ardea,” suaranya rendah, hampir seperti bisikan, “kapan aku pernah menjauh darimu?”
Ardea mendongak, dan untuk pertama kalinya, ia melihat ketulusan yang tidak disembunyikan.
“Aku tidak ingin kamu tahu,” ujar Ardea lirih, “karena aku takut… kalau kamu tidak merasakan hal yang sama.”
Ia tersenyum kecil—senyum yang hanya muncul beneran ketika ia tidak memakai ‘topeng’ dinginnya.
“Tapi bagaimana kalau aku memang merasakannya?”
Ardea membeku. “Kamu… apa?”
“Ardea,” ia duduk di depan, jarak hanya sejengkal, “aku sudah melihat caramu menatapku ketika kamu kira aku tidak memperhatikan. Cara kamu melindungiku bahkan ketika tidak ada musuh. Cara kamu menyebut namaku saat kamu marah tetapi… suaramu gemetar.”
Pipinya memerah; Ardea tidak bisa menyangkal.
“Tapi aku ingin mendengar langsung,” ia melanjutkan. “Dari kamu.”
Ardea mengumpulkan keberaniannya, seakan menarik napas dari seluruh ruang dunia.
“Aku menyukaimu,” katanya akhirnya. “Sejak awal kita bertemu. Sejak pertama kali kamu tersenyum waktu itu… aku tahu hatiku akan jadi kacau.”
Ia tertawa kecil, senyum tulus dan hangat. “Akhirnya.”
Ardea terperangah. “Akhirnya?”
“Kamu lama sekali menyadari,” katanya sambil menyentuh ujung tangan Ardea pelan. “Aku sudah menyukaimu dari jauh lebih lama.”
Ardea merasakan sesuatu menyeret napasnya—campuran lega, rindu, senang, takut, semuanya dalam satu tarikan.
“Tapi…” ia melanjutkan pelan, “ini bisa berbahaya untuk misi.”
“Hubungan ini?” Ardea mengerjap.
“Perasaan kita,” ia memperbaiki. “Kalau musuh tahu, mereka bisa memanfaatkannya.”
Ardea menelan ludah. “Kamu ingin kita menjauh?”
“Tidak.” Ia menggeleng tegas. “Aku hanya ingin kita berjalan hati-hati. Bersama. Tidak mundur, tidak sembunyi, tidak pura-pura.”
Ardea terdiam lama sebelum akhirnya bertanya, “Jadi… apa kita…?”
Ia menyentuh tangan Ardea sepenuhnya, menggenggamnya. “Kalau kamu mau… kita.”
Keheningan kembali hadir. Tapi kali ini hangat. Nyaman. Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi.
Di luar, langit ungu semakin gelap, dan bintang pertama muncul—menyala kecil, tapi cukup terang untuk menjadi tanda awal.
Ardea menunduk sedikit, menempelkan keningnya pada punggung tangan orang yang ia sukai.
“Terima kasih,” bisiknya. “Karena tidak menjauh.”
Ia mengusap rambut Ardea singkat. “Kalau aku menjauh… siapa yang akan kamu lindungi dengan setulus itu?”
Ardea tertawa pelan. Tawa kecil yang tidak pernah ia buat sebelumnya—tawa yang hanya ada untuk satu orang.
Malam pun turun perlahan. Mereka belum melepaskan tangan, bahkan ketika lampu dinding dinyalakan. Bahkan ketika mereka membahas rencana esok. Bahkan ketika keheningan panjang kembali datang, tapi kali ini ditemani rasa nyaman yang membuat keduanya enggan beranjak.
Dan di antara semua itu, ada satu hal yang mereka sadari bersamaan:
Misi mereka mungkin penuh bahaya.
Tapi untuk pertama kalinya, hati mereka berjalan pada arah yang sama.
Malam itu menjadi saksi.
Saksi awal dari sesuatu yang perlahan tumbuh menjadi lebih dari sekadar perasaan.
---