penulis: 1.Muria Ramadhani
2.Dini Mardiana
3.Radiatun Nisa
4.Yesyca arryanti
Pagi itu, kabut tipis menyelimuti laut Parepare. Ombak kecil menepi pelan di tepian pelabuhan, menyapa perahu-perahu kayu yang berjajar rapi. Burung camar beterbangan di atas tiang-tiang kapal, seolah menyambut hari baru di Pelabuhan Nusantara Parepare pelabuhan yang telah menjadi nadi kehidupan kota ini sejak puluhan tahun lalu.
Di tepi dermaga, seorang pemuda bernama La Nassa tengah menunggu kedatangan kapal dari Surabaya. Ia bekerja sebagai buruh pelabuhan, membantu bongkar muat barang-barang dari berbagai daerah di Indonesia. Setiap hari, ia melihat bagaimana pelabuhan kecil di pesisir barat Sulawesi ini menjadi tempat bertemunya banyak wajah, bahasa, dan harapan.
“Pelabuhan ini bukan hanya tempat berlabuh kapal,” kata La Nassa suatu hari kepada teman-temannya, “tetapi tempat berlabuhnya mimpi orang-orang dari segala penjuru.”
Dulu, sebelum bernama Pelabuhan Nusantara, tempat ini hanya berupa dermaga kayu sederhana. Para pelaut Bugis dan Makassar datang membawa hasil laut, beras, dan rempah-rempah untuk diperdagangkan. Pelabuhan ini menjadi tempat penting sejak masa kerajaan Bugis berdiri, bahkan jauh sebelum Belanda menjejakkan kaki di Sulawesi.
Ketika masa penjajahan tiba, pemerintah kolonial melihat potensi besar di pelabuhan Parepare. Letaknya yang strategis di antara jalur laut barat Sulawesi membuatnya menjadi pusat distribusi barang dan hasil bumi dari berbagai daerah. Di sinilah banyak kisah perjuangan rakyat terjadi—dari perlawanan terhadap penjajah hingga lahirnya semangat kebangsaan di kalangan pemuda pelaut Bugis.
La Nassa sering mendengar cerita dari kakeknya, seorang pelaut tua bernama Haji Daeng Marannu. Kakeknya pernah bercerita bahwa dulu, kapal-kapal layar dengan layar putih raksasa bersandar di dermaga ini, membawa pesan dari jauh dan kembali dengan muatan penuh harapan. Kini, kapal-kapal baja besar dari berbagai pulau datang silih berganti.
“Dunia berubah, Nassa,” kata sang kakek, “tetapi laut Parepare tetap sama. Ia akan selalu jadi saksi perjuangan anak-anaknya.”
Waktu berlalu. Pelabuhan itu resmi diberi nama Pelabuhan Nusantara Parepare melambangkan semangat persatuan dan konektivitas antar daerah di seluruh kepulauan Indonesia. Bukan hanya tempat bongkar muat, tetapi juga gerbang ekonomi dan kebanggaan masyarakat Parepare.
Suatu sore, La Nassa berdiri di ujung dermaga. Ia melihat kapal besar meninggalkan pelabuhan dengan bendera merah putih berkibar di buritannya. Di saat itu, ia menyadari sesuatu:
Pelabuhan ini bukan sekadar tempat kerja, tetapi bagian dari sejarah yang hidup.
Setiap gelombang yang datang membawa kisah baru, dan setiap kapal yang pergi meninggalkan jejak perjuangan.
Kini, Pelabuhan Nusantara Parepare tetap berdiri kokoh sebagai urat nadi perdagangan dan transportasi di Sulawesi Selatan. Di balik gemuruh mesin kapal dan teriakan para buruh, tersimpan kisah tentang keberanian, ketekunan, dan semangat orang-orang yang menjadikannya pelabuhan yang tak pernah tidur.
Dan setiap kali La Nassa menatap laut luas di hadapannya, ia selalu teringat pesan kakeknya:
“Selama laut Parepare masih berombak, pelabuhan ini akan terus hidup. Karena di sinilah, sejarah Nusantara berlabuh.”
Hari-hari berlalu, dan La Nassa semakin mencintai pekerjaan serta pelabuhan yang menjadi saksi hidup perjuangan leluhurnya. Namun, pada suatu pagi yang cerah, kabar mengejutkan datang akan dilakukan modernisasi besar-besaran di Pelabuhan Nusantara Parepare. Dermaga kayu tua yang selama ini menjadi pijakan para buruh akan digantikan dengan bangunan beton dan peralatan modern.
Sebagian orang menyambut gembira, melihatnya sebagai tanda kemajuan. Tetapi bagi La Nassa, kabar itu menghadirkan rasa campur aduk. Ia bangga pelabuhan kotanya akan semakin maju, namun ia takut kenangan lama ikut terkubur bersama papan-papan kayu yang akan dibongkar.
Di sisi dermaga, ia menemukan kakeknya tengah duduk sambil menatap laut, seperti biasa. La Nassa duduk di sampingnya.
“Ero saya dengar pelabuhan akan dibangun baru, Kek,” ujar La Nassa pelan.
Sang kakek tersenyum, kerutan wajahnya semakin dalam diterpa cahaya matahari pagi.
“Itu baik. Dunia berubah, Nak. Kita tidak boleh hanya memeluk masa lalu.”
“Tapi… apakah itu berarti kenangan kita akan hilang?” tanya La Nassa pelan.
Haji Daeng Marannu menepuk bahu cucunya.
“Selama engkau menyimpan kisah pelabuhan ini di hati, tak ada yang hilang. Sejarah bukan bangunan dan kayu—sejarah adalah manusia yang mengingat.”
Kata-kata itu menenangkan hati La Nassa. Ia sadar, pelabuhan tidak sedang kehilangan jati dirinya. Ia hanya sedang tumbuh, seperti dirinya yang dulu belajar menyeimbangkan tubuh di atas perahu kecil dan kini menjadi pekerja yang kuat dan terampil.
Beberapa bulan kemudian, proyek modernisasi dimulai. Kapal-kapal besar semakin banyak melintas, dan pelabuhan semakin ramai. Bangunan baru berdiri megah, crane tinggi berdiri di tepi laut, dan para buruh kini bekerja berdampingan dengan teknologi.
La Nassa, yang dulu hanya buruh bongkar muat, kini mendapat pelatihan baru. Ia belajar mengoperasikan alat berat suatu hal yang dulu tak pernah ia bayangkan.
Setiap kali ia melihat kapal besar merapat, ia teringat cerita para pelaut Bugis, tentang keberanian mereka menaklukkan samudra. Kini, keberanian itu diwariskan dalam bentuk baru: keberanian untuk berubah, belajar, dan maju tanpa melupakan
Suatu sore, setelah jam kerja, La Nassa berjalan ke ujung dermaga, tempat yang dulu sering ia datangi bersama kakeknya. Ombak masih berlari kecil ke tepi pelabuhan, dan angin masih membawa aroma garam laut yang sama sejak ratusan tahun lalu.
Dengan senyum bangga, ia berbisik pada diri sendiri:
“Pelabuhan ini mungkin berubah, tetapi jiwanya tetap sama. Seperti laut Parepare yang tak pernah lelah memberi arah.”
Di kejauhan, matahari tenggelam perlahan, memantulkan cahaya keemasan di permukaan air. Pelabuhan Nusantara terus berdetak bukan hanya sebagai pusat perdagangan, tetapi sebagai penjaga sejarah dan pembawa harapan dari generasi ke generasi.
Hari berganti, musim berlalu. Pelabuhan Nusantara semakin ramai kapal penumpang, kapal barang, hingga kapal nelayan kecil semuanya bersatu dalam harmoni kesibukan. Namun, perubahan besar selalu membawa tantangan baru.
Suatu hari, kabar datang bahwa akan dibangun jalur pelayaran internasional yang menjadikan Parepare sebagai salah satu titik transit penting di kawasan timur Indonesia. Berita itu disambut gembira, tetapi di baliknya muncul kekhawatiran:
“Apakah masyarakat lokal mampu bersaing dengan tenaga kerja dari luar daerah?”
La Nassa merenungi hal itu. Ia tahu banyak orang di pelabuhan, khususnya buruh tua, yang belum terbiasa dengan teknologi modern. Sementara dirinya beruntung karena telah mendapat pelatihan.
Melihat kegelisahan itu, La Nassa mengambil keputusan besar. Ia mendirikan kelompok belajar pelabuhan, mengajak pemuda dan buruh untuk belajar bersama mulai dari membaca peta pelayaran sederhana, mengenal alat pelabuhan modern, hingga belajar teknologi maritim dasar.
“Pelabuhan ini tumbuh karena keberanian leluhur kita,” ujar La Nassa pada teman-temannya, “dan sekarang, giliran kita menjaganya dengan pengetahuan.”
Kegiatan itu dimulai hanya dengan lima orang di bawah pohon ketapang dekat dermaga. Namun, seiring waktu, semakin banyak pekerja yang bergabung. Bahkan pihak pelabuhan mendukung mereka dengan memberikan buku panduan dan pelatihan tambahan.
Kakeknya, yang semakin menua namun tetap datang ke pelabuhan setiap sore, tersenyum bangga melihat cucunya.
“Engkau bukan hanya bekerja di pelabuhan, Nassa,” ucap sang kakek, “engkau sedang membangun masa depan Parepare.”
Suatu sore, ketika matahari terbenam di balik kapal besar yang hendak berlayar menuju Kalimantan, La Nassa berdiri di tepi dermaga. Teman-temannya menghampiri, mereka kini bukan lagi buruh biasa tetapi pekerja pelabuhan yang terlatih, percaya diri, dan siap menghadapi arus perubahan.
Suara peluit kapal menggema, membawa hawa petualangan dan harapan.
“Dulu pelabuhan ini tempat singgah kapal,” kata La Nassa pelan, “sekarang pelabuhan ini juga tempat singgah mimpi dan ilmu.”
Di kejauhan, lampu-lampu pelabuhan mulai menyala, seakan bintang-bintang turun ke bumi untuk menerangi jalan pelaut dan pekerja yang bekerja tanpa kenal waktu.
Pelabuhan Nusantara Parepare tetap hidup, sama seperti dulu bukan hanya tempat berlabuh dan berangkat, tetapi tempat sejarah, cinta, dan cita-cita menyatu dalam denyut nadi laut Sulawesi.