---
CERITA 2 — “SUARA YANG TAK PERNAH DIDENGAR”
(Konflik rumah tangga — sangat panjang, slice of life, psikologis, penuh luka diam)
Kadang-kadang, sebuah rumah bisa sangat ramai: suara TV, suara piring beradu, suara sepatu yang diseret, bahkan suara pintu yang dibanting. Namun tetap saja, rumah itu bisa terasa sunyi—sunyi yang bukan kekosongan, melainkan ketiadaan arah.
Itulah yang dirasakan Nadine setiap hari.
Ia tinggal di rumah yang tak pernah benar-benar mendengarkan.
Rumah yang dindingnya tebal, tetapi hati di dalamnya lebih tebal lagi.
---
1. NADINE, ISTRI YANG SUARANYA SELALU DI “SIMPAN NANTI”
Pagi itu, seperti biasa, Nadine bangun paling dulu.
Ia membuat teh hangat untuk dirinya, dan kopi hitam untuk suaminya, Adi. Ia menyiapkan sarapan, menata meja, membuka gorden, menyalakan lampu dapur—semua yang melambangkan “istri baik” yang ideal.
Tapi sejak lima tahun terakhir, Nadine selalu merasa:
Ia tidak sedang menjalani rumah tangga… ia sedang mempertahankannya sendirian.
Saat Adi turun dari kamar, mata Nadine bersinar sedikit. Ia ingin sekali mengatakan sesuatu—apa pun. Tentang mimpinya tadi malam, tentang perasaannya, tentang kabel TV yang rusak, tentang kerinduan yang ia simpan, tentang pekerjaan barunya yang melelahkan.
Namun semua niat itu hilang begitu Adi duduk.
Ia membuka ponsel.
Skrol.
Skrol.
Skrol.
Tanpa satu pun menatap Nadine.
“Kopinya, Mas,” kata Nadine pelan.
“Hmmm.”
Sekadar gumaman.
Tak lebih dari suara orang yang sedang memastikan hidungnya masih berfungsi.
Nadine ingin bicara.
Namun ia hafal jawabannya.
“Nanti ya, aku sibuk.”
“Habis ini meeting.”
“Capek, jangan bahas yang berat.”
“Sudah malam, besok aja.”
“Jangan lebay.”
Dan kata-kata itu, yang awalnya hanya seperti kabut tipis, lama-lama berubah menjadi tembok besar yang tak bisa ia panjat.
Suara Nadine tidak hilang.
Hanya saja… tidak ada tempat untuk mendarat.
---
2. KEBISUAN YANG TIDAK PERNAH DIANGGAP MASALAH
Ada hari-hari di mana Nadine duduk di dalam kamar mandi yang tertutup, hanya untuk merasakan dirinya sendiri bernapas. Itu cara paling sunyi untuk mengingat bahwa ia masih hidup.
Sementara Adi tidak pernah menyadari perubahan kecil itu.
Keheningan baginya bukan masalah.
Keheningan baginya adalah kenyamanan.
Baginya, tidak mendengar keluhan berarti rumah tangga baik-baik saja.
Padahal sesungguhnya rumah mereka hanyalah seperti tanah yang tampak kering padahal retaknya sudah sampai ke akar.
Suatu sore, Nadine mencoba berbicara. Dengan suara hati-hati, seolah sedang melangkah di atas lantai kaca.
“Mas…”
Adi tak mengangkat wajah dari laptop.
“Hm?”
“Aku mau cerita…”
“Bentar, aku lagi ngerjain ini.”
Nadine menggigit bibir.
“Mas…”
“Kamu bisa tunggu sebentar nggak?”
Dan Nadine menelan seluruh kalimatnya.
Kalimat tentang betapa sendirinya ia merasa.
Tentang betapa ia ingin didengar bukan sebagai formalitas, tetapi sebagai manusia.
---
3. KEMARAHAN YANG DISIMPAN BERTAHUN-TAHUN
Suatu malam, hujan turun deras, seperti ingin menenggelamkan dunia luar. Nadine duduk sendirian di ruang tamu. Lampu kecil menyala, menciptakan ruangan yang tampak seperti museum kenangan yang berdebu.
Adi pulang larut, setengah basah.
“Hujan gede,” katanya sambil menutup pintu.
Nadine ingin merespons.
Ingin bilang ia takut saat petir menyambar.
Ingin bilang ia nunggu.
Ingin bilang ia cemas.
Tapi ia tahu jawabannya pasti, “Cuma hujan, ngapain takut?”
Jadi ia hanya mengangguk. “Iya.”
Adi membuka sepatu lalu duduk di sofa. Tanpa melihat Nadine.
Dan rasa sakit itu kembali: rasa diabaikan oleh seseorang yang seharusnya menjadi tempat pulang.
Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Nadine merasa marah.
Marah yang intens dan pekat, seperti lava yang lama tertahan di dasar perut bumi.
Ia memanggil, “Mas.”
“Ya?”
Suara Adi tetap tidak menoleh.
“Lihat aku.”
Adi akhirnya menatap—singkat, sebelum kembali ke ponsel.
“Kamu kenapa sih, Nad? Drama lagi?”
Dan kalimat itu—DRAMA LAGI— adalah korek yang menyalakan seluruh ledakan.
---
4. PERTIKAIAN YANG TERLAMBAT KELUAR
“Aku drama?”
Nadine tertawa miris.
“Mas, aku tuh ngomong aja jarang dilihat. Aku cerita ditunda. Aku sedih dicuekin. Mas tau nggak? Aku bahkan nggak inget kapan terakhir kali kamu nanya aku ‘gimana harimu’.”
Adi terdiam.
“Aku pulang, kamu sibuk. Aku makan, kamu nonton. Aku mau cerita, kamu bilang capek. Aku sakit hati, kamu bilang berlebihan.”
Adi mencoba membalas, “Aku kerja buat kita juga, Nad.”
“Aku tau!” Nadine membalas lebih keras.
“Tapi apa kerja itu harus bikin aku ngerasa hidup sama tembok? Aku nggak minta hadiah. Aku cuma minta MAS mendengar. Mendengar. Bukan setengah. Bukan sambil main HP. Bukan cuma ‘hmm’. Tapi benar-benar dengar aku.”
Adi membuka mulut.
“Kamu… beneran ngerasa sehancur itu?”
Nadine mengangguk, air mata turun pelan.
“Mas… aku hidup di rumah ini kayak orang bisu. Suaraku selalu ditunda. Selalu di ‘nanti’. Tapi ‘nanti’ itu nggak pernah datang.”
Adi terdiam lama sekali.
Untuk pertama kalinya, ia terlihat benar-benar kehabisan kata-kata.
“Nadine… kenapa kamu nggak bilang dari dulu?”
Nadine tertawa pedih.
“Aku bilang, Mas. Berkali-kali. Kamu yang nggak pernah dengar.”
Dan itu adalah kalimat paling jujur yang pernah keluar dari bibirnya.
---
5. SEBUAH PERUBAHAN YANG TERLAMBAT, TAPI TIDAK PERNAH SIA-SIA
Malam itu, hujan berhenti tepat saat dua hati di dalam rumah itu mulai pecah bersama.
Tidak ada yang langsung membaik.
Tidak ada yang tiba-tiba damai.
Tapi Adi untuk pertama kalinya mematikan ponselnya.
Menoleh sepenuhnya.
Menatap istrinya.
Menatap perempuan yang selama ini ia anggap akan selalu ada, tanpa perlu dirawat.
Ia mendekat.
“Nad… aku minta maaf.”
Nadine mengusap sisa air mata.
“Mas… aku cuma mau didengar. Itu aja.”
“Mulai sekarang… aku dengar.”
Nadine tersenyum kecil.
Senyuman rapuh, tapi nyata.
“Jangan cuma malam ini, Mas.”
“Tidak,” jawab Adi pelan. “Besok juga. Dan seterusnya.”
Malam itu mereka bicara—lama, panjang, tanpa jeda.
Untuk pertama kali dalam lima tahun, suara Nadine diterima.
Tidak dipotong.
Tidak ditunda.
Tidak dicueki.
Mereka berbicara sampai lampu-lampu kota padam.
Sampai suara kendaraan menghilang.
Sampai hati mereka akhirnya menemukan frekuensi yang sama.
Rumah itu tetap kecil.
Tetap sederhana.
Tetap memiliki masalah.
Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, rumah itu tidak lagi sunyi.
Karena akhirnya, ada seseorang yang mendengar.
---