Penulis: 1.Asrul Ikram
2.Bernadeth Gracia Y.S
3.Wafiq Azizah
4.Nurul Fajri
Pagi itu, kabut masih bergelayut di kaki Bukit Buttu Batu. Dari rumahku yang berdinding bambu, kulihat matahari mulai naik perlahan, menembus sela-sela pepohonan dan memantul di bebatuan besar di puncak bukit. Udara terasa sejuk, dan aroma tanah basah membuat hati tenteram. Setiap pagi di kampung kami selalu sama: para lelaki berangkat ke ladang, perempuan menumbuk padi di lumbung, sementara anak-anak berlari di pematang sawah sambil tertawa riang. Aku selalu berpikir, kedamaian ini akan bertahan selamanya.
Namun pagi itu berbeda. Dari kejauhan, kulihat asap tipis membumbung di balik bukit barat. Orang-orang mulai berbisik, mengatakan bahwa pasukan Belanda telah menjarah kampung tetangga. Suasana yang biasanya ramai mendadak terasa sunyi. Bahkan suara ayam pun terdengar canggung. Aku menatap ke arah rumah adat di tengah kampung, tempat Arung Lemba, pemimpin kami, berdiri dengan wajah tegas namun gelisah. Ia menggenggam keris pusaka di tangan kanannya dan menatap lembah dalam diam. “Bersiaplah,” katanya kemudian dengan suara berat. “Badai akan datang ke Lemba.”
Hari-hari berikutnya dipenuhi ketakutan. Setiap malam, kami menyalakan obor dan berdoa agar pasukan itu tidak benar-benar datang. Tapi doa kami tak cukup kuat. Sore itu, beberapa orang berlari dari utara membawa kabar buruk: Belanda sudah tiba di ladang kopi dan mengambil hasil panen warga. Mereka memaksa penduduk bekerja dan membayar pajak dengan hasil bumi. Beberapa warga yang menolak dipukuli. Aku masih ingat wajah seorang ibu yang menangis sambil memeluk anaknya, sementara suaminya diseret karena menolak menyerahkan karung beras.
Arung Lemba tidak tinggal diam. Malam itu, ia memanggil seluruh penduduk ke halaman rumah adat. Api unggun menyala di tengah-tengah lingkaran kami, memantulkan cahaya di wajah-wajah tegang. “Tanah ini,” katanya lantang, “bukan milik penjajah. Ini warisan leluhur dan titipan untuk anak cucu kita. Apakah kalian rela tanah ini diinjak tanpa izin?”
“Tidak!” kami menjawab serempak.
“Kalau begitu,” lanjutnya, “lebih baik kita terbakar dalam api daripada hidup dalam penindasan.”
Sejak malam itu, kami mulai bersiap. Para lelaki membuat bambu runcing, parang diasah hingga berkilat. Para perempuan menyiapkan makanan dan obat-obatan dari daun hutan. Aku membantu membawa air dan menyiapkan tempat persembunyian anak-anak. Meski rasa takut tak bisa dihapus, semangat kami tumbuh setiap kali melihat mata Arung Lemba yang menyala seperti bara. Ia bukan sekadar pemimpin; ia seperti api itu sendiri — membakar ketakutan menjadi keberanian.
Pertempuran akhirnya tak terhindarkan. Pagi buta, pasukan Belanda datang dengan senjata dan kuda. Kami melawan dengan batu, panah, dan bambu runcing. Teriakan bercampur dengan letusan senapan. Asap, debu, dan darah memenuhi udara. Aku melihat teman masa kecilku, Lamma’, terjatuh setelah terkena peluru. Ia tersenyum padaku sebelum matanya terpejam. Aku ingin menolong, tapi Arung Lemba berteriak, “Teruskan! Jangan mundur!”
Perlawanan kami berlangsung seharian. Kami tahu kami kalah dalam jumlah dan senjata, tapi tidak dalam semangat. Saat sore tiba, pasukan Belanda berhasil menembus pertahanan. Rumah-rumah mulai dibakar, lumbung padi dirampas. Aku melihat Arung Lemba berdiri di tengah kobaran api. Bajunya robek, wajahnya berdebu, tapi matanya masih bersinar tajam. Ia mengangkat keris tinggi-tinggi dan berteriak,
“Bakar semuanya! Jangan biarkan mereka menginjak tanah ini!”
Api menjalar cepat. Rumahku, ladangku, bahkan tempat aku lahir — semuanya terbakar. Tapi tak seorang pun menyesal. Kami menangis, ya, tapi bukan karena kehilangan rumah. Kami menangis karena tahu kami telah menjaga kehormatan kami. Di tengah kobaran api, Arung Lemba berlutut di atas batu besar, menatap langit dan berdoa pelan. “Ya Leluhur,” katanya, “biarlah api ini menjadi saksi bahwa kami tidak tunduk.”
Malam itu, Arung Lemba tertangkap. Aku melihat dari jauh saat mereka menjerat tangannya dan membawanya ke bawah bukit. Tubuhnya penuh luka, tapi ia masih berdiri tegak. Seorang perwira Belanda menodongkan senjata ke arah dadanya. “Kau kalah, Arung,” katanya.
Arung Lemba hanya tersenyum. “Kalian hanya membakar tubuhku, bukan semangatku,” jawabnya pelan. Lalu letusan senapan menggema. Ia jatuh, dan malam pun menjadi gelap.
Beberapa hari kemudian, hujan turun deras. Api yang membakar kampung perlahan padam, tapi di puncak Bukit Buttu Batu muncul nyala api biru — kecil namun terang, tak pernah padam meski hujan mengguyur. Aku dan penduduk lain menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. “Itu Arung Lemba,” bisik seorang ibu. “Rohnya kembali menjaga kita.” Kami berlutut dan menangis, bukan karena takut, tapi karena kagum dan bangga. Api itu seperti cahaya harapan di tengah abu.
Tahun demi tahun berlalu. Kampung Lemba bangkit kembali. Rumah baru dibangun, ladang ditanami lagi. Tapi setiap malam, ketika angin dari lembah berhembus lembut, aku masih melihat cahaya biru itu di atas bukit. Tak pernah padam, bahkan setelah aku menua. Anak-anakku sering bertanya, “Ayah, apa benar itu api roh Arung Lemba?”
Aku tersenyum dan berkata, “Itu bukan roh. Itu semangat. Selama api itu menyala, selama kita mencintai tanah ini, Arung Lemba akan tetap hidup dalam diri kita.”
Kini, setiap kali aku berdiri di depan Bukit Buttu Batu, aku selalu mengingat pagi itu — pagi terakhir sebelum dunia kami berubah. Kabut masih sama, angin masih membawa aroma tanah basah, tapi hatiku tahu: di balik batu-batu tua itu, masih ada api yang tak pernah padam. Api yang lahir dari keberanian, cinta, dan pengorbanan. Api yang menjadi tanda bahwa rakyat Enrekang tidak pernah menyerah.