Penulis:
Heru Ahmad Mujaddid
Araaf Haikal
M.Farel Ramadhan
Ahmad dzaki
Langit sore di tanah Bone berwarna merah keemasan. Di kejauhan, terdengar suara azan bercampur dengan tangis rakyat yang rumahnya dibakar pasukan Gowa. Api menjilat atap-atap rumah panggung, sementara asapnya melayang tinggi, seperti doa yang tersesat.
Di tepi sungai, seorang pemuda berdiri tegak menatap kehancuran itu. Dialah La Tenritatta To Appatunru, putra bangsawan Bone yang kelak dikenal sebagai Arung Palakka.
Wajahnya berdebu, bajunya robek, tapi matanya menyala dengan tekad.
“Daeng, mereka datang lagi!”
“Biar saja,” jawab Arung pelan namun tegas. “Aku tidak akan berlari selamanya. Suatu hari nanti, Bone akan bebas. Aku bersumpah demi darahku sendiri.”
Rakyat di sekitarnya menatap pemuda itu. Dalam hatinya mereka tahu, Bone telah melahirkan seorang pemimpin besar.
Hari-hari kelam pun datang. Bone semakin tertekan di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin. Arung Palakka bersama rakyatnya melarikan diri ke daerah lain, hidup dalam pelarian dan penderitaan.
Di malam yang sunyi, di sebuah pondok kecil di pinggir hutan, Arung berbicara dengan ibunya.
“Ibu,” katanya lirih, “aku tidak bisa diam melihat rakyat kita disiksa. Aku harus melawan.”
“Nak,” jawab sang ibu dengan mata berkaca, “melawan bukan hanya dengan pedang. Terkadang, kesabaran dan waktu adalah senjata paling tajam.”
“Tapi, Ibu... setiap hari mereka merampas sawah rakyat, menjarah ternak, menindas perempuan. Jika aku diam, apa bedanya aku dengan pengecut?”
Ibunya terdiam. Dalam hatinya ia tahu, anaknya telah ditakdirkan untuk berjuang.
Arung pun meninggalkan kampung halamannya dan menuju Batavia. Di sana ia belajar seni perang dan diplomasi. Ia mempelajari cara berpikir musuh, dan menyusun strategi untuk membebaskan Bone.
Suatu malam di Batavia, sahabatnya, Daeng Rangka, menegurnya.
“Arung, kau yakin akan bersekutu dengan Belanda? Mereka juga penjajah.”
Arung menatap langit. “Aku tahu, Daeng. Tapi kadang untuk menjatuhkan harimau, kita harus bekerja sama dengan serigala. Tujuanku bukan untuk mereka, tapi untuk rakyat Bone.”
Tahun 1666. Sejarah mencatat pertempuran besar antara pasukan Gowa dan gabungan Bone–VOC.
Langit Somba Opu hitam oleh asap mesiu. Petir menggelegar, seakan alam pun marah.
Arung Palakka berdiri di atas bukit kecil, memandang pasukannya yang siap menyerang.
“Wahai rakyat Bone!” teriaknya lantang.
“Kita berperang bukan untuk balas dendam, tapi untuk kehormatan! Siri’mu adalah hidupmu!”
Pasukannya bersorak. Tombak dan badik terangkat tinggi. Mereka menyerbu benteng Gowa. Dentuman meriam mengguncang tanah. Asap dan darah bercampur di udara.
Di tengah perang, seorang prajurit muda berlari ke arah Arung.
“Tuanku! Pasukan Gowa mundur! Tapi banyak dari kita gugur!”
Arung menggenggam tanah yang berlumur darah. “Tidak apa apa” katanya lirih “karena darah mereka akan tumbuh menjadi kebebasan.”
Akhirnya, Gowa kalah dan menandatangani Perjanjian Bungaya tahun 1667. Bone kembali merdeka. Tapi kemenangan itu tak sepenuhnya membawa senyum.
Malam itu, di tepi sungai, Arung duduk sendirian.
“Mengapa hatiku tak merasa menang?” gumamnya.
“Karena perang selalu meninggalkan luka,” jawab Daeng Rangka yang datang mendekat. “Namun tanpa luka, takkan ada kebebasan.”
Arung menatap air sungai yang mengalir tenang. “Semoga rakyatku memahami, bahwa kebebasan ini bukan hadiah, tapi hasil dari pengorbanan.”
Beberapa tahun kemudian, Arung Palakka dinobatkan sebagai Raja Bone ke-15. Ia memerintah dengan bijaksana.
Ia memulihkan desa-desa yang hancur, membangun kembali rumah adat, dan mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Selatan.
Ia selalu mengingat pesan ibunya: “Seorang pemimpin sejati bukan ditakuti karena pedangnya, tapi dihormati karena keadilannya.”
Suatu pagi, di alun-alun Bone, Arung berdiri di hadapan rakyatnya.
“Wahai rakyat Bone,” ucapnya lantang. “Jangan biarkan hatimu dijajah oleh keserakahan. Jagalah siri’mu — harga dirimu. Karena selama siri’ hidup di dada, Bone tak akan pernah runtuh.”
Sorak rakyat menggema ke seluruh negeri. Anak-anak menari, orang tua meneteskan air mata bangga.
Menjelang senja, Arung duduk di tepi Sungai Walanae, tempat ia dulu bersumpah di masa muda.
Airnya berkilau diterpa matahari sore. Ia tersenyum, berkata pelan,
“Aku sudah menepati sumpahku. Kini biarlah Bone berdiri di atas kakinya sendiri.”
Keberanian sejati bukanlah tentang berperang, tapi tentang berani memperjuangkan kehormatan.
Nilai siri’ na pesse (harga diri dan empati) harus dijaga dalam diri setiap orang Bugis.
Pemimpin sejati adalah yang berkorban untuk rakyat, bukan sebaliknya.