Wilwatikta
Author: cahaya3112
Keluarga
Wilwatikta, adalah sebuah kemaharajaan talasokrasi Hindu-Buddha Jawa yang berbasis di pulau Jawa, sekarang di Indonesia. Pada masa kejayaannya, setelah melakukan ekspansi militer yang signifikan, wilayah Majapahit dan negara-negara bawahannya meliputi hampir seluruh kepulauan Nusantara dan meliputi sebagian Asia Tenggara, Setelah perang saudara yang melemahkan kendali atas negara-negara bawahan, Majapahit perlahan-lahan akhirnya runtuh pada tahun 1527 akibat invasi Kesultanan Demak. Kejatuhan Majapahit menandai munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Didirikan oleh Raden Wijaya pada tahun 1292, Majapahit bangkit berkuasa setelah invasi Mongol ke Jawa dan mencapai puncaknya pada era ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi dan putranya Hayam Wuruk, yang pemerintahannya pada pertengahan abad ke-14 ditandai dengan penaklukan yang meluas ke seluruh Asia Tenggara. Prestasi ini juga diakui oleh perdana menteri yang terkenal Gajah Mada. Menurut Nagarakṛtāgama yang ditulis pada tahun 1365, Majapahit adalah sebuah kerajaan dengan 98 wilayah kekuasaan, yang membentang dari Sumatra hingga Papua; termasuk wilayah-wilayah di Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand selatan, Timor Leste, dan Filipina barat daya (khususnya Kepulauan Sulu). Sifat hubungan dan pengaruh Majapahit terhadap negara-negara pengikutnya di seberang lautan, serta statusnya sebagai sebuah kerajaan adalah bersifat mandala yaitu setiap kerajaan bawahan harus mengirim upeti setiap tahun dan mengakui kekuasaan pusat, namun kerajaan bawahan Majapahit bebas mempunyai raja dan budaya sendiri. Majapahit merupakan salah satu kerajaan Hindu-Buddha terakhir di wilayah tersebut dan dianggap sebagai salah satu kerajaan terbesar dan terkuat dalam sejarah Indonesia dan Asia Tenggara. Kadang-kadang dianggap sebagai preseden batas wilayah Indonesia modern.Bahkan warisan dari Kemaharajaan Majapahit sangat banyak yang digunakan untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengaruhnya diperkirakan melampaui wilayah Indonesia modern dan telah menjadi subjek banyak penelitian. Nama Majapahit (kadang juga dieja Mojopait untuk pelafalan dalam bahasa Jawa) berasal dari bahasa Jawa, yang berarti "maja pahit". Orientalis Jerman, Berthold Laufer, menyarankan bahwa unsur maja berasal dari nama Jawa untuk Aegle marmelos, sejenis pohon yang tumbuh di Jawa hingga seluruh Indonesia. Majapahit juga disebut dengan sinonim yang berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu Wilwatikta yang berarti "maja pahit". Toponim yang mengandung kata maja umum ditemukan di wilayah sekitar Trowulan, karena di Jawa merupakan praktik yang umum untuk menamai suatu daerah, desa, atau permukiman berdasarkan jenis pohon atau buah yang paling melimpah atau mencolok di wilayah tersebut. Pararaton, sebuah kronik dari abad ke-16, mencatat sebuah legenda yang terkait dengan pendirian permukiman baru di hutan Trik oleh Raden Wijaya pada tahun 1292. Disebutkan bahwa para pekerja yang menebangi hutan Trik menemukan beberapa pohon maja dan memakan buahnya yang pahit, yang kemudian menjadi asal nama desa tersebut. Menurut sejarah, nama Majapahit merujuk pada ibu kota kerajaan, tetapi saat ini umum digunakan untuk menyebut keseluruhan kerajaan tersebut. Dalam sumber-sumber utama berbahasa Jawa, kerajaan dalam cakupan wilayah yang lebih luas biasanya disebut bukan sebagai Majapahit, tetapi sebagai bhūmi Jawa ("tanah Jawa") dalam bahasa Jawa Kuno atau yava-dvīpa-maṇḍala ("negara di pulau Jawa") dalam bahasa Sanskerta. Adapun istilah Majapahit disebutkan dalam prasasti Tuhanaru dikeluarkan oleh raja Jayanagara pada tahun 1245 Saka (1323 M) yang menyebutkan: ".. Çri Mahārāja an t an tuhu-tuhu wiṣṇwatāra inadhiṣṭāna saŋ parama sujana pinratiṣṭa irikaŋ rājya i majhapahit ..." Terjemahan inskripsi: (memang sebenar-benarnya Śrī Mahārāja penjelmaan Wiṣṇu, dimohon oleh orang-orang yang terkemuka, [untuk] ditahbiskan di kerajaan Majapahit.) Sejarah mengenai kemaharajaan Majapahit masih menjadi salah satu subjek penelitian yang menarik untuk dibahas dan ditelusuri lebih jauh lagi. Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan diantaranya adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno. Pararaton menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) tetapi juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama adalah puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Kakawin Nagarakretagama pada tahun 2008 diakui sebagai bagian dalam Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World Programme) oleh UNESCO. Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain. C.C. Berg menganggap bahwa sebagian naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan. Kebanyakan sarjana tidak menerima pandangan ini, karena catatan sejarah Majapahit sesuai dengan catatan Cina yang tidak mungkin memiliki maksud yang sama. Daftar penguasa dan detail struktur negara tidak menunjukkan tanda-tanda dibuat-buat. Pada tahun 2010, sekelompok pengusaha Jepang dipimpin Takajo Yoshiaki membiayai pembuatan kapal Majapahit atau Spirit of Majapahit yang akan berlayar ke Asia. Menurut Takajo, hal ini dilakukan untuk mengenang kerjasama Majapahit dan Kerajaan Jepang melawan Kerajaan Yuan China (Mongol) dalam perang di Samudera Pasifik. Menurut Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic, jangkauan kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra dan Singapura bahkan Thailand yang dibuktikan dengan pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni. Bahkan ada perguruan silat bernama Kali Majapahit yang populer di Filipina dengan anggotanya dari Asia dan Amerika. Silat Kali Majapahit ini berakar dari Kemaharajaan Majapahit kuno yang disebut menguasai Filipina, Singapura, Malaysia dan Selatan Thailand. Sir Thomas Stamford Raffles, seorang negarawan Britania yang pertama kali mendokumentasikan situs Trowulan di Mojokerto, Jawa Timur. Dibandingkan dengan peradaban kontemporer lainnya di Asia, peninggalan fisik Majapahit yang masih ada relatif sedikit. Meski demikian, Kemaharajaan Majapahit meninggalkan bukti fisik yang dapat ditemukan, terutama di wilayah Trowulan, yang pernah menjadi ibu kota kerajaan. Kawasan ini kini menjadi pusat kajian sejarah Kemaharajaan Majapahit. Situs arkeologi Trowulan pertama kali didokumentasikan pada abad ke-19 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Letnan-Gubernur Jawa Britania dari Kongsi Dagang antara tahun 1811 hingga 1816. Dalam catatannya, ia menyebut adanya "reruntuhan candi yang tersebar di berbagai penjuru negeri sepanjang beberapa mil" dan menggambarkan Trowulan sebagai "kebanggaan Jawa". Gambaran satelit telah mengungkap jaringan kanal yang luas yang membentang di ibu kota Majapahit. Penemuan pada April 2011 mengindikasikan bahwa ibu kota Kemaharajaan Majapahit jauh lebih luas dari perkiraan sebelumnya, setelah sejumlah artefak berhasil ditemukan. Sumber-sumber sejarah Tiongkok mengenai Majapahit terutama diperoleh dari kronik Dinasti Yuan dan selanjutnya Dinasti Ming. Catatan Tiongkok tentang Majapahit terutama berasal dari laporan laksamana Ming, Zheng He, selama kunjungannya ke Majapahit antara tahun 1405 hingga 1432. Penerjemah Zheng He, Ma Huan, menulis deskripsi rinci tentang Majapahit dan tempat tinggal raja Jawa. Laporan tersebut disusun dan dikumpulkan dalam Yingya Shenglan, yang memberikan wawasan berharga tentang budaya, adat istiadat, serta berbagai aspek sosial dan ekonomi di Jawa (爪哇, chao-wa) selama masa Majapahit. Catatan Resmi Dinasti Ming (Ming shi-lu) memberikan bukti pendukung untuk peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah Majapahit, seperti Perang Regreg. Pupuh XII, 1. Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng Timur tempat tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja, Selatan Buda-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka Barat tempat arya, menteri dan sanak-kadang adiraja. 2. Di timur, tersekat lapangan, menjulang istana ajaib, Raja Wengker dan rani Daha penaka Indra dan Dewi Saci, Berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani Lasem, Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta. 3. Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi, Di situ menetap patih Daha, adinda Baginda di wengker, Batara Narapati, termashur sebagai tulang punggung praja, Cinta taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak. 4. Di timur laut rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada, Menteri wira, bijaksana, setia bakti kepada Negara, Fasih bicara, teguh tangkas, tenang tegas, cerdik lagi jujur, Tangan kanan maharaja sebagai, penggerak roda Negara. 5. Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus, Sebelah timur perumahan Siwa, sebelah barat Buda, Terlangkahi rumah para menteri, para arya dan satria, Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura. 6. Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang cemerlang, Menandingi bulan dan matahari, indah tanpa upama, Negara-negara di nusantara, dengan Daha bagai pemuka, Tunduk menengadah, berlindung di bawah Wilwatika. Trowulan (saat ini di Mojokerto, Jawa Timur): Merupakan ibu kota pada masa kejayaan Majapahit, terutama di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Mojokerto (saat ini): Menjadi ibu kota pertama yang didirikan oleh Raden Wijaya. Daha (Kediri): Merupakan ibu kota pada masa akhir kekuasaan Majapahit, di bawah pemerintahan Girindrawardhana, seperti yang disebutkan dalam sumber-sumber kuno seperti Suma Oriental. Bujangga Manik telah mengambil rute paling mudah dan juga mungkin paling lazim dilalui masyarakat saat itu sekiranya hendak ziarah ke Gunung Pawitra. Rute termudah ini mengisyaratkan lokasi Trowulan merupakan titik awal keberangkatan ziarahnya ke Gunung Pawitra atau Gunung Penanggungan sekarang. Seperti telah diulas dalam artikel Misteri Lokasi Kedaton Majapahit, bahwa popularitas kawasan arkeologi Situs Trowulan sebagai locus keraton (royal city) atau ibu kota Kerajaan Majapahit tentu tidak terlepas dari serangkaian publikasi yang telah berlangsung lama. Berawal dari hasil penelitian Willem Bartholomeus Wardenaar di awal abad ke-19, disambung tulisan Sir Stamford Raffles dalam The History of Java pada 1817, dan hingga puncaknya ialah publikasi Henry Maclaine Pont di awal abad ke-20. Seperti diketahui, Maclaine Pont di sepanjang tahun 1921 ? 1924 mengadakan ekskavasi di Trowulan dengan maksud mencocokkan data lapangan dengan uraian Mpu Prapanca dalam Kakawin Negarakertagama. Hasil penelitiannya menghasilkan sketsa rekonstruksi Kota Majapahit di Trowulan, Map of the Majapahit Terrain. Dengan latar belakang keilmuannya sebagai arsitek, Maclaine Pont dalam tulisan-tulisan lainnya bahkan juga menyimpulkan bahwa puncak capaian arsitektural Jawa terjadi di era Majapahit. Sudah tentu simpulan Maclaine Pont tentang capaian arsitektur Jawa berpuncak pada periode Majapahit, jika dibaca oleh Raffles bakal memunculkan polemik tersendiri. Pasalnya Raffles justru mendalilkan sebaliknya. Mulai digunakannya batu bata merah sebagai sumber material pembangunan candi dan tidak ditemukannya bangunan besar serta monumental seperti Candi Borobudur atau Prambanan, sejak bergesernya pusat kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, menurut Raffles justru menandai periode sejarah kemerosotan Jawa. Untung saja saat tulisan-tulisan Maclaine Pont dipublikasikan, Raffles sudah berpulang jauh hari. Tulisan ini tentu saja tidaklah berpamrih mendedah kegundahan Raffles, yang melihat kontras antara periode Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seperti diketahui periode Jawa Tengah memiliki sejumlah bangunan monumental yang sangat megah dan estetis. Dalam istilah sekarang termasuk kategori bangunan megastruktur. Sedangan periode Jawa Timur, hingga saat ini setidaknya belum ditemukan satupun bangunan megastruktur yang monumental. Tulisan ini juga tidak bermaksud membandingkan antara konsepsi Raffles dan Maclaine Pont, terkait momen puncak capaian arsitektural Jawa dan argumentasinya masing-masing. Tulisan ini masih sebatas melacak sejarah popularitas Situs Trowulan, dan bagaimana tafsiran peneliti di masa lalu mengkontruksi kawasan arkeologi Trowulan sebagai lokus dari kota kedaton Majapahit. Selain itu, juga hendak disimak sejauh mana perkembangan penelitian termutakhir membuktikan, bahwa hingga saat ini Situs Trowulan memang menempati posisi hirarki tertinggi sebagai kandidat utama dari lokasi ibu kota Majapahit dibandingkan situs-situs lainnya di Jawa Timur. Terlepas daripada itu, yang penting dicatat di sini, Situs Trowulan bagaimanapun merupakan salah satu situs perkotaan masa klasik di Indonesia. Oleh karena itulah, juga tak berlebihan sekiranya sejak tahun 2009, situs ini telah didaftarkan oleh pemerintah Indonesia ke UNESCO untuk ditetapkan menjadi Situs Warisan Dunia. Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Hampir di seluruh desa di Kecamatan Trowulan didapati temuan-temuan arkeologis. Sehingga seluruh daerah Trowulan merupakan satu kawasan situs arkeologi yang besar seluas hampir 100 km persegi. Menariknya, gambaran ibu kota kuno di zaman Kerajaan Majapahit sebagaimana diceritakan oleh Mpu Prapanca dalam Kakawin Negarakertagama khususnya Pupuh VIII ? XII, diduga kuat berada di kawasan Situs Trowulan. Sejak awal abad ke-19 terlihat bahwa para ahli ?dengan begitu saja? telah mengidentikkan Situs Trowulan sebagai lokasi ibu kota Majapahit. Sejauh ini, ekskavasi yang telah dilakukan di Trowulan menunjukkan adanya endapan vulkanis berlapis-lapis. Ini menunjukkan, wilayah ini berulang kali terkena dampak letusan gunung api yang terjadi pada beberapa periode waktu. Pelbagai temuan arkeologis di sini bukan saja merupakan jejak-jejak bukti peninggalan pemukiman kuno dari era Majapahit di abad ke-14, di antaranya juga dapat dipastikan berusia jauh lebih tua bahkan hingga abad ke-10. Merujuk artikel Negarakertagama dan Trowulan karya AS Wibowo disebutkan, sejumlah prasasti ditemukan di daerah Trowulan. Prasasti tertua berasal dari zaman Raja Mpu Sindok bertarikh 861 Saka atau 939 Masehi. Sebuah batu berbentuk persegi dan kini dipakai sebagai nisan pada makam yang dikenal sebagai Kubur Panjang berpahatkan angka 1203 Saka atau 1281 Masehi. Sedangkan yang termuda adalah pahatan tahun pada batu nisan di kompleks makam Tralaya, bertarikh 1387 Saka atau 1465 Masehi. Ya, memang bukan mustahil benda-benda temuan di Situs Trowulan berasal dari dua atau lebih zaman yang berbeda. Demikianlah, simpulan FDK Bosch saat melakukan ekskavasi di Trowulan pada tahun 1930-an. Adanya fakta ini sebenarnya membuat upaya ekskavasi dan penentuan usia sebuah jejak-jejak arkeologis sudah pasti menjadi tidak sesederhana yang dikira semula. Pertanyaannya ialah sejak kapan nama Trowulan muncul dan dikenal? Sayangnya sejauh ini sebenarnya masih susah dipastikan, apakah nama Trowulan merupakan fenomena toponimi kuno ataukah baru. Prapanca saat menulis Kakawin Negarakertagama juga tidak mencatat nama Trowulan ini. Catatan tertua yang menyebut Trowulan sebagai lokasi ibu kota Majapahit berasal dari Wardenaar. Sayangnya tak terlalu jelas Wardenaar menyimpulkan hal itu merujuk sumber mana. Besar kemungkinan Wardenaar saat itu, yaitu di kisaran tahun 1815-an, menyimpulkan Trowulan sebagai kota kedaton Majapahit merujuk pada persepsi umum dari pendududuk setempat yang ditemuinya. Mengikuti asistennya Wardenaar tersebut, Raffles ketika memaparkan situs makam Putri Campa di Trowulan menyebutkan antara lain ?... desa yang berdekatan adalah Trawoelan, atau Trang Wulan (cahaya bulan); di sini kami menemukan makam Putri Champa ... ? Kemudian Maclaine Pont, setelah membaca keterangan dalam Serat Kanda bahwa nama Trowulan berasal dari nama Citra Wulan, arsitek Belanda ini pernah pula mengajukan gagasan bahwa nama Trowulan berasal dari “setra wulan”. Masih seturut artikel Wibowo, Serat Dermagandul khususnya Pupuh XX mengisahkan saat-saat terakhir Raja Brawijaya. Mengutip Drewes, Wibowo memaparkan bahwa raja terakhir Majapahit ini berpesan jika meninggal kelak maka dia hendaknya dimakamkan secara Islam di daerah Sastrawulan. Namun karena putranya, Raden Patah, telah memperlakukannya sebagai seorang wanita maka makam tadi kelak diberi nama makam Putri Campa saja. Seperti diketahui, yang disebut makam Putri Campa adalah kompleks makam kuno di Desa Trowulan. Salah satu makamnya memakai batu nisan dengan pahatan berangka tahun 1370 Saka atau 1448 Masehi. Kompleks makam ini jelas juga sudah dikunjungi Wardenaar pada 1815. Jadi kini menjadi cukup jelas, bahwa menurut cerita tersebut, apa yang disebut sebagai “Sastrawulan” adalah Trowulan sekarang. Dari nama Sastrawulan inilah muncul kesan kuat bahwa Trowulan-lah memang lokasi ibu kota Majapahit. Namun pada titik ini juga patut diingat. Salinan tertua Serat Dermagandul ditengarai berasal dari tahun 1915. Sedangkan bicara naskah aslinya menurut perhitungan tidak akan lebih tua dari kisaran tahun 1878. Padahal di sekitar tahun itu pula Situs Trowulan telah dikenal luas sebagai lokasi ibu kota Majapahit. Sekalipun hingga kini tidak atau belum ditemukan sumber rujukan baik berupa prasasti atau manuskrip kuno yang mencatat nama Trowulan sebelum abad ke-19, tapi situs ini tetap diyakini merupakan kota kedaton Majapahit. Agus Aris Munandar (2008) melalui karyanya Ibu Kota Majapahit, Masa Kejayaan dan Pencapaian, misalnya, tetap berkesimpulan, Situs Trowulan ialah kota kedaton Kerajaan Majapahit. Munandar memberikan beberapa eksplanasi dan argumentasi, antara lain ialah: Pertama, masalah keluasan areal situs. Tidak ada situs lainnya selain Situs Trowulan yang mempunyai keluasan hingga mencapai 11 x 9 kilometer persegi. Areal ini meliputi dua kecamatan di dua kabupaten yang berbeda yaitu Kabupaten Mojokerto dan Jombang. Situs-situs lain ukuran luasnya nisbi hanya sekitar 500 x 500 m saja atau bahkan lebih kecil lagi. Kedua, keragaman bentuk benda arkeologis yang ditemukan di Situs Trowulan. Berbagai benda arkeologis dari era Majapahit dan sekitar era sebelum itu banyak ditemukan di Situs Trowulan. Adapun di situs-situs lainnya, bicara jenis artefak yang ditemukan nisbi lebih terbatas. Walaupun pada situs-situs lain juga ditemukan fragmen gerabah dan keramik asing dengan kualitas yang baik, temuan-temuan itu tetaplah tidak sekaya yang telah ditemukan di Situs TrowuIan. Ketiga, segala berita dari catatan perjalanan orang Tiongkok maupun catatan sejarah lainnya, sejauh ini justru lebih mengarah pada kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan ibu kota Majapahit tetaplah berada di Situs Trowulan dan bukan situs-situs lainnya. Masih merujuk Munandar, sumber lain yang patut dicatat ialah naskah Bujangga Manik. Bujangga Manik adalah seorang agamawan Sunda yang melakukan perjalanan keliling Pulau Jawa di akhir abad ke-15 sampai awal abad ke-16. Sejauh ini diketahui, naskah tertua ditulis di atas daun palem dan tersimpan di perpustakaan Bodley di Universitas Oxford sejak 1627 atau 1629. Bujangga Manik berkunjung ke Majapahit saat kerajaan itu telah berada di ambang keruntuhan. Merujuk Munandar, beberapa lokasi yang disebutkan dalam Kakawin Negarakertagama masih dapat disaksikannya. Sebutlah misalnya lapangan bubat dan alun-alun di depan kompleks kedaton yang disebut dengan nama “manguntur. Negarakertagama menyebut lokasi itu dengan nama wanguntur.” Bujangga Manik juga menyebutkan banyak nama tempat seperti Darma Anyar, Karang Kajramanaan, Karang Jaka, dan Palintahan. Akan tetapi nama-nama ini ternyata tidak tercantum dalam Negarakertagama. Mungkin saja memang nama-nama ini merupakan toponimi baru, yang baru dikenal setelah Majapahit melewati masa keemasan. Sementara Kakawin Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca ialah era Raja Hayam Wuruk, periode puncak keemasan. Meski demikian di sini ada satu toponimi yang menarik disimak. Palintahan masih dikenal sebagai nama tempat di Situs Trowulan, diucapkan sebagai Plintahan, lokasinya berada di arah barat daya dari cluster kedaton sekarang. Majapahit yang dimaksudkan oleh Bujangga Manik, seturut tafsiran Munandar dapat diasumsikan berada di Trowulan saat ini. Apalagi menilik naskah itu juga terdapat ungkapan setelah meninggalkan Majapahit, mendakilah (saya) ke Gunung Pawitra. Gunung Pawitra yang dimaksudkan dalam naskah ini jelas merujuk kepada Gunung Penanggungan. Posisi gunung ini terletak di arah selatan-tenggara Trowulan. Dari sini mudah diduga, Bujangga Manik telah mengambil rute paling mudah dan juga mungkin paling lazim dilalui oleh masyarakat Majapahit ketika itu sekiranya hendak ziarah ke Gunung Pawitra. Rute termudah ini mengisyaratkan lokasi Trowulan merupakan titik awal keberangkatan ziarahnya ke Gunung Pawitra atau Gunung Penanggungan sekarang. (W-1) Bujangga Manik telah mengambil rute paling mudah dan juga mungkin paling lazim dilalui masyarakat saat itu sekiranya hendak ziarah ke Gunung Pawitra. Rute termudah ini mengisyaratkan lokasi Trowulan merupakan titik awal keberangkatan ziarahnya ke Gunung Pawitra atau Gunung Penanggungan sekarang. Seperti telah diulas dalam artikel Misteri Lokasi Kedaton Majapahit, bahwa popularitas kawasan arkeologi Situs Trowulan sebagai locus keraton (royal city) atau ibu kota Kerajaan Majapahit tentu tidak terlepas dari serangkaian publikasi yang telah berlangsung lama. Berawal dari hasil penelitian Willem Bartholomeus Wardenaar di awal abad ke-19, disambung tulisan Sir Stamford Raffles dalam The History of Java pada 1817, dan hingga puncaknya ialah publikasi Henry Maclaine Pont di awal abad ke-20. Seperti diketahui, Maclaine Pont di sepanjang tahun 1921 ? 1924 mengadakan ekskavasi di Trowulan dengan maksud mencocokkan data lapangan dengan uraian Mpu Prapanca dalam Kakawin Negarakertagama. Hasil penelitiannya menghasilkan sketsa rekonstruksi Kota Majapahit di Trowulan, Map of the Majapahit Terrain. Dengan latar belakang keilmuannya sebagai arsitek, Maclaine Pont dalam tulisan-tulisan lainnya bahkan juga menyimpulkan bahwa puncak capaian arsitektural Jawa terjadi di era Majapahit. Sudah tentu simpulan Maclaine Pont tentang capaian arsitektur Jawa berpuncak pada periode Majapahit, jika dibaca oleh Raffles bakal memunculkan polemik tersendiri. Pasalnya Raffles justru mendalilkan sebaliknya. Mulai digunakannya batu bata merah sebagai sumber material pembangunan candi dan tidak ditemukannya bangunan besar serta monumental seperti Candi Borobudur atau Prambanan, sejak bergesernya pusat kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, menurut Raffles justru menandai periode sejarah kemerosotan Jawa. Untung saja saat tulisan-tulisan Maclaine Pont dipublikasikan, Raffles sudah berpulang jauh hari. Tulisan ini tentu saja tidaklah berpamrih mendedah kegundahan Raffles, yang melihat kontras antara periode Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seperti diketahui periode Jawa Tengah memiliki sejumlah bangunan monumental yang sangat megah dan estetis. Dalam istilah sekarang termasuk kategori bangunan megastruktur. Sedangan periode Jawa Timur, hingga saat ini setidaknya belum ditemukan satupun bangunan megastruktur yang monumental. Tulisan ini juga tidak bermaksud membandingkan antara konsepsi Raffles dan Maclaine Pont, terkait momen puncak capaian arsitektural Jawa dan argumentasinya masing-masing. Tulisan ini masih sebatas melacak sejarah popularitas Situs Trowulan, dan bagaimana tafsiran peneliti di masa lalu mengkontruksi kawasan arkeologi Trowulan sebagai lokus dari kota kedaton Majapahit. Selain itu, juga hendak disimak sejauh mana perkembangan penelitian termutakhir membuktikan, bahwa hingga saat ini Situs Trowulan memang menempati posisi hirarki tertinggi sebagai kandidat utama dari lokasi ibu kota Majapahit dibandingkan situs-situs lainnya di Jawa Timur. Terlepas daripada itu, yang penting dicatat di sini, Situs Trowulan bagaimanapun merupakan salah satu situs perkotaan masa klasik di Indonesia. Oleh karena itulah, juga tak berlebihan sekiranya sejak tahun 2009, situs ini telah didaftarkan oleh pemerintah Indonesia ke UNESCO untuk ditetapkan menjadi Situs Warisan Dunia. Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Hampir di seluruh desa di Kecamatan Trowulan didapati temuan-temuan arkeologis. Sehingga seluruh daerah Trowulan merupakan satu kawasan situs arkeologi yang besar seluas hampir 100 km persegi. Menariknya, gambaran ibu kota kuno di zaman Kerajaan Majapahit sebagaimana diceritakan oleh Mpu Prapanca dalam Kakawin Negarakertagama khususnya Pupuh VIII ? XII, diduga kuat berada di kawasan Situs Trowulan. Sejak awal abad ke-19 terlihat bahwa para ahli ?dengan begitu saja? telah mengidentikkan Situs Trowulan sebagai lokasi ibu kota Majapahit. Sejauh ini, ekskavasi yang telah dilakukan di Trowulan menunjukkan adanya endapan vulkanis berlapis-lapis. Ini menunjukkan, wilayah ini berulang kali terkena dampak letusan gunung api yang terjadi pada beberapa periode waktu. Pelbagai temuan arkeologis di sini bukan saja merupakan jejak-jejak bukti peninggalan pemukiman kuno dari era Majapahit di abad ke-14, di antaranya juga dapat dipastikan berusia jauh lebih tua bahkan hingga abad ke-10. Merujuk artikel Negarakertagama dan Trowulan karya AS Wibowo disebutkan, sejumlah prasasti ditemukan di daerah Trowulan. Prasasti tertua berasal dari zaman Raja Mpu Sindok bertarikh 861 Saka atau 939 Masehi. Sebuah batu berbentuk persegi dan kini dipakai sebagai nisan pada makam yang dikenal sebagai Kubur Panjang berpahatkan angka 1203 Saka atau 1281 Masehi. Sedangkan yang termuda adalah pahatan tahun pada batu nisan di kompleks makam Tralaya, bertarikh 1387 Saka atau 1465 Masehi. Ya, memang bukan mustahil benda-benda temuan di Situs Trowulan berasal dari dua atau lebih zaman yang berbeda. Demikianlah, simpulan FDK Bosch saat melakukan ekskavasi di Trowulan pada tahun 1930-an. Adanya fakta ini sebenarnya membuat upaya ekskavasi dan penentuan usia sebuah jejak-jejak arkeologis sudah pasti menjadi tidak sesederhana yang dikira semula. Pertanyaannya ialah sejak kapan nama Trowulan muncul dan dikenal? Sayangnya sejauh ini sebenarnya masih susah dipastikan, apakah nama Trowulan merupakan fenomena toponimi kuno ataukah baru. Prapanca saat menulis Kakawin Negarakertagama juga tidak mencatat nama Trowulan ini. Catatan tertua yang menyebut Trowulan sebagai lokasi ibu kota Majapahit berasal dari Wardenaar. Sayangnya tak terlalu jelas Wardenaar menyimpulkan hal itu merujuk sumber mana. Besar kemungkinan Wardenaar saat itu, yaitu di kisaran tahun 1815-an, menyimpulkan Trowulan sebagai kota kedaton Majapahit merujuk pada persepsi umum dari pendududuk setempat yang ditemuinya. Mengikuti asistennya Wardenaar tersebut, Raffles ketika memaparkan situs makam Putri Campa di Trowulan menyebutkan antara lain ?... desa yang berdekatan adalah Trawoelan, atau Trang Wulan (cahaya bulan); di sini kami menemukan makam Putri Champa ... ? Kemudian Maclaine Pont, setelah membaca keterangan dalam Serat Kanda bahwa nama Trowulan berasal dari nama Citra Wulan, arsitek Belanda ini pernah pula mengajukan gagasan bahwa nama Trowulan berasal dari “setra wulan”. Masih seturut artikel Wibowo, Serat Dermagandul khususnya Pupuh XX mengisahkan saat-saat terakhir Raja Brawijaya. Mengutip Drewes, Wibowo memaparkan bahwa raja terakhir Majapahit ini berpesan jika meninggal kelak maka dia hendaknya dimakamkan secara Islam di daerah Sastrawulan. Namun karena putranya, Raden Patah, telah memperlakukannya sebagai seorang wanita maka makam tadi kelak diberi nama makam Putri Campa saja. Seperti diketahui, yang disebut makam Putri Campa adalah kompleks makam kuno di Desa Trowulan. Salah satu makamnya memakai batu nisan dengan pahatan berangka tahun 1370 Saka atau 1448 Masehi. Kompleks makam ini jelas juga sudah dikunjungi Wardenaar pada 1815. Jadi kini menjadi cukup jelas, bahwa menurut cerita tersebut, apa yang disebut sebagai “Sastrawulan” adalah Trowulan sekarang. Dari nama Sastrawulan inilah muncul kesan kuat bahwa Trowulan-lah memang lokasi ibu kota Majapahit. Namun pada titik ini juga patut diingat. Salinan tertua Serat Dermagandul ditengarai berasal dari tahun 1915. Sedangkan bicara naskah aslinya menurut perhitungan tidak akan lebih tua dari kisaran tahun 1878. Padahal di sekitar tahun itu pula Situs Trowulan telah dikenal luas sebagai lokasi ibu kota Majapahit. Sekalipun hingga kini tidak atau belum ditemukan sumber rujukan baik berupa prasasti atau manuskrip kuno yang mencatat nama Trowulan sebelum abad ke-19, tapi situs ini tetap diyakini merupakan kota kedaton Majapahit. Agus Aris Munandar (2008) melalui karyanya Ibu Kota Majapahit, Masa Kejayaan dan Pencapaian, misalnya, tetap berkesimpulan, Situs Trowulan ialah kota kedaton Kerajaan Majapahit. Munandar memberikan beberapa eksplanasi dan argumentasi, antara lain ialah: Pertama, masalah keluasan areal situs. Tidak ada situs lainnya selain Situs Trowulan yang mempunyai keluasan hingga mencapai 11 x 9 kilometer persegi. Areal ini meliputi dua kecamatan di dua kabupaten yang berbeda yaitu Kabupaten Mojokerto dan Jombang. Situs-situs lain ukuran luasnya nisbi hanya sekitar 500 x 500 m saja atau bahkan lebih kecil lagi. Kedua, keragaman bentuk benda arkeologis yang ditemukan di Situs Trowulan. Berbagai benda arkeologis dari era Majapahit dan sekitar era sebelum itu banyak ditemukan di Situs Trowulan. Adapun di situs-situs lainnya, bicara jenis artefak yang ditemukan nisbi lebih terbatas. Walaupun pada situs-situs lain juga ditemukan fragmen gerabah dan keramik asing dengan kualitas yang baik, temuan-temuan itu tetaplah tidak sekaya yang telah ditemukan di Situs TrowuIan. Ketiga, segala berita dari catatan perjalanan orang Tiongkok maupun catatan sejarah lainnya, sejauh ini justru lebih mengarah pada kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan ibu kota Majapahit tetaplah berada di Situs Trowulan dan bukan situs-situs lainnya. Masih merujuk Munandar, sumber lain yang patut dicatat ialah naskah Bujangga Manik. Bujangga Manik adalah seorang agamawan Sunda yang melakukan perjalanan keliling Pulau Jawa di akhir abad ke-15 sampai awal abad ke-16. Sejauh ini diketahui, naskah tertua ditulis di atas daun palem dan tersimpan di perpustakaan Bodley di Universitas Oxford sejak 1627 atau 1629. Bujangga Manik berkunjung ke Majapahit saat kerajaan itu telah berada di ambang keruntuhan. Merujuk Munandar, beberapa lokasi yang disebutkan dalam Kakawin Negarakertagama masih dapat disaksikannya. Sebutlah misalnya lapangan bubat dan alun-alun di depan kompleks kedaton yang disebut dengan nama “manguntur. Negarakertagama menyebut lokasi itu dengan nama wanguntur.” Bujangga Manik juga menyebutkan banyak nama tempat seperti Darma Anyar, Karang Kajramanaan, Karang Jaka, dan Palintahan. Akan tetapi nama-nama ini ternyata tidak tercantum dalam Negarakertagama. Mungkin saja memang nama-nama ini merupakan toponimi baru, yang baru dikenal setelah Majapahit melewati masa keemasan. Sementara Kakawin Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca ialah era Raja Hayam Wuruk, periode puncak keemasan. Meski demikian di sini ada satu toponimi yang menarik disimak. Palintahan masih dikenal sebagai nama tempat di Situs Trowulan, diucapkan sebagai Plintahan, lokasinya berada di arah barat daya dari cluster kedaton sekarang. Majapahit yang dimaksudkan oleh Bujangga Manik, seturut tafsiran Munandar dapat diasumsikan berada di Trowulan saat ini. Apalagi menilik naskah itu juga terdapat ungkapan setelah meninggalkan Majapahit, mendakilah (saya) ke Gunung Pawitra. Gunung Pawitra yang dimaksudkan dalam naskah ini jelas merujuk kepada Gunung Penanggungan. Posisi gunung ini terletak di arah selatan-tenggara Trowulan. Dari sini mudah diduga, Bujangga Manik telah mengambil rute paling mudah dan juga mungkin paling lazim dilalui oleh masyarakat Majapahit ketika itu sekiranya hendak ziarah ke Gunung Pawitra. Rute termudah ini mengisyaratkan lokasi Trowulan merupakan titik awal keberangkatan ziarahnya ke Gunung Pawitra atau Gunung Penanggungan sekarang. (W-1) Trowulan, sebuah Kecamatan di Kabupaten Mojokerto sudah lama dianggap sebagai lokasi ibu kota Kerajaan Majapahit di masa lampau. Di Trowulan terdapat banyak sekali benda peninggalan purbakala dari era Majapahit yang pernah berdiri di Nusantara sekitar abad ke-13 hingga 15 Masehi. Saking banyaknya situs dari era Majapahit yang ada di Trowulan, wilayah ini pun dianggap sebagai “Kawasan Cagar Budaya”.Luas Kawasan Cagar Budaya Trowulan mencapai 92,6 kilometer persegi, hampir tiga kali lipat dari luas Kota Yogyakarta. Kawasan Cagar Budaya ini pun mencakup dua Kecamatan di Kabupaten Mojokerto, yaitu Kecamatan Trowulan dan Sooko. Begitu pentingnya Trowulan dalam sejarah bangsa membuatnya ditetapkan sebagai ‘Kawasan Cagar Budaya Tingkat Nasional’ melalui SK Mendikbud No. 260/M/2013. Beragam jenis peninggalan masa lampau di Trowulan mencerminkan pencapaian leluhur bangsa Indonesia di era Majapahit, seperti di bidang seni, budaya, politik,ekonomi, hingga kehidupan sosial masyarakatnya yang sarat akan nilai-nilai tolerasi dalam kemajemukan. Penelitian arkeologi di Trowulan dirintis oleh Kapten Johannes Willem Bartholomeus Wardenaar pada tahun1815 atas perintah Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur-Letnan Hindia Belandasaat itu. Kapten Wardenaar ditugaskan menyelidiki berita mengenai penemuanberbagai benda kuno di daerah Mojokerto. Hasil penelitian dan pengamatan tersebut kemudian dipublikasikan oleh Raffles dalam buku berjudul “The Historyof Java” pada tahun 1817. Hasil kerjanya tersebut berhasil mengundang ketertarikan ahli arkeologi lainnya untuk terjun langsung meneliti Trowulan,antara lain W.R. van Hovell, J.F.G. Brumund, Jonathan Rigg, J.Hageman, R.D.MVerbeek, J.L.A Brandes, H. Kern, N.J. Krom hingga Bupati Mojokerto yaitu Raden Adipati Kromodjojo Adinegoro. Upaya pelestarian peninggalan arkeologi di Trowulan digagas oleh seorang arsitek Belanda, HenriMaclaine Pont bersama Raden Adipati Arya Kromodjojo Adinegoro IV dengan membentuk lembaga bernama Oudheidkundige Vereeneging Madjapahit (OVM) pada tahun 1924. Lembaga tersebut bertugas mengkaji dan melestarikan berbagai peninggalan arkeologi yang berkaitan dengan Kerajaan Majapahit, khususnya diwilayah Trowulan. Pasca kemerdekaan, penelitian dan pengembangan Kawasan Trowulan dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PuslitArkenas). Sementara upaya pelestarian, pelindungan, dan pemanfaatannya dikelola oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Puslit Arkenas di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah melakukan riset di Kawasan Trowulan sejak tahun 1975 hingga sekarang. Serangkaian penelitian berhasil mengungkap berbagai bukti penting dalam sejarah Majapahit, seperti reruntuhan bangunan suci dan pemukiman, serta banyak benda peninggalan masa lampau lainnya yang biasa disebut “artefak”.Beragam artefak seperti keramik asing (asal Cina, Vietnam, Thailand, Khmer,hingga Persia), berbagai peralatan dari terakota (tembikar), koin kuno, serta benda logam lainnya kerap ditemukan melalui penelitian arkeologi di Trowulan.Temuan keramik berlapis glasir hijau zaitun atau seladon (Yue Ware) dari periode Lima-Dinasti hingga Dinasti Song Utara membuktikan Trowulan telah menjadi pemukiman masyarakat jauh sebelum era Majapahit, sekitar abad ke-10 Masehi, atau semasa dengan zaman Mataram Kuno. Temuan Prasasti Alasantan dan stupika-stupika dari tanah liat di Candi Gentong memperkuat pendapat para ahli tersebut. Asal-usul nama Trowulan menurut Maclaine Pont (tahun 1924) terekam di dalam Serat Kanda, yaitu darikata “Citra Wulan” atau “Setra Wulan”. Nama Trowulan juga disebutkan dalam Serat Derma gandul pada pupuh XX yang mengisahkan permintaan Raja Brawijaya apabila wafat agar dimakamkan di “Sastrawulan”. Penyebutan lokasi yang mirip juga terdapat di dalam kitab Pararaton yang salah satu pupuhnya mengisahkan wafatnya Raja Jayanegara yang kemudian ‘didarmakan’ di “Antawulan”. Informasi mengenai meninggalnya Raja Jayanegara juga tercantum di dalam kitab Nagarakertagama yang menjelaskan bahwa sang raja didarmakan di dalam kompleks keraton, tepatnya di Sila Petak dan Bubat. Lokasi lainnya yang disebutkan didalam kitab Nagarakertagama adalah Antarasasi dan Sri Ranggapura. Kedua kitab tersebut memberi petunjuk bahwa Raja Jayanegara didarmakan di Antawulan atau Antarasasi yang kini dikenal dengan nama Trowulan. Berada di bawah lerenggunung membuat Trowulan cukup subur untuk lahan pertanian. Sungai Brantas yang membelah ibu kota Majapahit menjadi sumber pasokan air sekaligus urat nadilalu-lintas perdagangan masyarakatnya dengan dunia luar. Bukti kemajuan budaya maritim Majapahit terekam dalam prasasti Canggu berangka tahun 1385 Masehi.Berdasarkan prasasti tersebut, arkeolog memperkirakan daerah Canggu di sebelah utara Trowulan merupakan salah satu pelabuhan penting dalam jalur perdagangan kuno di Nusantara. Pelabuhan Canggu juga terekam di dalam catatan Ying Yai ShenLan yang ditulis oleh seorang juru catat Armada Cheng Ho dari Cina yang bernama Ma Huan pada tahun 1415 Masehi. Catatan tersebut menyebutkan Jawa memiliki empat kota tanpa tembok keliling, antara lain Tuban, Gresik, Surabaya, dan Majapahit. Perjalanan menuju Majapahit dapat dilakukan dengan cara menyusuri sungai dari Surabaya menggunakan perahu kecil dan turun di Canggu. Perjalanan menuju pusat kota dilakukan dengan berjalan ke selatan selama satu setengah hari. Kemajuan budaya maritimdi Majapahit pun berpengaruh pada berbagai sendi kehidupan, khususnya di bidang ekonomi. Begitu padatnya kandungan artefak penanda interaksi silang-budaya seperti keramik asing yang berasal dari Cina, Thailand, dan Vietnam serta koin kuno menjadi bukti majunya geliat perekonomian masyarakat Majapahit di kalaitu. Bahkan beberapa keramik asing asal Vietnam yang belum pernah dijumpai pada situs lainnya di Jawa mengindikasikan adanya pesanan khusus dari Majapahit.Keramik asal Vietnam tersebut tampaknya sengaja dipesan sebagai hiasan dinding sekitar abad ke-15 Masehi. Perkembangkan teknologidi era Majapahit mengalami kemajuan yang cukup pesat. Hal tersebut tercermin dari pembuatan tembikar serta bata yang berkualitas tinggi sebagai materialbangunan candi. Penggunaan bata merah pun menjadi ciri khas bangunan candi peninggalan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Masyarakat di era Kerajaan Majapahit sangat menghargai keberagaman dan toleransi. Figurin terakota yang menggambarkan karakter wajah serta pakaian khas berbagai bangsa dari sejumlah tempat di Asia ditemukan di Trowulan. Interaksi dengan bangsa asing di era Majapahit juga turut andil dalam sejarah masuknya pengaruh Islam di Nusantara. Hal tersebut dibuktikan melalui adanya kompleks Makam Troloyo dengan nisan beraksara Arab yang berhiaskan ‘Surya Majapahit’ sebagai lambang kerajaan. Fakta-fakta tersebut memberikan gambaran kehidupan masyarakat Majapahit yang sarat dengan keberagaman serta toleransi atas perbedaan etnis, ras, serta agama. Peninggalan arkeologidi Kawasan Trowulan merupakan bagian penting dari sejarah Kerajaan Majapahit yang dapat menginspirasi masyarakat sekarang. Salah satu karya terkenal darimasa Majapahit adalah Kakawin Sutasoma gubahan Mpu Tantular dari abad ke-14 Masehi. Salah satu baitnya memuat semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang melekat sebagai jati diri Bangsa Indonesia dengan segala kemajemukan masyarakat dan budayanya. Trowulan adalah situs arkeologi di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Situs ini mencakup area sekitar 100 kilometer persegi dan diyakini sebagai lokasi ibu kota Kerajaan Majapahit yang terkenal, yang dijelaskan oleh Mpu Prapanca dalam puisi Nagarakretagama abad ke-14 dan dalam sumber Tiongkok abad ke-15. Ketika menjadi ibu kota Kerajaan Majapahit, kota ini dikenal sebagai Majapahit atau Wilwatikta, yang menjadi asal nama kerajaan tersebut. Kota ini dihancurkan selama invasi Girindrawardhana untuk mengalahkan Kertabhumi pada tahun 1478. Setelah peristiwa tersebut, ibu kota Majapahit dipindahkan ke Daha (Kediri). Museum Trowulan menyimpan koleksi artefak. Nagarakretagama berisi deskripsi puitis tentang istana Majapahit dan sekitarnya, namun terbatas pada sektor kerajaan dan keagamaan. Beberapa detailnya samar-samar, sehingga para ahli yang mencoba menyusun rencana ibu kota sampai pada kesimpulan yang berbeda-beda. Penelitian sebelumnya di Trowulan berfokus pada peninggalan-peninggalan monumental: candi, makam, dan pemandian. Survei dan ekskavasi arkeologis baru-baru ini menemukan sisa-sisa aktivitas industri, komersial, dan keagamaan, permukiman, sistem penyediaan air, dan kanal air, yang semuanya merupakan bukti kepadatan penduduk selama abad ke-14 hingga ke-15. Pada bulan Oktober 2009, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia mendaftarkan Trowulan ke dalam Daftar Situs Warisan Dunia UNESCO. Saat ini, situs berada di bawah pengelolaan Museum dan Cagar Budaya, Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Nama "Trowulan" diambil dari nama kecamatan tempat ditemukannya mayoritas struktur besar yang ada. Ada dua pendapat mengenai asal nama ini. Pendapat yang pertama, diajukan oleh Henri Maclaine Pont, adalah dari asal "Setra Wulan". Pendapat lain, disebut dalam Serat Darmagandhul pupuh XX, ada tempat bernama "Sastrawulan", tempat Brawijaya, raja Majapahit, meminta sebagai lokasi makamnya. Kitab perjalanan dari Tiongkok, Yingyai Shenglan, yang ditulis oleh anak buah Kapiten Cheng Ho, Ma Huan, menyebutkan bahwa Man-The-Po-i (Majapahit) merupakan kota yang sangat besar tempat raja bermukim.[5] Apakah yang dimaksud adalah pemukiman Trowulan tidak ada yang menyebutkan, tetapi berbagai temuan memberikan dugaan kuat keterkaitan ini. Menurut Prapanca dalam kitab Negarakertagama; keraton Majapahit dikelilingi tembok bata merah yang tinggi dan tebal. Di dekatnya terdapat pos tempat para punggawa berjaga. Gerbang utama menuju keraton (kompleks istana) terletak di sisi utara tembok, berupa gapura agung dengan pintu besar terbuat dari besi berukir. Di depan gapura utara terdapat bangunan panjang tempat rapat tahunan para pejabat negara, sebuah pasar, serta sebuah persimpangan jalan yang disucikan. Masuk ke dalam kompleks melalui gapura utara terdapat lapangan yang dikelilingi bangunan suci keagamaan. Pada sisi barat lapangan ini terdapat pendopo yang dikelilingi kanal dan kolam tempat orang mandi. Pada ujung selatan lapangan ini terdapat jajaran rumah yang dibangun di atas teras-teras berundak, rumah-rumah ini adalah tempat tinggal para abdi dalem keraton. Sebuah gerbang lain menuju ke lapangan ketiga yang dipenuhi bangunan dan balairung agung. Bangunan ini adalah ruang tunggu bagi para tamu yang akan menghadap raja. Kompleks istana tempat tinggal raja terletak di sisi timur lapangan ini, berupa beberapa paviliun atau pendopo yang dibangun di atas landasan bata berukir, dengan tiang kayu besar yang diukir sangat halus dan atap yang dihiasi ornamen dari tanah liat. Di luar istana terdapat kompleks tempat tinggal pendeta Shiwa, biksu Buddha, anggota keluarga kerajaan, serta pejabat dan ningrat (bangsawan). Lebih jauh lagi ke luar, dipisahkan oleh lapangan yang luas, terdapat banyak kompleks bangunan kerajaan lainnya, termasuk salah satunya kediaman Mahapatih Gajah Mada. Sampai di sini penggambaran Prapanca mengenai ibu kota Majapahit berakhir. Sebuah catatan dari China abad ke-15 menggambarkan istana Majapahit sangat bersih dan terawat dengan baik. Disebutkan bahwa istana dikelilingi tembok bata merah setinggi lebih dari 10 meter serta gapura ganda. Bangunan yang ada dalam kompleks istana memiliki tiang kayu yang besar setinggi 10-13 meter dengan lantai kayu yang dilapisi tikar halus tempat orang duduk. Atap bangunan istana terbuat dari kepingan kayu (sirap), sedangkan atap untuk rumah rakyat kebanyakan terbuat dari ijuk atau jerami. Sebuah kitab tentang etiket dan tata cara istana Majapahit menggambarkan ibu kota sebagai: "Sebuah tempat disitu kita tidak usah berjalan melalui sawah". Relief candi dari zaman Majapahit tidak menggambarkan suasana perkotaan, akan tetapi menggambarkan kawasan permukiman yang dikelilingi tembok. Istilah 'kuwu' dalam Negarakertagama dimaksudkan sebagai unit permukiman yang dikelilingi tembok, tempat penduduk tinggal dan dipimpin oleh seorang bangsawan. Pola pemukiman seperti ini merupakan ciri kota pesisir Jawa abad ke-16 menurut keterangan para penjelajah Eropa. Diperkirakan ibu kota Majapahit tersusun atas kumpulan banyak unit pemukiman seperti ini. Reruntuhan kota kuno di Trowulan ditemukan pada abad ke-19. Dalam laporan Sir Thomas Stamford Raffles yang menjabat sebagai gubernur Jawa dari 1811 sampai 1816, disebutkan bahwa: "Terdapat reruntuhan candi.... tersebar bermil-mil jauhnya di kawasan ini." Saat itu kawasan ini merupakan hutan jati yang lebat sehingga survei dan penelitian yang lebih rinci tidak mungkin dilaksanakan. Meskipun demikian, Raffles yang sangat berminat pada sejarah dan kebudayaan Jawa terpesona dengan apa yang dilihatnya dan menjuluki Trowulan sebagai 'Kebanggaan Pulau Jawa'. Penggalian di sekitar Trowulan menunjukkan sebagian dari permukiman kuno yang masih terkubur lumpur sungai dan endapan vulkanik beberapa meter di bawah tanah akibat meluapnya Kali Brantas dan aktivitas Gunung Kelud. Beberapa situs arkeologi tersebar di wilayah Kecamatan Trowulan. Beberapa situs tersebut dalam keadaan rusak, sedangkan beberapa situs lainnya telah dipugar. Kebanyakan bangunan kuno ini terbuat dari bahan bata merah. Candi Tikus adalah kolam pemandian ritual (petirtaan). Kolam ini mungkin menjadi temuan arkeologi paling menarik di Trowulan. Nama 'Candi Tikus' diberikan karena pada saat ditemukan tahun 1914, situs ini menjadi sarang tikus. Dipugar menjadi kondisi sekarang ini pada tahun 1985 dan 1989, kompleks pemandian yang terbuat dari bata merah ini berbentuk cekungan wadah berbentuk bujur sangkar. Di sisi utara terdapat sebuah tangga menuju dasar kolam. Struktur utama yang menonjol dari dinding selatan diperkirakan mengambil bentuk gunung legendaris Mahameru. Bangunan yang tidak lagi lengkap ini berbentuk teras-teras persegi yang dimahkotai menara-menara yang ditata dalam susunan yang konsentris yang menjadi titik tertinggi bangunan ini. Tidak jauh dari Candi Tikus, di desa Temon berdiri Gapura Bajang Ratu, sebuah gapura paduraksa anggun dari bahan bata merah yang diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-14 M. Bentuk bangunan ini ramping menjulang setinggi 16,5 meter yang bagian atapnya menampilkan ukiran hiasan yang rumit. Bajang ratu dalam bahasa Jawa berarti 'raja (bangsawan) yang kerdil atau cacat.' Tradisi masyarakat sekitar mengkaitkan keberadaan gapura ini dengan Raja Jayanegara, raja kedua Majapahit. Berdasarkan legenda ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya. Nama ini mungkin juga berarti "Raja Cilik" karena Jayanegara naik takhta pada usia yang sangat muda. Sejarawan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam Negarakertagama sebagai pendharmaan (tempat suci) yang dipersembahkan untuk arwah Jayanagara yang wafat pada 1328. Gapura Wringin Lawang terletak tak jauh ke selatan dari jalan utama di Jatipasar. Dalam bahasa Jawa, "Wringin Lawang" berarti "Pintu Beringin". Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya candi bentar atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini mungkin muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali. Kebanyakan sejarawan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk menuju kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Dugaan mengenai fungsi asli bangunan ini mengundang banyak spekulasi, salah satu yang paling populer adalah gerbang ini diduga menjadi pintu masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada. Di desa Bejijong terdapat Candi Brahu. Candi ini merupakan satu-satunya bangunan suci tersisa yang masih cukup utuh dari kelompok bangunan-bangunan suci yang pernah berdiri di kawasan ini. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, di candi inilah tempat diselenggarakan upacara kremasi (pembakaran jenazah) empat raja pertama Majapahit. Meskipun dugaan ini sulit dibuktikan, tetapi bukti fisik menunjukkan bangunan ini merupakan bangunan suci peribadatan yang diduga adalah bangunan suci untuk memuliakan anggota keluarga kerajaan yang telah wafat. Mengenai siapakah tokoh atau raja Majapahit yang dimuliakan di candi ini masih belum jelas. Di dekat Candi Brahu terdapat reruntuhan Candi Gentong. Makam Putri Campa adalah sebuah makam bercorak Islam yang dipercaya masyarakat setempat merupakan makam salah satu istri atau selir raja Majapahit yang berasal dari Champa. Menurut tradisi lokal, Putri Cempa (Champa) yang wafat tahun 1448 adalah seorang muslimah yang menikahi salah seorang raja Majapahit terakhir yang akhirnya berhasil dibujuknya untuk masuk Islam. Kolam Segaran adalah kolam besar berbentuk persegi panjang dengan ukuran 800 x 500 meter persegi. Nama 'Segaran' berasal dari bahasa Jawa segara yang berarti laut, mungkin masyarakat setempat mengibaratkan kolam besar ini sebagai miniatur laut. Tembok dan tanggul bata merah setebal 1,60 m dengan kedalaman 2,88 m mengelilingi kolam yang sekaligus memberi bentuk pada kolam tersebut. Di pintu masuk yang terletak di sebelah barat, terdapat emperan yang menjorok ke tengah kolam. Di sisi dalam emperan terdapat undakan untuk turun ke kolam. Seluruh dinding dan emperan terbuat dari susunan batu bata tanpa bahan perekat. Konon untuk merekatkannya, batu bata yang berdampingan digosokkan satu sama lain. Di sisi tenggara terdapat saluran yang merupakan jalan masuk air ke dalam kolam, sedangkan di sisi barat laut terdapat saluran jalan keluar air. Air yang keluar mengalir ke Balongdawa (empang panjang) yang letaknya di barat laut dan Balongbunder (empang bundar) di selatan. Menilik adanya saluran masuk dan keluar air, diduga Kolam Segaran dahulunya juga berfungsi sebagai waduk dan penampung air. Para ahli memperkirakan bahwa kolam ini adalah yang disebut sebagai telaga dalam Kitab Negarakertagama. Saat ditemukan oleh Henry Maclaine Pont pada tahun 1926, struktur tanggul dan tembok bata merah tertimbun tanah dan lumpur. Pemugaran dilakukan beberapa tahun kemudian dan kini Kolam Segaran difungsikan oleh masyarakat setempat sebagai tempat rekreasi dan kolam pemancingan. Kolam Segaran ditemukan pada tahun 1926, dalam keadaan teruruk tanah. Pada tahun 1966 kolam ini mengalami pemugaran sekadarnya. Baru pada tahun 1974 dimulai pelaksanaan pemugaran yang lebih terencana dan menyeluruh, yang memakan waktu sepuluh tahun. Fungsi asli kolam ini belum diketahui, akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa kolam ini memiliki beberapa fungsi, antara lain sebagai kolam penampungan untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk kota Majapahit yang padat, terutama pada saat musim kemarau. Dugaan populer lainnya adalah kolam ini digunakan sebagai tempat mandi dan kolam latihan renang prajurit Majapahit, di samping itu kolam ini diduga menjadi bagian taman hiburan tempat para bangsawan Majapahit menjamu para duta dan tamu kerajaan. Di sudut timur laut kolam Segaran terdapat reruntuhan Candi Menak Jingga. Bangunan ini kini hanya tersisa reruntuhannya berupa bebatuan yang terpencar dan fondasi dasar bangunan yang masih terkubur di dalam tanah. Pemugaran candi ini tengah berlangsung. Keunikan bangunan ini adalah bangunan ini terbuat dari batu andesit pada lapisan luarnya, sedangkan bagian dalamnya terbuat dari bata merah. Hal yang paling menarik dari bangunan ini adalah pada bagian atapnya terdapat ukiran makhluk ajaib yang diidentifikasi sebagai Qilin, makhluk ajaib dalam mitologi China. Temuan ini mengisyaratkan bahwa terdapat hubungan budaya yang cukup kuat antara Majapahit dengan Dinasti Ming di China. Tradisi setempat mengkaitkan reruntuhan ini dengan pendopo (paviliun) Ratu Kencana Wungu, ratu Majapahit dalam kisah Damarwulan dan Menak Jingga. Di Situs Watu Umpak, terdapat beberapa alas batu tempat mendirikan tiang kayu. Diperkirakan merupakan bagian dari bangunan kayu. Karena terbuat dari bahan organik, bangunan kayu telah musnah dan hanya menyisakan alas batu. Di kompleks Makam Troloyo Desa Sentonorejo ditemukan beberapa batu nisan bercorak Islam. Kebanyakan batu nisan tersebut berangka tahun 1350 dan 1478. Temuan ini membuktikan bahwa komunitas muslim bukan hanya telah hadir di Jawa pada pertengahan abad ke-14, tetapi juga sebagai bukti bahwa agama Islam telah diakui dan dianut oleh sebagian kecil penduduk ibu kota Majapahit. Penduduk setempat percaya bahwa di makam Troloyo terdapat makam Raden Wijaya. Setiap hari Jumat Legi diadakan ziarah di makam ini. Situs Sentono Rejo terletak di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Peninggalan kerajaan Majapahit ini berbentuk hamparan ubin (lantai) dan sisa dinding bangunan. Lantai bangunan kuno tersebut berada kurang lebih 1,80 m. Di bawah permukaan tanah sekitarnya dan berorientasi ke barat-timur dengan azimut 80. Candi Gentong terletak di Desa Jambumente, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Candi ini berada di sebelah timur berjarak kurang lebih 360 m dari arah Candi Brahu. Dalam penelitian Maclaine Pont menyebutkan bahwa Candi Gentong merupakan salah satu dari tiga candi yang berderet dengan arah bujur barat ke timur yaitu Candi Gedong, Candi Tengah, dan Candi Gentong. Situs Kumitir adalah kompleks peninggalan kepurbakalaan yang terdapat di Dusun Bendo, Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto. Situs ini mendapatkan perhatian serius sejak tahun 2017, setelah pemberitaan cukup luas pada bulan April 2017 mengenai kegiatan penggalian dan penjualan bongkahan batu bata kuno oleh penyewa lahan. Akibat ramainya pemberitaan, baik melalui media sosial maupun media massa, kegiatan penggalian tersebut dihentikan. Menurut Wicaksono Dwi Nugroho dari BPCB Jawa Timur, keberadaan suatu bangunan di Kumitir sebelumnya sudah disebutkan dalam Kidung Wargasari, Kitab Desyawarṇana (Negarakrtagama), dan Pararaton. Ketiganya menyebutkan bahwa di Kumitir (atau Kumêpêr, menurut Pararaton) terdapat bangunan pendarmaan bagi Mahisa Campaka (atau Narasinghamurti), raja Tumapel, yang memerintah bersama-sama dengan Ranggawuni (atau Wisnuwardhana). Mahisa Campaka adalah kakek dari Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Lokasi situs ini berada di dekat Candi Tikus dan diperkirakan menjadi batas timur bagi kotaraja Majapahit di masa lalu. Di dekatnya juga diketahui terdapat bekas waduk kuno yang sekarang berwujud rawa; oleh penduduk setempat disebut Rawa Kumitir. Lokasi pusat Kerajaan Majapahit, terutama pada masa kejayaannya di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389), kerap diyakini terletak di Trowulan atau yang kini berada di wilayah Mojokerto, Jawa Timur. Benarkah sejarah mengenai letak ibu kota Majapahit tersebut? Pujangga legendaris Majapahit, Mpu Prapanca, pernah meriwayatkan prosa-prosa romantisisme tentang kerajaan besar tersebut. Lewat Nagarakertagama (1365), ia menuturkan silsilah para raja pendahulu Majapahit, upacara dan tradisi kerajaan, lawatan hingga aksi heroik para penguasa, serta arsitektur masyhur tinggalan peradaban Hindu-Buddha.
Satu hal yang cukup menarik untuk dikaji ialah uraian lokasi Keraton Majapahit sewaktu Hayam Wuruk bertakhta pada 1350 hingga 1389. Hayam Wuruk disebut-sebut raja terbesar Majapahit yang membawa kerajaan ini ke puncak kejayaan bersama Mahapatih Gajah Mada.
Hayam Wuruk memerintah dari singgasana keraton, kompleks pusat adikuasa Majapahit. Poros kompleks itu menghadap ke arah barat. Di tengahnya, mengalir jernih air dari sungai kecil yang bermuara di tebat kecil pula. Daun pintu gerbangnya dibikin dari besi kokoh nan molek lekuk ukirannya. Begitulah kiranya rekaan rupa singgasana Majapahit yang digambarkan Negarakertagama. Sejatinya, kompleks itu serupa kota. Bangunannya mirip dengan gedung-gedung besar yang menjulang tinggi. Tak serta merta arsitektur di kawasan tersebut cuma mengacu perkara pemerintahan, tetapi juga urusan politik dan ekonomi. Dari situlah, Sartono Kartodirdjo dalam Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial (1977) menggambarkan pusat Kerajaan Majapahit seumpama kota berteknologi. Teknologi yang dimaksud tentu saja sesuai dengan perkembangan peradaban di Jawa kala itu yang masih kental nilai tradisinya, yakni dari kebudayaan Hindu-Buddha. Banyak literatur menyebut Situs Trowulan merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit. Untuk meneliti lebih detail, pemerintah kolonial Hindia Belanda khusus membentuk badan purbakala bernama Oudheidkundige Vereeneging Majapahit (OVM) pada 15 April 1924. OVM didirikan oleh para insinyur dan arkeolog Belanda yang diprakarsai oleh Henry Maclaine Pont. Mereka meneliti segala artefak di Trowulan, mulai dari bangunan, struktur, arca, relief, pecahan gerabah dan keramik, serta lainnya. Data menunjukkan, terdapat kehidupan yang mendiami wilayah ini sejak dahulu kala. H.M. Pont lewat "Madjapahit, Poging tot Reconstructie van het Stadsplan, nagazocht op het Terrein aan de Hand van den Middelleuws chen Dichter Prapanca" yang terhimpun dalam arsip OV:36-75 & 157-199 (1924) memaparkan terkait hasil risetnya terkait Trowulan ini. Disebutkan, nama Trowulan berhulu dari istilah Setra Wulan dan Sastrawulan. Pont menyimpulkan Setra Wulan usai memaknai Serat Kandha. Sedangkan istilah kedua merujuk kepada wasiat raja terakhir Majapahit, Brawijaya V, agar dimakamkan di daerah bernama Sastrawulan. Lantas, apakah Trowulan merupakan ibu kota Majapahit? Perdebatan terkait hal ini sempat mencuat dan ditulis dengan beberapa catatan oleh Agus Aris Munandar dalam Ibukota Majapahit, Masa Kejayaan dan Pencapaian (2008). Pertama, jika merujuk pada Kitab Pararaton, Raden Wijaya mendirikan Majapahit di sekitaran Hutan Trik, tepi Sungai Brantas. Sementara Situs Trowulan yang dikenal sekarang, terletak di daerah pedalaman dan lumayan jauh dari Sungai Brantas. Kedua, apabila hipotesis mengenai kepindahan pusat kerajaan ke Trowulan diyakini, mestinya diuraikan dalam bentuk prasasti tertentu. Sedangkan Negarakertagama dan literatur lainnya yang diproduksi pada era Majapahit tidak menyinggung ihwal pemindahan ibu kota. Bukti kuat posisi ibu kota mengarah ke Trowulan adalah laporan pelayar Cina, Ma-Huan, yang berlabuh di pesisir utara Jawa Timur pada 1413, di sekitar Surabaya sekarang. Ia kemudian menyusuri Kali Mas lalu menambatkan kapal di Desa Canggu sebelum menelusuri pedalaman dengan jalur darat menuju arah barat daya. Dalam laporan itu, tertulis nama Man-che-po-i (Majapahit) setelah Cang-ku (Canggu). Diriwayatkan, perjalanan dari Cang-ku menuju Man-che-po-i memakan waktu satu setengah hari. Gagasan itu serasa logis, melihat jarak lurus Canggu ke pusat Majapahit yakni Trowulan adalah sejauh 20 km. Para ahli, termasuk Wardenaar (peneliti tertua di Trowulan yakni pada 1815) hingga masa Pont (1920) tak pernah mengidentifikasikan dengan pasti bahwa Trowulan adalah ibu kota Kerajaan Majapahit. Di sisi lain, kisah-kisah lisan alias oral history justru bermunculan sejak awal abad ke-19, sehingga berpotensi mengurangi objektivitas sejarah. Bahkan, klaim-klaim lemah muncul usai para peneliti mencetuskan hipotesis mengenai Trowulan sebagai ibu kota Majapahit (post-factum). Lingkungan Trowulan kini telah bertransformasi menjadi sosok yang berbeda dengan zaman dahulu. Toponiminya telah bergeser ke modernisme, meninggalkan identitas tradisional era Majapahit. Menurut tulisan Nurhadi Rangkuti berjudul "Daerah Pinggiran Kota Majapahit" dalam makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi (2002), Trowulan diklaim sebagai situs terluas Majapahit dengan wilayah mencakup masing-masing dua kecamatan dan kabupaten. Selain itu, Situs Trowulan juga menyimpan cukup banyak artefak. Pada pertemuan Analisis Hasil Penelitian Arkeologi II pada 1988, Fadhila Arifin Aziz menyampaikan gagasannya lewat tulisan bertajuk "Limbah Sisa Fauna: Salah Satu Bentuk Hasil Perilaku Konsumsi Pangan Masyarakat Trowulan Kuno". Di pertemuan itu, Fadhila menyebut bahwa berbagai aktivitas agama, perdagangan, pertanian, dan pemerintahan Majapahit berlangsung di Trowulan. Aktivitas itu ditandai dengan peninggalan materialistik berupa candi, arca, lingga, yoni, saluran air, kanal, waduk, prasasti, dan mata uang. Prasasti tertua yang ditemukan di Trowulan bertarikh 861 Saka, sezaman dengan pemerintahan Mpu Sinduk (929-947 M) di Kerajaan Medang atau Mataram Kuno. Dari sini dapat dikaji bahwa Trowulan sudah punya peradaban jauh sebelum Kerajaan Majapahit muncul pada 1293 Masehi. Sementara prasasti termuda yang ditemukan di Situs Trowulan termuda adalah batu nisan di kompleks pemakaman Islam Tralaya dan bertarikh 1487 Saka. Pada masa awal berdirinya, pusat Kerajaan Majapahit disebut terletak di wilayah Mojokerto, Jawa Timur. Pada saat itu, Kerajaan Majapahit dipimpin Raden Wijaya. Ketika masa pemerintahan Raden Wijaya, Kerajaan majapahit berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Iklim tropis di derah Mojokerto membuat pertanian di wilayah Kerajaan Majapahit tumbuh subur. Sejumlah catatan sejarah menyebutkan pusat Kerajaan Majapahit ada di wilayah Trowulan, Jawa Timur. Pemerintah kolonial Belanda membentuk badan purbakala yang bernama Oudheidkundige Vereeniging Majapahit (OVM) pada tanggal 15 April 1924 untuk membuktikannya. Pendiri OVM merupakan para insinyur serta arkeolog Belanda yang diprakarsai oleh Henry Maclaine Pont yang meneliti artefak yang terdapat di Trowulan, mulai dari arca, bangunan, relief, sampai ke strukturnya. Berdasarkan Kitab Pararaton, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit di sekitar Hutan Tarik pada tepi Sungai Brantas. Situs Trowulan yang ada saat ini terletak di wilayah pedalaman dan cukup jauh dari Sungai Brantas. Laporan pelayar China, Ma Huan, memberikan bukti yang kuat dalam mengarahkan Trowulan sebagai ibu kota Kerajaan Majapahit. Ma Huan berlabuh mencoba di wilayah pesisir utara Jawa Timur yang saat ini menjadi wilayah Surabaya pada tahun 1413. Pada perjalanan selanjutnya, Ma Huan menyusuri Kali Mas lalu menambatkan kapalnya di Desa Canggu. Diceritakan perjalananan dari Canggu menuju Majapahit memakan waktu sekitar satu setengah hari yang dianggap masuk akal karena jarak lurus dari Canggu ke pusat Majapahit atau Trowulan sekitar 20 km jauhnya. Pusat pemerintahan Kerajaan majapahit diperkirakan kembali ke wilayah Daha setelah Trowulan. Perpindahan ibu kota tersebut disebabkan karena konflik internal yang terjadi di Kerajaan Majapahit. Sebab lainnya yaitu besarnya pengaruh Islam dengan kemunculan Kerajaan Demak yang ikut mendesak keberadaan Kerajaan Majapahit. Majapahit juga beberapa kali diserang oleh Kerajaan Demak. Serangan tersebut yang menjadi penyebab keruntuhan Kerajaan Majapahit. Candi Brahu merupakan salah satu candi yang terletak di dalam kawasan situs arkeologi Trowulan, bekas ibu kota Majapahit. Tepatnya, candi ini berada di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, atau sekitar dua kilometer ke arah utara dari jalan raya Mojokerto—Jombang. Nama candi ini, yaitu 'brahu', diduga berasal dari kata wanaru atau warahu. Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci yang disebut dalam Prasasti Alasantan. Prasasti tersebut ditemukan tak jauh dari Candi Brahu. Candi Brahu dibangun dengan batu bata merah, menghadap ke arah barat dan berukuran panjang sekitar 22,5 m, dengan lebar 18 m, dan berketinggian 20 meter. Candi Brahu dibangun dengan gaya dan kultur Buddha. Diperkirakan, candi ini didirikan pada abad ke-14 Masehi meskipun masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan[siapa?] bahwa candi ini berusia jauh lebih tua daripada candi-candi lain di sekitar Trowulan. Dalam prasasti yang ditulis Mpu Sendok bertanggal 9 September 939 (861 Saka), Candi Brahu disebut merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja. Akan tetapi, dalam penelitian tak ada satu pakar pun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi karena peninggalan peninggalan Bokor / tempat abu sudah dijarah. Hal ini diverifikasi setelah dilakukan pemugaran candi pada tahun 1990 hingga 1995. Diduga di sekitar candi ini banyak terdapat candi-candi kecil. Sisa-sisanya yang sebagian sudah runtuh masih ada, seperti Candi Muteran, Candi Gedung, Candi Tengah, dan Candi Gentong. Saat penggalian dilakukan di sekitar candi banyak ditemukan benda benda kuno, semacam alat-alat upacara keagamaan dari logam, perhiasan dari emas, arca, dan lain-lainnya. Gapura Bajang Ratu atau juga dikenal dengan nama Candi Bajang Ratu adalah sebuah gapura / candi peninggalan Majapahit yang berada di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Bangunan ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan adalah salah satu gapura besar pada zaman keemasan Majapahit. Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, candi / gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara yang dalam Negarakertagama disebut "kembali ke dunia Wisnu" tahun 1250 Saka (sekitar tahun 1328 M). Namun sebenarnya sebelum wafatnya Jayanegara candi ini dipergunakan sebagai pintu belakang kerajaan. Dugaan ini didukung adanya relief "Sri Tanjung" dan sayap gapura yang melambangkan penglepasan dan sampai sekarang di daerah Trowulan sudah menjadi suatu kebudayaan jika melayat orang meninggal diharuskan lewat pintu belakang. "Bajang Ratu" dalam bahasa Jawa berarti "raja / bangsawan yang kecil / kerdil / cacat". Dari arti nama tersebut, gapura ini dikaitkan penduduk setempat dengan Raja Jayanegara (raja kedua Majapahit) dan tulisan dalam Serat Pararaton, ditambah legenda masyarakat. Disebutkan bahwa ketika dinobatkan menjadi raja, usia Jayanegara masih sangat muda ("bujang" / "bajang") sehingga diduga gapura ini kemudian diberi sebutan "Ratu Bajang / Bajang Ratu" (berarti "Raja Cilik"). Jika berdasarkan legenda setempat, dipercaya bahwa ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya, sehingga diberi nama "Bajang Ratu" ("Raja Cacat"). Sejarawan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam Kakawin Negarakretagama: "Sira ta dhinarumeng Kapopongan, bhiseka ring crnggapura pratista ring antawulan", sebagai pedharmaan (tempat suci). Di situ disebutkan bahwa setelah meninggal pada tahun 1250 Saka (sekitar 1328 M), tempat tersebut dipersembahkan untuk arwah Jayanegara yang wafat. Jayanegara didharmakan di Kapopongan serta dikukuhkan di Antawulan (Trowulan). Reruntuhan bekas candi tempat Jayanegara didharmakan tidak ditemukan, yang tersisa tinggal gapura paduraksa ini dan fondasi bekas pagar. Penyebutan "Bajang Ratu" muncul pertama kali dalam Oundheitkundig Verslag (OV) tahun 1915. Menurut buku Drs I.G. Bagus L Arnawa, dilihat dari bentuknya gapura atau candi ini merupakan bangunan pintu gerbang tipe "paduraksa" (gapura beratap). Secara fisik keseluruhan candi ini terbuat dari batu bata merah, kecuali lantai tangga serta ambang pintu bawah dan atas yang dibuat dari batu andesit. Berdiri di ketinggian 41,49 m dpl, dengan orientasi mengarah timur laut-tenggara. Denah candi berbetuk segiempat, berukuran ± 11,5 (panjang) x 10,5 meter (lebar), tinggi 16,5 meter, lorong pintu masuk lebar ± 1,4 meter. Secara vertikal bangunan ini mempunyai 3 bagian: kaki, tubuh, dan atap. Mempunyai semacam sayap dan pagar tembok di kedua sisi. Kaki gapura sepanjang 2,48 meter. Struktur kaki tersebut terdiri dari bingkai bawah, badan kaki dan bingkai atas. Bingkai-bingkai ini hanya terdiri dari susunan sejumlah pelipit rata dan berbingkai bentuk genta. Pada sudut-sudut kaki terdapat hiasan sederhana, kecuali pada sudut kiri depan dihias relief menggambarkan cerita "Sri Tanjung". Di bagian tubuh di atas ambang pintu ada relief hiasan "kala" dengan relief hiasan sulur suluran, dan bagian atapnya terdapat relief hiasan rumit, berupa kepala "kala" diapit singa, relief matahari, naga berkaki, kepala garuda, dan relief bermata satu atau monocle cyclops. Fungsi relief tersebut dalam kepercayaan budaya Majapahit adalah sebagai pelindung dan penolak mara bahaya. Pada sayap kanan ada relief cerita Ramayana dan pahatan binatang bertelinga panjang. Lokasi Candi Bajang Ratu berletak relatif jauh (2 km) dari dari pusat kanal perairan Majapahit di sebelah timur, saat ini berada di Dusun Kraton, Desa Temon, berjarak cukup dekat (0,7 km) dengan Candi Tikus. Alasan pemilihan lokasi ini oleh arsitek kerajaan Majapahit, mungkin untuk memperoleh ketenangan dan kedekatan dengan alam tetapi masih terkontrol, yakni dengan bukti adanya kanal melintang di sebelah depan candi berjarak kurang lebih 200 meter yang langsung menuju bagian tengah sistem kanal Majapahit, menunjukkan hubungan erat dengan daerah pusat kota Majapahit. Untuk mencapai lokasi Gapura Bajang Ratu, pengunjung harus mengendara sejauh 200 meter dari jalan raya Mojokerto - Jombang, kemudian sampai di perempatan Dukuh Ngliguk, berbelok ke arak timur sejauh 3 km, di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Di sekitar lokasi Gapura Bajang Ratu di Trowulan (bekas ibu kota kerajaan Majapahit) tersimpan banyak peninggalan bersejarah lainnya dbbbnari zaman keeemasan saat kerajaan Majapahit adalah salah satu kerajaan yang disegani di muka bumi. Pendirian Candi Bajangratu sendiri tidak diketahui dengan pasti, tetapi berdasarkan relief yang terdapat di bangunan tersebut, diperkirakan candi ini dibangun pada abad ke-13 – 14. Candi ini selesai dipugar dan diresmikan pada tahun 1992 oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pengaruh kebudayaan besar Majapahit masih terasa dalam kepercayaan masyarakat Trowulan. Menurut kepercayaan lokal, adalah suatu pamali bagi seorang pejabat pemerintahan untuk melintasi atau memasuki pintu gerbang Candi Bajang Ratu, karena dipercayai hal tersebut bisa mendatangkan nasib buruk.
Begitulah. Setelah membaca catatan dari berbagai sumber. Maka dapat di simpulkan.
Dengan demikian catatan dari Pu Prapanca di Negara kerta gama mengarah pada kota Trowulan.
Trowulan itu Majapahit dahulu.
Dan Majapahit ada di Trowulan.
Demikian catatan para ahli yang kebanyakan mengarah ke sana.
Tidak di hutan Tarik.
Seperti catatan dalam Pararaton.
Yang tak mengatakan perpindahan.
Juga tidak menunjuk kota lain.
Selain hutan Tarik kemudian menjadi Majapahit.
Karena buah maja yang rasanya pahit.
Tapi toponim Tarik ada.
Dan banyak benda kuno di temukan di lokasi tersebut.
Maka kalua mengambil jalan tengah, bahwa pada awalnya ibu kota majapahit atau tempat yang bernama majapahit itu dahulu di hutan Tarik itu. Dan setelahnya mengalami perpindahan ke kota trowulan. Di mana kalau berpindah biasanya di sertai dengan satu peristiwa yang penting. Banyak ahli yang mengatakan kalau perpindahan itu terjadi saat ibu kota bedah, oleh serbuan para dharmaputra dengan ra kuti yang berhasil menduduki singgasana. Dan sang raja mengungsi ke desa badander. Saat itulah kota di pindah ke trowulan, kota kuno dengan banyak peninggalan. Seperti candi brahu, yang akar katanya dari waharu. Kalau demikian, maka kota trowulan dahulunya bernama waharu. Dari pohon waru, bukan dari buah maja. Majapahit.
Tapi sedikit hal yang mencolok adalah adanya candi bentar. Yang berupa gapura padu raksa dan bukan supit urang. Yang biasanya mengarah ke suatu bangunan atau bagian dalam istana. Dan bukan mengarah ke suatu kota. Di situ juga di sebut bajang ratu. Yang legendanya karena di pakai oleh si muda jayanegara atau kala gemet. Di situ sang raja putra ini terjatuh. Sehingga kakinya menjadi pincang.
Jadi jika demikian gapura itu sudah ada. Karena sudah menjatuhkan nya. Sedangkan kejadian ra kuti saat dia sudah menjadi raja.
Jadi kalau itu sudah ada kemungkinan perpindahan setelah sang raja rajasa negera, raden wijaya menang atas tentara tartar.
Nah kalau hal ini yang terjadi, maka kemungkinan karena istana saat itu masih ada dua tempat. Di Tarik dan di Waharu.
Yang kemudian perkembangannya lebih bagus di desa kuno tersebut. Sehingga Majapahit pindah ke Trowulan.
Dengan penggambaran ini, maka ada sedikit perbedaan dengan keterangan pu prapanca di negara kerta gama. Misalkan kolam segaran tak tercatat. Sebab itu tempat di mana sinagara tenggelam. Jadi pada periode majapahit akhir sudah ada.
Candi waharu juga tak di tulis.
Malahan sampai sekarang masih ada.
Sedangkan candi kembar yang di tulisnya justru tak berbekas.
Istana manguntur serta pohon bramastana juga tidak di temukan bekasnya.
Walau di maklumi kalua itu terbuat dari kayu yang rentan rusak.
Serta jenis pepohonan mudah hancur.
Dengan demikian, maka bisa saja apa yang di gambarkan oleh prapanca adalah suatu hayalan yang indah tentang kota idaman. Apalagi dapat di pahami kalua dia pernah tinggal di istana itu. Sehingga banyak tahu tentang keadaan di masanya.
Namun tidak secara menyeluruh. Apa yang di lihat mungkin masih ada dalam ingatannya dan di tulis. Karena penulisannya juga di tempat jauh yang mungkin ada di bali, di karang asem, kamalasana, pada sebuah perbukitan. Sembari mengenang keindahan kota penguasa itu.
Tapi tak semua tempat pernah dia lihat.
Candi brahu misalnya, tempat untuk budha. Sementara dalam tulisannya candi itu berdiri bersandingan dengan candi siwa. Dan keduanya sudah tidak ada. Maka bias saja candi itu sebenarnya yang di gambarkan, namun pada posisi yang sedikit beda.
Lalu kolam segaran dan lapangan bubat juga tidak dia catat, maka bias saja belum di buat, atau memang tak pernah dia mengerti.
Disari dari berbagai sumber.