---
CERITA 5 — “Saat Kita Belajar Menggenggam Cahaya”
---
1. Prolog: Rumah yang Belajar Bernapas Lagi
Ada momen-momen kecil yang sering dilewatkan orang:
bunyi ketel mendidih, suara angin yang lewat di sela jendela, tawa kecil yang tidak sengaja.
Tapi di rumah kecil milik Lira dan Damar,
momen kecil itu sekarang terasa seperti keajaiban.
Setelah semua pertengkaran, kesalahan, keheningan, dan jarak yang membuat mereka seperti dua planet tanpa gravitasi, rumah itu akhirnya bernapas lagi.
Dan anehnya…
kehangatan itu bukan datang dari hal besar.
Tapi dari sesuatu yang nyaris tak terdengar:
kesediaan mereka untuk mencoba lagi.
Namun perjalanan menuju “baik-baik saja” bukanlah garis lurus.
Kadang naik, kadang turun,
kadang terasa seperti kembali ke awal.
Tapi di antara semua itu—
ada cinta yang tumbuh perlahan,
lebih matang, lebih lembut, lebih manusiawi.
---
2. Awal dari Hal Kecil: Mandi Matahari
Pagi itu, Lira bangun lebih awal.
Ia membuka jendela kamar, membiarkan sinar pagi masuk.
Udara terasa hangat, seperti pelukan yang lama ditunggu.
Dulu ia sering melakukan ini,
tapi sejak masalah rumah tangga mulai berat, ia berhenti.
Kini ia mencoba lagi.
Damar, masih setengah mengantuk, memincing mata melihat cahaya.
“Pagi banget,” gumamnya.
Lira tersenyum kecil.
“Katanya mandi matahari bagus buat hati.”
Damar duduk, rambut berantakan, suara serak.
“Kamu mau hatimu dipanasin?”
Lira tertawa.
Tawa kecil, manis, yang sudah lama menghilang.
Dan Damar tersadar:
ia merindukan tawa itu lebih dari apa pun.
---
3. Menemukan Romantis di Tempat Tak Terduga
Hubungan mereka tidak tiba-tiba menjadi lembut.
Ada masa-masa canggung.
Ada waktu-waktu hening yang masih terasa asing.
Tapi suatu sore, sesuatu yang sederhana terjadi.
Damar sedang bekerja di meja ruang tamu.
Lira membuat teh—kebiasaannya dulu yang hilang saat hubungan mereka memburuk.
Ia membuka lemari, mengambil cangkir.
Membuat teh melati, menuangkan air panas.
Harumnya memenuhi dapur.
Tanpa bicara banyak, ia meletakkan teh itu di samping Damar.
Damar tertegun.
“Buat aku?”
Lira mengangguk.
Damar meminum sedikit, lalu memandangnya lama.
“Kamu ingat kalau aku sukanya melati, bukan chamomile.”
Lira tersenyum lembut.
“Kamu nggak berubah. Selera teh aja tetap sama.”
Damar meletakkan cangkir, menatapnya pelan-pelan.
“Aku juga ingat… kamu suka teh tapi bukan karena rasa. Tapi karena aromanya bikin kamu tenang.”
Lira tidak menyangka ia masih ingat hal kecil itu.
Ia mendekat.
Damar menggenggam tangannya—pelan, tidak memaksa.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu sangat lama,
Lira tidak menarik tangannya.
---
4. Janji Kecil di Atas Jemuran
Sore itu mereka mencuci baju bersama.
Kegiatan sepele, tapi terasa seperti ritual intim setelah masa sulit.
Angin sore menggerakkan pakaian yang digantung.
Damar berdiri di samping Lira, jaraknya dekat tapi tidak menekan.
“Nanti sabtu mau ke mana?” tanya Lira.
“Ke mana kamu mau,” jawab Damar.
Lira menggigit bibir.
“Kalau… kita coba makan di luar? Yang kayak dulu?”
Damar menatapnya lama.
“Ra… aku mau ke mana saja sama kamu. Asal kamu ikut.”
Lira menunduk, pipinya memerah.
Sambil menjemur baju, Damar mendekat sedikit.
“Kita nggak harus jadi pasangan sempurna. Yang penting… kita mau barengan.”
Lira mengangguk.
“Pelan-pelan ya, Mas…”
“Pelan-pelan.”
Damar mengusap pucuk kepala Lira—sentuhan kecil yang dulu rutin tapi lama hilang.
Dan Lira membiarkan sentuhan itu kembali.
---
5. Luka Lama yang Mencari Cahaya
Di malam hari, mereka duduk di ruang tamu.
Kini sudah ada kursi di sana—dua kursi yang dulu menghilang bertahun-tahun.
Lampu redup.
Suasana hangat.
Damar tiba-tiba berkata:
“Ra, boleh aku jujur?”
Lira menoleh.
“Boleh.”
“Aku… takut banget kehilangan kamu.”
Lira mengerjap.
Ia jarang mendengar Damar bicara tentang ketakutannya.
“Aku juga takut…” katanya lirih.
“Aku takut ulangin masa lalu. Takut sendirian lagi… bahkan ketika kamu ada.”
Keduanya saling diam—bukan diam yang kosong seperti dulu,
tapi diam yang berarti mereka sedang mencari kata paling lembut untuk satu sama lain.
Damar menarik napas, menatap istrinya penuh duka, sayang, dan penyesalan.
“Aku janji buat hadir. Beneran hadir.”
“Bukan cuma fisik,” tambah Lira.
“Tapi juga hati.”
Damar mengangguk pelan.
“Kita belajar bareng, Ra.”
Dan Lira tersenyum tipis, mata berkaca:
“Iya. Kita belajar bareng.”
---
6. Malam yang Menjadi Titik Balik
Hujan turun malam itu.
Suara rintiknya memenuhi rumah.
Damar dan Lira duduk bersama, membiarkan hujan menjadi musik latar.
Damar tiba-tiba menarik selimut kecil lalu menyampirkannya ke pundak Lira.
“Kamu kedinginan?”
Lira menatapnya.
Gestur kecil itu…
justru membuat dadanya hangat.
“Mas…”
suara Lira lembut.
“Kamu sadar nggak? Kita udah lama nggak kayak gini.”
“Kayak gini gimana?”
Lira menunduk.
“Dekat.”
Damar tersenyum tipis.
“Ya udah. Kita mulai lagi.”
Ia mengulurkan tangan, menunggu.
Tidak memaksa, tidak mendesak—
memberi ruang bagi Lira untuk memilih.
Lira melihat tangan itu lama.
Lama sekali.
Kemudian ia menggenggamnya.
Pelan.
Ragu.
Tapi nyata.
Damar mengecup punggung tangannya.
“Aku sayang kamu, Ra.”
Air mata Lira jatuh tanpa ia tahan.
Ia menutup wajah, bahunya bergetar.
Damar menariknya ke pelukan.
Pelukan yang sudah lama hilang.
Pelukan yang membuat waktu seakan berhenti.
Lira membalas pelukannya.
“Mas…” suaranya pecah,
“aku juga sayang Mas. Dari dulu. Sampai sekarang.”
Damar mengeratkan pelukan itu.
Hujan masih turun,
tapi untuk pertama kalinya,
rumah itu terasa terang.
---
7. Healing yang Berjalan Bersama
Minggu-minggu berikutnya, hubungan mereka perlahan berubah:
✨ Damar mulai menyisakan waktu untuk Lira setelah bekerja
✨ Lira mulai menceritakan isi hatinya tanpa takut
✨ Mereka saling jujur tentang rasa lelah
✨ Mereka berpegangan tangan saat menonton TV
✨ Mereka mulai membuat makan malam bersama lagi
✨ Mereka kembali tidur saling menghadap—bukan membelakangi
Romantisnya bukan dari hadiah atau kata-kata besar.
Romantisnya datang dari usaha yang tidak berhenti.
Dan itu lebih indah dari apa pun.
---
8. Epilog: Kita yang Baru, Kita yang Saling Memilih
Suatu pagi, Damar membuatkan sarapan.
Roti bakar, telur mata sapi, dan teh melati—menu favorit Lira.
Ia meletakkan piring itu di depan istrinya.
“Selamat pagi, Ra.”
Lira terkekeh.
“Tumben romantis.”
Damar mengedip.
“Lagi belajar.”
Lira menyentuh pipinya, lembut.
“Kita dua-duanya belajar, Mas. Dan aku… berterima kasih karena kamu mau.”
Damar menggenggam tangannya.
“Aku bukan cuma mau, Ra.”
“Aku milih kamu. Setiap hari.”
Lira tersenyum—senyum paling tulus yang pernah ia keluarkan setelah sekian lama.
Rumah itu, yang dulu penuh luka, akhirnya kembali menjadi tempat pulang.
Bukan karena mereka sempurna,
tapi karena mereka mengusahakan cinta,
bukan hanya menunggu cinta bertahan sendiri.
Dan di meja makan kecil itu,
di antara roti bakar dan teh melati,
mereka memulai hidup baru—
dengan hati yang tetap rapuh,
namun memilih satu sama lain…
setiap hari.
---