The final and last chapter
Thanks Reader
Karena sudah membaca sampe chapter terakhir..💅🏻
And happy reading reader
---
CHAPTER 5 — “RUMAH YANG KEMBALI DI DADA”
Angin dini hari bergerak seperti helai memori, menyentuh jendela atap kamar itu dengan napas yang pelan. Mercy terbangun paling dulu—seperti biasa—sementara Yaya masih memeluk bantal, dan Alena duduk diam di lantai, menatap kertas-kertas berserakan yang berisi seluruh perjalanan mereka. Tulisan, catatan, bahkan kalimat-kalimat yang tidak pernah selesai.
Pagi itu terasa berbeda.
Pagi itu terasa… penutup.
Sejak malam sebelumnya, setelah pertengkaran besar dan pengakuan menyakitkan, mereka bertiga tahu bahwa hidup tidak akan kembali seperti semula. Tetapi mereka juga merasa: untuk pertama kalinya, retakan tidak berarti kehancuran. Retakan bisa menjadi tempat cahaya masuk.
Mercy bangkit pelan, menyibakkan rambut panjang berwarna hitam–coklat–abu yang terjatuh menutupi wajahnya. Cahaya pagi jatuh di pundaknya, membuatnya tampak seperti sosok yang diciptakan dari embun dan matahari.
“Sudah siap?” tanyanya, suaranya lembut namun tegas.
Yaya menggeliat sambil menguap. “Kalo siapnya termasuk drama, nangis, makan snack, dan nyeletuk nggak penting… yup. Aku siap.”
Alena menghela napas panjang, nadanya tenang tapi matanya tajam. “Kita harus jujur semuanya pagi ini. Tidak ada yang ditahan. Tidak ada yang dipoles.”
Mereka bertiga duduk melingkar.
Seperti pengadilan yang anggotanya saling menghakimi, tetapi juga seperti keluarga yang menolak saling meninggalkan.
---
1. MERCY — Cahaya yang Pernah Takut Menyala
Mercy memulai.
Suaranya gemetar, tapi ia tidak menurunkannya.
“Aku… selama ini selalu berusaha terlihat tegar. Lembut. Dewasa. Aku pikir itu tugas aku—jadi pelindung. Jadi cahaya. Tapi ternyata aku juga bisa takut. Bisa marah. Bisa merasa nggak dihargai.”
Tangannya mengepal.
Matanya berair.
“Waktu kalian bertengkar, waktu kalian jauh… aku ngerasa gagal. Padahal kalian bagian dari aku. Tapi aku justru menyalahkan diri sendiri.”
Yaya langsung memeluknya dari samping.
“Mercy, kamu bukan cahaya cuma karena kamu nggak pernah gelap. Kamu cahaya karena kamu tetap nyala walau gelapnya banyak.”
Alena mengangguk.
Jarang dia bersuara, tetapi ketika ia berbicara, kata-katanya menancap.
“Kamu selalu dipercaya, bukan berarti kamu harus kuat terus. Cahaya juga boleh goyah.”
Mercy menangis lebih keras—tapi untuk pertama kalinya, itu bukan kelemahan. Itu kelegaan.
---
2. YAYA — Tawa yang Menyembunyikan Kubangan
Yaya menarik lututnya ke dada.
Ia mengusap matanya secara dramatis, padahal air matanya nyata.
“Giliran aku ya. Aku tuh sering sok ceria. Sok nggak peduli. Sok cuek. Padahal… aku tuh takut banget kehilangan orang.”
Suara Yaya pecah seperti kaca yang jatuh di lantai.
“Aku takut ditinggal. Aku takut nggak dianggap. Makanya aku banyak tingkah, biar orang ketawa. Biar mereka nggak pergi. Tapi aku sadar… tawa palsu pun bisa jadi racun.”
Alena menyentuh punggung Yaya.
Jarang ia memberikan sentuhan—tetapi saat ia lakukan, itu tulus.
“Kamu tidak harus menari untuk mempertahankan orang,” katanya pelan.
“Yang mau tinggal, akan tetap tinggal bahkan di senyapmu.”
Yaya tersedu, lalu tersenyum kecil.
Senyuman asli.
Tidak dipaksakan.
---
3. ALENA — Luka yang Diam-diam Berbicara
Saat giliran Alena, kamar terasa lebih sepi.
Udara lebih padat.
Ia memandangi kedua sisinya—Mercy dan Yaya—lalu memandang lantai.
“Aku… sering terlalu tenang. Terlalu diam. Terlalu… ‘dewasa’. Tapi sebenernya itu cara aku bertahan. Waktu semuanya berisik, aku masuk ke kepala sendiri. Dan dunia dalam kepala aku kadang terlalu gelap sampai aku bingung jalan keluarnya.”
Yaya memandangnya, kaget.
“Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?”
“Aku takut. Takut kalian pikir aku nggak perlu ditemani, karena aku selalu terlihat kuat.”
Mercy menarik Alena ke pelukannya.
“Alena… menjadi kuat tidak berarti harus sendirian.”
Untuk pertama kalinya, Alena menangis tanpa menahan apa pun.
---
4. KEBENARAN YANG MEREKA TAKUTI SELAMA INI
Setelah semua kejujuran keluar, mereka terdiam lama.
Di tengah sunyi itu, Mercy akhirnya berkata,
“Kita bukan tiga orang yang saling terpisah. Kita satu kesatuan yang lagi belajar mengenal diri sendiri.”
Yaya mengangguk cepat. “Betul. Aku adalah sisi kamu yang ceria tapi takut.”
Alena melanjutkan. “Aku sisi kamu yang tenang tapi mudah tersesat.”
Mercy menutup, “Dan aku sisi kamu yang lembut, tapi sering memikul terlalu banyak.”
Tiba-tiba, angin pagi masuk dari jendela dan rambut tiga warna mereka bergerak bersamaan—hitam, coklat, abu.
Seolah dunia pun menyatukan mereka kembali.
---
5. PLOT TWIST — “SELAMAT DATANG KEMBALI, GRACE”
Tepat saat mereka hendak bangkit, sebuah suara terdengar—bukan dari luar, tapi dari dalam diri mereka sendiri.
Sebuah suara yang lebih dewasa.
Lebih tenang.
Lebih penuh pemahaman.
“Sekarang kalian siap kembali.”
Mereka terdiam.
Bukan ketakutan—tapi pengenalan.
Sebab suara itu adalah kamu.
Versi dirimu yang paling utuh.
Versi dirimu yang melihat semuanya—cahaya Mercy, tawa Yaya, dan kedalaman Alena—dan menerimanya tanpa syarat.
Mercy menatap kosong.
Yaya mematung.
Alena memejam mata.
Ketiganya berbisik bersamaan,
“…Grace.”
Dan seketika itu, mereka mengerti:
selama ini mereka bukan mencari satu sama lain.
Mereka sedang mencari dirimu—rumah asli bagi semua sisi itu.
---
6. HEALING — BUKAN SEMPURNA, TAPI SELARAS
Hari itu tidak menyelesaikan semua masalah.
Toxic friendship yang pernah menghancurkan kepercayaan diri mereka tidak tiba-tiba hilang.
Luka lama tidak tiba-tiba sembuh.
Rasa takut kehilangan tidak lenyap begitu saja.
Tetapi untuk pertama kalinya, mereka tidak lagi melawan satu sama lain.
Mereka berjalan pulang—ke dalam diri yang sama—dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, langkah mereka tidak bertabrakan.
Mercy membawa cahaya.
Yaya membawa tawa.
Alena membawa kedalaman.
Dan kamu, Grace, berjalan di depan mereka.
Memimpin.
Menyatukan.
Mengizinkan semua bagiannya hidup tanpa saling menghapus.
---
ENDING — RUMAH ITU TERNYATA DIRI SENDIRI
Malamnya, ketika dunia kembali tenang, ketiga sisi dirimu berdiri di depan satu pintu.
Pintu itu bukan pintu rumah.
Bukan pintu masa lalu.
Bukan pintu masa depan.
Itu adalah pintu menuju dirimu sendiri.
Pintu yang selama ini terkunci.
Pintu yang akhirnya siap dibuka.
Grace memutar gagangnya.
Dan untuk pertama kalinya, semuanya terasa seperti pulang.
---
MORAL CERITA
1. Tidak ada versi diri yang salah; yang salah adalah saat kita memaksa satu sisi untuk mematikan sisi yang lain.
2. Toxic friendship mengajarkan batas, bukan kebencian—kita belajar siapa yang pantas tinggal.
3. Penyembuhan bukan membuat diri sempurna, tapi membuat diri selaras.
4. Semua sisi yang tampak bertolak belakang sebenarnya bekerja untuk tujuan yang sama: menjaga kita tetap hidup.
5. Rumah bukan tempat; rumah adalah diri sendiri ketika kita sudah berani menerima semua versi kita—bahkan yang paling gelap.
---