Nama kelompok:
Andi Akifah Nayla Harfan
Faaizah Aqiilah
Marwah Syarani
Angin dari Laut Mamuju membawa aroma garam dan melodi cerita yang belum selesai. Di pesisir Karema, perkampungan yang diapit hutan mangrove dan laut biru, pinisi-pinisi Bugis berlabuh, membawa harapan dan keberanian dari tanah seberang. La Toding, pemuda Bugis berdarah pelaut Wajo, tiba dengan satu tekad: menjaga siri'kehormatan di tanah rantau yang baru.
Mamuju menyambut mereka dengan hangat. Orang-orang Mandar, dengan mata yang menyimpan kearifan leluhur, berbagi tanah dan pengetahuan. Puatta Somba, pemimpin Karema yang bijaksana, melihat dalam diri La Toding bukan hanya seorang pendatang, tetapi seorang towaine (saudara). "Laut ini luas, Toding," ucapnya di bawah senja yang membara, "cukup untuk semua yang datang dengan niat baik."
Namun, kedamaian itu setipis sutra.
Sebelum La Toding datang, Karema adalah desa nelayan yang tenang, namun rapuh. Puatta Somba, meski dihormati, mulai merasakan beban usia. Ia mendambakan seorang penerus yang tak hanya kuat, tetapi juga memiliki hati yang tulus untuk melindungi rakyatnya.
Kabar buruk tiba bersama angin monsoon: Bajak laut dari Selat Makassar, dipimpin oleh Nakhoda Gantar yang kejam—seorang legenda hitam di lautan—mengincar Mamuju. Mereka datang bukan untuk berdagang, melainkan untuk merampok dan menebar teror. Desa-desa pesisir mulai mengirimkan sinyal asap—tanda bahaya yang membuat bulu kuduk merinding.
La Toding berada di persimpangan jalan. Siri'nya diuji. Apakah ia akan melarikan diri, atau berdiri teguh melindungi tanah yang telah menjadi rumahnya? Keraguan sempat menghantuinya. Ia adalah to barania pendatang, bukan orang Mandar asli. Apakah ia berhak ikut campur dalam urusan mereka? Namun, tatapan penuh harap Puatta Somba dan senyum Arini, putri sang pemimpin, menghapus keraguannya.
"Kita bukan hanya pedagang," serunya di hadapan warga Karema di bawah naungan balla'(rumah panggung adat), "kita adalah penjaga siri'. Jika mereka datang merampas, kita akan hadapi mereka dengan pacce(harga diri)!"
Puatta Somba mengangguk. "Ini tanah kita bersama. Bugis dan Mandar, kita adalah sisseng (satu)!"
Persiapan pun dimulai. Para pemuda Bugis mengasah kawali badik dan parang, sementara nelayan Mandar merakit tombak dari bambu runcing. La Toding mempelajari strategi perang dari lontara kitab kuno yang diwariskan ayahnya, mencari kelemahan musuh. Ia juga belajar dari tetua Mandar tentang karakteristik ombak dan angin barat dan timur di sekitar Mamuju, pengetahuan yang tak ternilai harganya.
Di tengah kesibukan itu, La Toding semakin dekat dengan Arini. Ia bukan hanya baine matanre (gadis cantik jelita), tetapi juga cerdas dan berani. Ia ahli dalam membaca olo'(bintang) dan memahami arus laut. Bersama, mereka merencanakan jebakan untuk para bajak laut. Mereka mempelajari peta laut kuno, mencari tahu jalur yang biasa dilalui bajak laut, dan menentukan titik-titik strategis untuk penyergapan di antara gosong (pulau pasir) yang berbahaya.
Arini juga membantu La Toding memahami adat dan tradisi Mandar, sehingga ia bisa berkomunikasi dengan lebih baik dengan warga Karema. Mereka berdiskusi hingga larut malam, berbagi cerita tentang masa lalu dan impian tentang masa depan. Perlahan, benih-benih cinta mulai tumbuh di antara mereka, sehangat mentari pagi di ufuk timur.
Pertempuran terjadi di Teluk Karema yang tenang. Bajak laut datang dengan palari (kapal-kapal besar), meriam mereka meraung memuntahkan api. Namun, La Toding dan pasukannya telah siap. Mereka menggunakan sandeq (perahu-perahu kecil) untuk mengepung kapal bajak laut, melemparkan bom molotov dari botol kaca yang berisi minyak kelapa dan kain. Api berkobar, membakar layar dan dek kapal.
Arini memimpin para wanita dan anak-anak ke tempat yang aman di hutan. Ia juga mengirimkan sinyal asap ke desa-desa tetangga, memanggil bala bantuan. Namun, ia tidak hanya berdiam diri di hutan. Ia juga mengumpulkan para wanita Mandar untuk membuat perisai dari anyaman bambu yang kuat, serta menyiapkan makanan dan minuman untuk para pejuang.
Pertempuran berlangsung sengit. La Toding berduel dengan Nakhoda Gantar di atas geladak kapal yang terbakar. Gantar adalah lawan yang tangguh, dengan pedang berlumuran darah dan mata yang penuh kebencian. Ia memiliki tubuh yang besar dan kuat, serta pengalaman bertempur yang tak terhitung jumlahnya. Namun, La Toding tidak gentar. Ia menggunakan kelincahan dan kecerdikannya untuk menghindari serangan Gantar, dan akhirnya berhasil melumpuhkan sang bajak laut dengan tikaman kawali yang mematikan.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Nakhoda Gantar menyeringai. "Kau mungkin menang hari ini, anak muda," katanya dengan suara serak, "tapi bajak laut tidak akan pernah mati. Kami akan kembali, lebih kuat dari sebelumnya!"
Melihat pemimpin mereka jatuh, para bajak laut panik dan melarikan diri. Kemenangan diraih dengan susah payah, tetapi Karema selamat. Namun, La Toding tahu bahwa ancaman bajak laut masih akan menghantui mereka.
Malam itu, api unggun dinyalakan di pantai. La Toding dan Arini berdiri berdampingan, menatap laut yang tenang. Wajah mereka lelah, tetapi mata mereka bersinar penuh kebahagiaan.
"Kita telah membuktikan," kata La Toding, "bahwa siri' na pacce lebih kuat dari senjata dan kekerasan."
Arini tersenyum. "Dan kita telah belajar, kebersamaan itu memang kekuatan yang luar biasa."
Puatta Somba mendekati mereka, wajahnya penuh kebanggaan. "La Toding," katanya, "kau telah membuktikan dirimu sebagai seorang pemimpin yang sejati. Aku ingin mengangkatmu sebagai penggantiku."
La Toding terkejut. "Tapi, Puatta… aku hanyalah seorang to barania."
"Kau adalah bagian dari kami sekarang," jawab Puatta Somba. "Kau telah membela tanah ini dengan segenap hatimu. Kau adalah towaine kami."
La Toding menerima tawaran itu dengan rendah hati. Ia tahu bahwa tugas berat menantinya, tetapi ia siap menghadapinya bersama Arini di sisinya.
Sejak saat itu, legenda tentang La Toding dan Arini terus diceritakan dari generasi ke generasi. Mereka menjadi simbol keberanian, persatuan, dan kehormatan bagi masyarakat Mamuju. La Toding memimpin Karema dengan bijaksana, melanjutkan tradisi Puatta Somba sambil membawa inovasi baru. Arini menjadi penasihatnya, membantu mengambil keputusan yang tepat dengan pengetahuannya tentang alam dan kebijaksanaannya.
Mereka membangun lopi rorosan—menara pengawas—di sepanjang pantai, meningkatkan patroli laut, dan menjalin hubungan baik dengan desa-desa tetangga. Mereka juga mengembangkan sistem peringatan dini dengan menggunakan pattunu—meriam bambu untuk menghadapi ancaman bajak laut.
Ancaman bajak laut memang tidak pernah sepenuhnya hilang, tetapi Karema selalu siap menghadapinya. Setiap kali kapal bajak laut terlihat di langi', tanda bahaya dibunyikan, dan seluruh warga desa bersiap siaga. Para pemuda Bugis dan Mandar bersatu padu, melindungi desa mereka dengan segenap jiwa dan raga.
Dan angin dari Laut Mamuju terus berbisik, membawa kisah tentang bagaimana siri' na pacce telah menyelamatkan mereka dari kegelapan, dan bagaimana seorang pemuda Bugis dan seorang putri Mandar telah bersatu untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi Karema.