Happy reading
---
CHAPTER 4 — “Hal-Hal yang Tidak Kita Mengerti Hingga Kita Kehilangan”
---
1. Hari yang Terasa Seperti Jeda Antara Badai
Setelah percakapan di taman itu, hubungan Alena dan Nara kembali terasa hangat, tetapi kehangatannya bukan seperti api unggun yang membara — lebih seperti lilin kecil yang dijaga dengan kedua tangan.
Mereka lebih hati-hati.
Lebih jujur.
Lebih lambat, tapi lebih nyata.
Namun kedamaian itu terasa seperti jeda…
bukan akhir.
Karena suatu hal di dalam diri Alena mulai mempertanyakan sesuatu yang selama ini ia abaikan:
Kenapa rumor-rumor itu selalu muncul dengan pola yang sama?
Kenapa selalu ada seseorang yang tahu timing paling menyakitkan?
Dan mengapa hatinya mulai percaya bahwa ini belum selesai?
---
2. Kelas Seni: Tempat Semua Emosi Bersembunyi
Di kelas seni, mereka mendapat tugas membuat lukisan yang “mewakili kondisi batin.”
Kebetulan topik itu muncul pada saat yang tidak tepat dan tepat sekaligus.
Alena duduk di depan kanvas, mengoleskan warna perlahan, mencoba menuangkan sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak punya kata untuk menjelaskannya.
Hasilnya bukan gambar orang.
Bukan alam.
Bukan simbol klise.
Yang muncul di kanvas adalah dua bentuk cahaya — satu lembut, putih keperakan, satu lagi gelap, seperti kabut hitam yang terurai.
Keduanya tidak bertarung.
Tidak bertubrukan.
Hanya… saling menyentuh di bagian tengah.
Seperti dua jiwa yang sama-sama retak tapi berusaha bertemu.
Guru seni berkomentar pelan, “Lukisanmu terasa jujur. Bahkan menyakitkan.”
Alena hanya tersenyum samar.
Ia tahu itu benar.
Dari kejauhan, seseorang memperhatikan lukisan itu—Liria.
Tatapannya bukan iri…
melainkan sesuatu yang Alena belum mengerti.
Semacam amarah yang dibungkus senyum.
---
3. Kafe: Percakapan yang Mengungkap Bagian Yang Tersembunyi
Minggu berikutnya, Alena dan Nara kembali ke kafe kecil mereka.
Namun suasana hari itu agak berbeda.
Nara terlihat… gugup.
“Len,” katanya sambil memainkan sendoknya, “boleh aku jujur tentang sesuatu?”
Alena menegakkan punggung. “Tentu.”
Nara menghela napas panjang, seperti menyiapkan hatinya untuk ditelanjangi.
“Waktu rumor itu menyebar… aku sempat percaya. Bukan sepenuhnya, tapi… ada bagian dari diriku yang bilang kamu akan meninggalkan aku seperti dia dulu.”
Alena terdiam.
Nara melanjutkan, suaranya bergetar:
“Aku benci kalau harus bilang ini, tapi… aku takut kamu hanya mencari tempat aman sementara. Dan kalau suatu hari kamu sembuh, kamu tidak butuh aku lagi.”
Itu ketakutan paling dalam Nara.
Dan mendengarnya membuat dada Alena menegang.
Namun yang mengejutkan adalah…
Alena tidak marah.
Ia justru merasa mengerti.
Ia memegang tangan Nara pelan.
“Aku bukan orang yang sempurna, Nar. Tapi aku bukan orang yang pergi tanpa alasan. Kalau aku pergi… berarti aku benar-benar disakiti. Bukan karena aku bosan.”
Nara menunduk.
Untuk pertama kalinya, ia terlihat kecil.
Dan Alena menyadari:
ketakutan Nara bukan tentang masa lalu…
tapi tentang dirinya sendiri.
---
4. Kunjungan Tak Terduga
Suatu sore, saat Alena pulang dari sekolah, Mercy — gadis berwajah teduh yang sebelumnya membantu Alena di lorong — menghampirinya.
“Aku boleh bicara bentar?” tanya Mercy.
Mereka duduk di bangku dekat taman, angin sore membawa aroma tanah basah.
“Aku mau bilang sesuatu tentang Liria,” ucap Mercy pelan.
Alena menoleh cepat.
Mercy menatapnya dengan mata jujur yang tidak pernah Alena lihat sebagai kebohongan.
“Liria bukan cuma sebar rumor… dia sengaja buat kamu tampak buruk karena dia takut kamu sukses tanpa dia.”
Alena terpaku.
“Sewaktu kalian masih di lingkaran yang lama,” lanjut Mercy, “dia sering bilang hal-hal kayak… ‘Kalau Alena makin maju, dia pasti lupa kita.’
Dia bilang itu bercanda… tapi aku rasa dia percaya.”
Alena menelan ludah.
Mercy menambahkan sesuatu yang menjadi plot twist lain:
“Dan waktu kamu mulai dekat sama Nara, Liria bilang,
‘Bagus, kalau patah hati lagi, biar dia balik ke kita.’”
Alena merasa dunia berputar sebentar.
Mercy menggenggam bahunya, lembut namun tegas.
“Aku bilang ini bukan buat kamu benci dia.
Tapi supaya kamu benar-benar tahu siapa yang memengaruhi hidupmu tanpa kamu pernah sadar.”
Lalu Mercy pergi.
Meninggalkan Alena dengan kebenaran yang berat, tapi penting.
---
5. Saat Luka Baru Menyentuh Luka Lama
Malamnya, Alena tidak bisa tidur.
Kalimat Mercy menggema di kepalanya:
“Kalau Alena makin maju, dia pasti lupa kita.”
Ternyata selama ini, Alena bukan dihukum karena kesalahan…
tapi karena keberaniannya untuk berubah.
Dia baru sadar satu hal besar:
Kadang orang tidak ingin kita sembuh…
karena saat kita sembuh, mereka kehilangan kuasa.
Itu menjelaskan mengapa rumor demi rumor muncul.
Mengapa setiap langkah kecil menuju kebahagiaan selalu diganggu sesuatu.
Pikirannya berputar, tapi tiba-tiba ada notifikasi masuk.
Pesan dari Nara.
> “Kamu masih bangun?”
Alena menatap layar.
Dan untuk pertama kalinya setelah hari yang berat itu, ia merasa tidak sendirian.
---
6. Hari di Perpustakaan: Ketika Rahasia Terungkap Tanpa Sengaja
Keesokan harinya, Alena melihat Nara di perpustakaan.
Wajahnya serius, napasnya agak tidak stabil.
“Nara?” tanya Alena.
Nara menoleh, lalu berkata dengan suara rendah:
“Aku denger sesuatu… dari Cece.”
Alena langsung tegang. “Apa?”
Nara menutup bukunya pelan.
“Aku cuma mau tanya satu hal:
Kamu bener-bener gak pernah bilang ke siapa pun kalau kamu ragu sama aku?”
“Tidak pernah,” jawab Alena tegas.
Dan di situlah plot twist berikutnya muncul.
Cece yang memberi tahu rumor baru itu mengatakan pada Nara:
> “Ada seseorang yang bilang dia dengar langsung Alena ragu sama kamu.”
Dan orang itu adalah—
Liria. Lagi.
Dan parahnya, Cece pun mulai sadar bahwa Liria memanipulasi situasi.
“Kita harus bicara sama Liria,” kata Nara tiba-tiba, suaranya tegas namun takut.
Alena mengangguk.
Tangan mereka berdua gemetar—bukan karena marah…
tapi karena luka mereka sedang disentuh dari dua arah sekaligus.
---
7. Konfrontasi yang Pecah Secara Emosional
Mereka menemui Liria seusai sekolah.
Liria sedang duduk sendirian di bangku dekat lapangan.
Ketika melihat Alena dan Nara berjalan bersama, ekspresinya berubah—kejut, lalu defensif.
“Kalian mau apa?”
Nara mengambil langkah maju, suaranya tenang tapi dingin.
“Kami mau tahu kenapa kamu terus fitnah Alena.”
Liria tertawa kecil, tapi suaranya getaran.
“Aku cuma bilang yang aku lihat.”
“Tidak,” potong Alena.
“Kamu bilang yang kamu mau orang percayai.”
Liria memutar bola matanya. “Apa masalahnya sih?
Aku cuma peduli sama kamu, Len.
Aku cuma gak mau kamu jatuh lagi.”
“Aku boleh jatuh,” jawab Alena, suaranya pecah namun mantap.
“Tapi itu pilihanku. Bukan terenamu.”
Liria terdiam.
Alena melanjutkan, emosinya meledak dengan lembut:
“Kamu bilang kamu peduli… tapi kamu sebenarnya ingin aku tetap kecil.
Supaya kamu gak merasa tertinggal.”
Wajah Liria berubah putih.
“Bukan begitu—”
“Itu persis begitu,” kata Alena.
Nara berdiri di sampingnya.
“Dan kamu bukan cuma hampir merusak Alena,” katanya, “kamu hampir menghancurkan aku juga.”
Liria menatap keduanya, lalu menangis.
Namun tangisan itu bukan penyesalan yang tulus —
lebih seperti tangisan seseorang yang kehilangan kendali.
“Aku cuma takut kalian ninggalin aku,” katanya di antara isakan.
Dan di situlah Alena mengerti:
Liria pun luka.
Tapi luka tidak memberi hak untuk melukai.
---
8. Setelah Semua Pecah
Setelah konfrontasi itu, Alena merasa seperti baru bangun dari mimpi panjang yang mengganggu.
Ia berjalan dengan langkah pelan, napas berat, tetapi hatinya terasa lebih ringan.
Di sampingnya, Nara berjalan dalam diam.
Sesampainya di dekat gerbang sekolah, Nara berkata:
“Kamu hebat, Len. Kamu hadapi dia tanpa nyerang, tanpa jatuhin… tapi tetap tegas.”
Alena tersenyum kecil. “Aku hanya tidak mau hidupku ditentukan ketakutan orang lain.”
Nara mengangguk.
Lalu perlahan, suaranya berubah lembut — lebih lembut dari yang pernah Alena dengar.
“Kalau kamu mau… aku mau jadi tempat kamu pulang.
Bukan untuk menggantikan siapa pun…
tapi untuk menemani kamu sampai kamu siap berdiri sendiri.”
Alena terdiam.
Hatanya dipenuhi kehangatan — bukan yang membakar, tapi yang menyembuhkan.
Lalu dengan suara nyaris berbisik, ia menjawab:
“Aku mau.”
---
9. Menuju Akhir: Rasa yang Mulai Tebal
Hari-hari setelah itu berjalan lebih tenang.
Alena tidak lagi menghindar.
Nara tidak lagi menahan diri.
Hubungan mereka berubah — bukan sekadar nyaman, tapi dalam.
Ada kepercayaan baru yang tumbuh, meski pelan, seperti akar kecil mencari tanah yang tepat.
Dan untuk pertama kalinya, Alena merasa:
Penyembuhan bukan tentang menghapus masa lalu…
tapi memilih siapa yang mau berjalan bersamamu melewatinya.
---
10. Akhir Chapter 4: Ketika Tenang Mulai Datang Dari Dalam
Suatu sore, Alena menatap matahari terbenam dari balkon rumahnya.
Warna jingga menutupi langit, lembut seperti selimut yang direntangkan oleh alam.
Ia memegang secangkir teh.
Menghirup aromanya pelan.
Dan ia tersenyum —
bukan karena semuanya sudah baik-baik saja,
tapi karena ia akhirnya percaya bahwa dirinya pantas untuk bahagia.
Hari itu, ia menulis:
> “Aku tidak sembuh sepenuhnya.
Tapi aku tidak takut lagi menghadapi diriku sendiri.”
Dan dengan itu,
ia siap menyambut bab terakhir dalam perjalanan emosinya.
---