---
CERITA 1 — “RUMAH TANPA PINTU”
Hujan malam itu tidak turun seperti biasa. Ia jatuh pelan, seperti seseorang yang sudah lelah menangis tetapi masih memaksa air mata keluar karena tidak tahu harus apa selain itu. Di dalam rumah kecil berwarna hijau pudar itu, lampu ruang tamu menyala redup, hanya satu bohlam tua yang setengah mati menggantung dari langit-langit.
Alya berdiri di dapur.
Tegak. Diam.
Seperti patung yang kehilangan maksud penciptaannya.
Di atas meja, dua cangkir kopi sudah dingin. Kedua cangkir itu mewakili dua hati yang dulu saling mencari, kini saling menjauh.
Dan di antara keduanya, ada jarak yang tidak bisa diukur dengan meter, hanya dengan luka.
Pintu depan terbuka.
Rangkaian suara familiar menyusup masuk: langkah berat, helaan napas pelan, dan hentakan kecil saat sepatu diletakkan.
Itu Damar.
Suaminya.
Pria yang dulu membuat hatinya berdebar, dan sekarang membuat kepalanya dipenuhi tanda tanya.
Alya tidak menoleh.
Ia hanya berkata, “Kamu pulang.”
Damar berdiri lama di ambang ruang tamu. Seperti seseorang yang tidak yakin apakah ia sedang pulang ke rumah… atau memasuki arena persidangan.
“Aku capek, Ly,” katanya lelah.
“Capek pulang?” suara Alya dingin.
“Atau capek pura-pura nggak ada apa-apa?”
Damar mengusap wajahnya. “Kamu mulai lagi.”
“Kamu yang memulai,” balas Alya.
Perlahan ia menoleh. Matanya sembab.
“Sudah tiga bulan kamu berubah. Tiga bulan kamu pulang larut tanpa alasan jelas. Tiga bulan aku bicara sama dinding.”
Damar membuka mulut—lalu menutupnya lagi. Ia duduk di kursi ruang tamu, merosot seperti seseorang yang akhirnya menyerah.
“Aku nggak selingkuh,” katanya tiba-tiba.
“Kalau itu yang kamu pikirkan.”
Alya tertawa pendek.
Tawa yang pecah seperti kaca.
“Damar. Aku nggak bilang kamu selingkuh. Tapi kamu jelas menyembunyikan sesuatu.”
Sunyi.
Sunyi yang bukan damai.
Sunyi yang menusuk.
---
Rahasia yang Tak Pernah Selesai
Damar menatap lantai. Ada getaran kecil di jarinya, seperti seseorang yang ingin mengaku tapi takut pada konsekuensi dari kalimat pertama.
“Aku kehilangan pekerjaan, Ly.”
Alya terdiam.
Darahnya seperti berhenti mengalir.
“…apa?”
“Aku di-PHK tiga bulan lalu. Perusahaannya bangkrut.”
Ia menghembuskan napas berat.
“Aku malu. Aku takut kamu kecewa. Aku takut kamu lihat aku sebagai beban…”
Alya menatapnya tak percaya.
“Kamu pikir aku cuma peduli uang?”
“Bukan begitu—”
“Lalu apa? Kamu pikir aku lebih senang dibohongi?”
Damar mencengkeram rambutnya.
“Aku cuma… nggak siap terlihat gagal di depan kamu.”
Alya mendekat, suaranya pecah.
“Damar, apa kamu kira rumah tangga itu tempat pamer keberhasilan? Kita itu tim. Kita itu dua orang yang saling menopang. Kalau kamu jatuh, aku ikut jatuh. Kalau kamu terpuruk, aku turun menemani. Tapi kamu malah milih jatuh sendirian.”
Ia memegang dada.
“Dan kamu bikin aku merasa nggak dibutuhin.”
---
Retakan yang Lama Tersimpan
Damar menatap Alya.
Pertama kalinya dalam tiga bulan, benar-benar melihatnya.
“Ly… aku salah.”
Suara itu jujur.
Suara seseorang yang hancur.
“Tapi aku juga takut. Aku tumbuh di keluarga yang bapaknya selalu bilang, laki-laki itu harus kuat. Harus bisa nafkahi. Harus tahan banting. Dan aku… aku nggak kuat. Aku nggak tahan banting. Aku gagal.”
Alya mendekatinya.
Dan kali ini, bukan untuk marah.
Melainkan untuk duduk di sampingnya.
“Kamu bukan gagal.”
Ia menatap Damar lama.
“Kamu cuma manusia.”
Hening panjang mengisi ruangan.
“Kalau kamu kehilangan pekerjaan,” lanjut Alya, “kita cari sama-sama. Kalau kamu patah, aku bisa jadi penyangga. Kalau kamu takut, kamu bisa bilang. Aku istrimu, bukan juri hidupmu.”
Damar menunduk.
Air mata jatuh di punggung tangannya—air mata yang bertahun-tahun tidak pernah ia izinkan keluar.
“Aku minta maaf,” katanya sambil terisak.
“Aku takut kehilangan harga diri… dan akhirnya hampir kehilangan kamu.”
Alya memegang tangannya.
“Aku ada di sini. Tapi jangan lagi biarkan aku berjalan sendirian.”
---
Rumah Tanpa Pintu
Hujan mulai berhenti.
Aroma tanah basah masuk melalui jendela retak.
Damar memeluk Alya—erat, lama, seperti seseorang yang menemukan kembali rumah yang ia kira sudah hancur.
Alya memejamkan mata.
“Mulai besok,” katanya, “kita jujur. Kita buka pintu, meski yang masuk adalah angin dingin atau kabar buruk. Rumah itu tempat dua orang saling kembali, bukan tempat sembunyi.”
Damar mengangguk, wajahnya di bahu Alya.
“Rumah kita nggak butuh pintu… asal kita berani masuk ke hati masing-masing.”
Dan malam itu, tanpa rencana, tanpa janji mewah, tanpa kata-kata besar, mereka memulai kembali dari awal.
Dengan tangan saling menggenggam.
Dengan hati yang akhirnya bicara.
Dengan luka yang pelan-pelan dirawat, bukan disembunyikan.
Rumah itu tetap retak.
Tetap sederhana.
Tetap tidak sempurna.
Tapi untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan,
rumah itu terasa hangat lagi.
Bukan karena lampunya.
Bukan karena cuacanya.
Tapi karena dua hati di dalamnya kembali saling melihat.
---