---
Cerita 3 — “Rumah yang Tak Lagi Punya Jendela”
---
1. Prolog: Rumah yang Selalu Terang
Dulu, rumah kecil itu selalu terang. Bukan karena lampu-lampu gantung atau jendela besar di ruang tamu, tetapi karena tawa yang mengalir dari sudut mana pun.
Di meja makan, Raina dan suaminya, Bimas, dulu pernah bercanda tentang hal-hal bodoh: mie instan yang overcook, roti bakar gosong, dan sapu yang entah mengapa selalu hilang.
Tapi belakangan, tawa berubah menjadi gumaman, gumaman berubah menjadi diam, dan diam itu akhirnya berubah menjadi dinding dingin yang bahkan sinar matahari pun tak ingin masuk melewatinya.
---
2. Awal Retak: Perubahan Kecil yang Diabaikan
Raina mulai sadar sesuatu berubah ketika Bimas tidak lagi menanyakan,
“Capek nggak hari ini?”
Pertanyaan sederhana yang dulu membuatnya merasa dilihat.
Sekarang, yang ada hanya suara pintu dibuka keras, langkah kaki berat, dan ponsel yang tak pernah lepas dari tangan suaminya.
Awalnya Raina mengira itu cuma stres kerja.
Lalu ia mencoba memahami.
Tapi perubahan-perubahan kecil itu terus bertambah:
Makan malam terlewat, padahal dulunya wajib.
Obrolan hilang, digantikan notifikasi ponsel.
Senyuman memudar, digantikan seringai letih.
Dan paling menyakitkan: Bimas tak lagi menyentuh dahi Raina ketika lewat, kebiasaan kecil yang dulu membuatnya merasa dicintai.
Raina mencoba menutup mata.
Tapi retakan kecil selalu mencari jalan untuk bertumbuh.
---
3. Luka yang Mengalir Tanpa Suara
Konflik mereka tidak pernah meledak.
Tidak ada piring pecah.
Tidak ada teriakan.
Yang ada justru senyap—sejenis senyap yang bisa menyayat.
Suatu malam, ketika hujan turun tipis-tipis, Raina bertanya dengan suara pelan:
“Mas, kita kenapa?”
Pertanyaan itu meluncur seperti bulir air di kaca jendela. Rapuh.
Bimas berhenti sebentar, menghela napas panjang, lalu berkata:
“Aku cuma… capek.”
Kata yang singkat,
tapi rasanya seperti pintu yang ditutup perlahan di hadapan Raina.
Malam itu ia menangis dalam diam, bukan karena marah…
tetapi karena mulai merasa tak dianggap ada.
---
4. Pecah di Tengah Jalan
Puncaknya terjadi pada hari ulang tahun pernikahan mereka.
Raina menyiapkan makan malam sederhana—ayam panggang, sup, dan kue kecil dengan dua lilin.
Ia tahu situasi sedang pelik, tapi ia ingin mencoba memperbaiki.
Ingin setidaknya ada percakapan.
Ingin merasa bahwa rumah itu masih punya denyut.
Namun Bimas pulang lewat tengah malam.
Wajahnya lelah, baunya seperti seseorang yang menghabiskan terlalu banyak waktu di luar.
Ia melihat meja makan, melihat Raina yang duduk menunggu sambil membatu, lalu berkata:
“Kamu tidak harus menunggu. Aku lupa tanggal.”
Fakta bahwa ia lupa—bukan karena sibuk, tapi karena tidak memikirkan—lebih menyakitkan daripada ketidakadatangan itu sendiri.
Raina menelan perihnya, tapi kali ini ia tak bisa menahan air mata.
“Apa aku… masih penting, Mas?”
Bimas diam lama, terlalu lama.
Dan dalam diam yang panjang itu, Raina menemukan jawabannya sendiri.
---
5. Pengakuan yang Menghancurkan
Beberapa hari kemudian, ketika suasana semakin menegang, Bimas akhirnya berkata:
“Aku… bingung. Aku merasa rumah ini kayak… menekan.”
Raina membeku.
“Apa maksud Mas?”
“Aku nggak tahu. Rasanya… ada yang hilang dari kita. Dan aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
Kalimat itu sederhana,
tapi mengandung pengakuan akan jarak yang sudah terlalu luas untuk dijembatani dengan sekali percakapan.
Raina menyadari sesuatu:
mereka bukan sedang bertengkar.
Mereka sedang tenggelam perlahan.
Dan keduanya tidak tahu bagaimana cara berenang kembali.
---
6. Pertarungan Sunyi
Hari-hari berikutnya di rumah seperti berjalan di atas karpet retak.
Ada hal-hal yang terlalu menyakitkan untuk dikeluhkan,
tapi terlalu nyata untuk diabaikan.
Raina mulai melakukan semuanya sendirian—bangun pagi, memasak, membereskan rumah.
Ia bukan tidak sanggup.
Ia hanya merasa sendirian dalam pernikahannya.
Sementara itu, Bimas sering pulang makin larut.
Kadang ia terlihat ingin menjelaskan, tapi selalu mengurungkan niatnya.
Dua manusia itu saling ingin bicara,
tapi masing-masing terpenjara oleh ketakutan kehilangan.
Ironis, mereka justru kehilangan lebih banyak karena diam.
---
7. Titik Jenuh: Ketika Rumah Tak Lagi Bernapas
Pagi itu, Raina duduk di tepi tempat tidur sambil memegang album foto.
Foto-foto mereka masih tersenyum.
Masih saling menatap.
Masih saling menggenggam.
Sesuatu yang kini terasa asing.
Ia sadar sesuatu:
> “Kita tidak saling membenci.
Kita hanya berhenti berusaha.”
Dan itu lebih berbahaya.
Sore harinya, Raina memberanikan diri berkata:
“Mas… kita butuh bantuan. Kita nggak bisa begini terus.”
Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, Bimas menatapnya dengan mata yang jujur—mata yang memuat rasa takut, lelah, tapi juga… lega.
“Kalau kamu masih mau berusaha,” ujarnya lirih,
“Aku juga mau.”
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada jendela kecil yang terbuka.
---
8. Upaya yang Pelan, Tapi Nyata
Mereka mulai mencoba hal-hal sederhana:
makan bersama tanpa ponsel,
berjalan sore sebentar,
mengobrol tentang hal-hal remeh.
Awalnya canggung.
Tidak natural.
Seperti dua orang yang baru saja belajar ulang cara menjadi pasangan.
Ada malam-malam ketika mereka bertengkar lagi.
Ada sesi ketika percakapan berakhir dengan hening.
Tapi tidak seperti sebelumnya, hening itu bukan pengabaian—
melainkan jeda untuk mencerna.
Mereka mulai belajar:
bahwa cinta tidak hilang begitu saja,
tapi bisa tertimbun oleh rutinitas dan ketakutan.
---
9. Rekonsiliasi: Rumah yang Perlahan Terang
Suatu malam, hujan turun lagi.
Raina menatap jendela, mengingat malam ketika ia bertanya,
“Kita kenapa?”
Bimas tiba-tiba mendekat.
Ia memegang dahi Raina—sentuhan lama yang akhirnya kembali.
“Aku minta maaf…
aku takut bilang aku lelah, takut kamu sakit hati.
Tapi akhirnya justru membuat kamu lebih sakit.”
Raina menunduk, air matanya jatuh tanpa suara.
“Aku juga salah,” katanya,
“Aku terlalu sibuk menunggu kamu berubah, sampai lupa mengajak kamu bicara.”
Mereka saling memeluk.
Bukan pelukan dramatis,
bukan pelukan sinetron,
tapi pelukan dua orang yang akhirnya mengizinkan diri mereka untuk kembali rapuh di depan satu sama lain.
Dan malam itu—untuk pertama kalinya setelah sekian lama—rumah mereka terasa punya jendela lagi.
---
10. Epilog: Rumah yang Belajar Bernapas Lagi
Konflik rumah tangga mereka tidak selesai dalam semalam.
Masih ada hari-hari buruk, masih ada perdebatan kecil.
Tapi perbedaannya adalah:
mereka tidak lagi menghadapinya sendirian.
Cinta bukan selalu soal tawa,
tapi juga keberanian untuk tetap tinggal saat segalanya terasa runtuh.
Dan Raina belajar satu hal penting:
Rumah bukan tempat tanpa konflik.
Rumah adalah tempat di mana dua orang belajar berdamai dengan kekurangan satu sama lain.
---