---
Cerita 4 — “Ruang Tamu Tanpa Kursi”
---
1. Prolog: Sebuah Rumah Tanpa Tempat Duduk
Ada rumah yang tampak biasa dari luar: cat dindingnya pastel, pagar besi dicat biru, pot bunga diletakkan rapi di depan jendela.
Orang-orang melihatnya dan berkata, “Rumahnya nyaman sekali.”
Tapi mereka tidak tahu bahwa di dalam rumah itu, tidak ada kursi di ruang tamu.
Bukan karena kurang uang atau malas belanja.
Tapi karena suatu ketika—di tahun ketiga pernikahan—kursi-kursi itu diangkat oleh Lira, lalu dipindahkan ke gudang.
Dari hari itu sampai sekarang, tidak ada yang berani mengembalikannya.
Kursi hilang,
tapi yang hilang sesungguhnya bukan kursinya—
melainkan kebiasaan mereka untuk duduk bersama.
Kini Ruang Tamu itu kosong.
Dingin.
Dan perlahan menjadi simbol dari sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perabot.
---
2. Awal Sebuah Pernikahan yang Seharusnya Biasa
Lira dan Damar menikah bukan karena kisah dramatis.
Tidak ada pelarian.
Tidak ada perjodohan.
Tidak ada cinta pertama yang penuh nostalgia.
Mereka hanya dua orang biasa
yang memutuskan untuk mencoba membangun hidup bersama.
Di awal-awal pernikahan, hidup mereka sederhana.
Sarapan mie instan, kerja keras di kantor kecil, menonton film bersama di malam hari, tertawa ketika lampu kamar mandi mati tiba-tiba.
Tidak ada glamour,
tapi ada ketulusan.
Rumah kecil itu dulu dipenuhi suara sandal jepit, suara pembicaraan acak, suara panci jatuh, suara tawa tanpa alasan.
Tapi semua itu berubah perlahan.
Tidak sekaligus.
Tidak dramatis.
Hanya… pelan, diam, pasti.
Seperti jam dinding yang tetap berdetak walaupun baterainya hampir habis.
---
3. Tahun Ketiga: Saat Lelah Tidak Lagi Sembunyi
Lira adalah tipe yang tidak suka mengeluh.
Ia tumbuh dalam keluarga yang mengajarkan bahwa diam adalah cara bertahan.
Damar juga begitu.
Ia percaya bahwa laki-laki harus menelan lelah tanpa suara.
Dua orang pendiam yang menikah—
sering kali bukan ketenangan yang mereka dapat,
tapi kekosongan.
Lira mulai merasa sendiri meski ada suaminya di rumah.
Ia makan siang sendirian, padahal mereka dulu selalu menyisihkan waktu agar bisa makan bareng.
Ia pergi kerja tanpa cium tangan, karena Damar selalu terburu-buru.
Ia pulang tanpa suara, karena Damar sibuk di laptop sampai tengah malam.
Lama-lama, keheningan mengisi udara lebih tebal dari debu di rak buku.
Hingga datang hari itu—hari ketika Lira memindahkan kursi di ruang tamu.
Semuanya dipindah satu per satu.
Diam, tanpa kata.
Tanpa alasan.
Ketika Damar melihat ruang tamu kosong, ia hanya bertanya:
“Kenapa kursinya dipindah?”
Dan Lira menjawab,
“Capek lihat tempat yang nggak pernah dipakai.”
Damar terdiam.
Itu adalah kalimat paling jujur yang Lira pernah ucapkan.
Tapi bukannya menjembatani, kalimat itu justru semakin memperlebar jarak yang mereka diam-diam buat sendiri.
---
4. Ketegangan yang Menumpuk Tanpa Suara
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa.
Setidaknya, tampak biasa dari luar.
Tapi dari dalam?
Tak ada satu pun yang benar-benar “biasa”.
Ketika Lira memasak, ia tidak lagi memanggil Damar untuk mencicipi.
Ketika Damar mendapat masalah di kantor, ia tidak lagi bercerita pada Lira.
Ketika mereka makan, hanya suara sendok yang bertemu piring.
Kadang Lira ingin bertanya,
“Kamu masih sayang aku nggak?”
Tapi setiap kali bibirnya hampir bergerak, suara Damar terdengar:
“Aku ada kerjaan bentar ya.”
Dan ia pun menelan kembali pertanyaannya, beserta perasaannya sendiri.
Sementara itu, Damar ingin berkata,
“Aku takut kamu nggak bahagia sama aku.”
Tapi ia takut terlihat lemah.
Dan takut mendengar jawaban yang mungkin benar.
Jadi ia pun diam.
Dan diam Damar adalah pemicu terbesar retaknya rumah itu.
---
5. Konflik Pertama yang Pecah
Pecahnya konflik tidak seperti dalam film.
Tidak ada teriakan, tidak ada banting pintu, tidak ada tangis dramatis.
Konflik pertama mereka pecah karena tisu.
Suatu malam, Damar pulang larut.
Ia mencari tisu di dapur, tapi tisu tidak ada di tempat biasa.
Lira memindahkannya ke lemari lain tanpa bilang.
“Hah? Kok semuanya berubah?”
Nada Damar kesal.
Lira, yang sudah lelah seharian, menjawab datar,
“Cuma geser dikit, Mas.”
“Tapi kenapa nggak bilang?”
“Emang harus bilang?”
Dan pertengkaran kecil itu…
tumbuh jadi besar.
“Kenapa akhir-akhir ini kamu beda, Ra?”
“Justru kamu yang beda.”
“Kita ini hidup bareng atau cuma serumah?”
“Kamu tuh nggak pernah hadir!”
“Lah kamu juga nggak pernah ngomong!”
Pertengkaran itu pecah.
Tidak lama.
Tidak keras.
Tapi cukup untuk menggores sesuatu yang dulu tidak pernah mereka sentuh:
Ketakutan kehilangan.
Malam itu mereka tidur membelakangi satu sama lain.
Dan ruang tamu yang kosong terasa semakin kosong.
---
6. Hari-Hari Tanpa Nama
Setelah malam itu, mereka menjalani hari-hari yang tidak bisa disebut “hidup bersama”, tapi juga tidak bisa disebut “berpisah”.
Lebih tepatnya:
bertahan dalam rutinitas tanpa kehangatan.
Lira sering duduk sendirian di ruang tamu yang kosong, memandangi lantai seperti mencari sesuatu.
Kadang matanya bengkak, tapi ia tidak menangis saat itu—ia menangis sebelumnya, di kamar mandi.
Damar mulai sering lembur.
Kadang memang karena pekerjaan, kadang… karena ia takut pulang.
Takut melihat tatapan kosong Lira.
Takut menghadapi keheningan.
Takut mengakui bahwa dialah yang pertama berhenti berusaha.
Dan dalam ketakutan-ketakutan itu, mereka semakin menjauh.
---
7. Retakan Kedua: Telepon yang Tidak Dijawab
Suatu malam, Lira menghubungi Damar.
“Mas, pulang jam berapa?”
Tidak ada jawaban.
Ia telepon lagi.
Masih tidak diangkat.
Di telepon ketiga, akhirnya tersambung.
Suara perempuan lain terdengar samar sebelum Damar buru-buru menjauhkan ponsel.
“Mas… itu siapa?”
“Temen kantor. Ada rapat,” jawab Damar cepat, terlalu cepat.
Lira tidak membantah.
Tidak marah.
Tidak meledak.
Justru reaksinya lebih menakutkan:
Ia hanya berkata,
“Oh.”
Dan bagi Damar, “Oh” itu lebih tajam dari tuduhan apa pun.
Karena itu berarti:
Lira sudah tidak berharap penjelasan lagi.
Dan ia takut apa yang terjadi kalau seseorang berhenti berharap.
---
8. Peristiwa yang Mengubah Arah
Beberapa hari kemudian, Damar pulang lebih awal.
Entah dorongan apa yang membuatnya ingin memperbaiki, tapi ia mengumpulkan keberanian untuk mengatakan:
“Ra, aku mau ngobrol.”
Tapi ketika ia masuk rumah…
Lira tidak di ruang tamu.
Tidak di dapur.
Tidak di kamar.
Damar menemukannya di halaman belakang,
duduk bersandar pada dinding,
menangis tanpa suara,
memegang surat hasil tes kesehatan:
Lira mengalami stres berat dan gangguan tidur.
Damar merasa dunia runtuh.
Saat itu ia sadar bahwa yang hilang bukan kebiasaan, bukan tawa, bukan percakapan—
tapi rasa aman yang seharusnya ia berikan sebagai pasangan.
Ia mendekat, pelan, takut.
“Ra…”
Lira menutup wajah.
“Aku capek, Mas… aku capek sendirian.”
Kalimat itu menghantam Damar lebih keras dari pukulan mana pun.
Dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir,
Damar menangis.
---
9. Proses Kembali yang Tidak Mudah
Setelah malam itu, mereka memutuskan untuk mencoba kembali.
Tidak ada janji besar.
Tidak ada kata romantis.
Tidak ada “aku cinta kamu” yang puitis.
Hanya hal-hal kecil:
Damar mulai pulang tepat waktu.
Lira mulai makan satu meja.
Mereka mulai berbicara, walau pelan, walau canggung.
Mereka menuliskan kekesalan masing-masing dalam buku kecil lalu membacanya bersama setiap Minggu malam.
Mereka membersihkan gudang bersama.
Mereka membuka pintu lama yang tidak pernah mereka sentuh lagi.
Suatu sore, Damar bertanya pelan:
“Kursinya kita balikin lagi, Ra?”
Lira ragu.
Tapi kemudian mengangguk.
“Balikin.”
Dan sore itu, untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun lalu…
ada dua kursi kembali ditempatkan berdampingan di ruang tamu.
Ruang yang kosong itu akhirnya terisi lagi.
Tidak oleh kursi—
tapi oleh kesediaan untuk berubah.
---
10. Epilog: Rumah yang Akhirnya Bisa Diduduki Kembali
Hubungan mereka tidak kembali sempurna.
Kadang masih ada salah paham.
Kadang Damar masih lupa hal kecil.
Kadang Lira masih takut kecewa.
Tapi kini, setiap malam, mereka duduk di ruang tamu yang dulu kosong itu.
Kadang bicara.
Kadang hanya diam,
tapi diamnya tidak lagi menyakitkan.
Diam itu sekarang menjadi cara mereka bernapas bersama.
Dan rumah itu,
rumah tanpa kursi yang dulu penuh ketegangan,
akhirnya kembali menjadi rumah—
karena dua orang di dalamnya ingin belajar duduk lagi.
---